(Medan/Soerak) Selasa, 10 Desember berbagai elemen-elemen masyarakat sipil di Sumatera Utara bersama mahasiswa memperingati hari HAM Internasional dan sekaligus memperingati hari Anti Korupsi di lapangan Merdeka tepatnya di tugu Pos Indonesia Kota Medan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan rangkaian acara aksi panggung, musik, puisi, teatrikal, dan aksi bakar lilin serta pembagian bunga. Aksi ini dilaksanakan dengan dukungan dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Kontras Sumut, LBH Medan, Walhi Sumut, Bakumsu, HaRI, Pusham Unimed, Cangkang Queer, Bitra, Literacy Cofee, HMI Fisip USU, HMI MPO, GMNI UMSU, GMNI Sejajaran Unika, Korsub, Pelopor Muda, YRKI, Sahdar, SPRT Sumut, dan Febri Pramasta Said
Peringatan 9 Desember setiap tahunnya dirayakan merupakan wujud dari Peringatan Hari Anti Korupsi. Peringatan ini dilaksanakan sekaligus perayaan Hari HAM Internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Aksi yang dilaksananakan ini sebagai bentuk dukungan kepada Negara agar segera merefleksikan diri dalam pemberantasan korupsi dan penegakan HAM saat ini. Negara sering lalai dalam meweujudkan penegakan HAM yang seyogyanya memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi. Hal ini dilihat dari berbagai regulasi yang baru-baru ini cukup viral dikalangan masyarakat dengan disahkan revisi UU KPK. Hal ini menunjukkan Pemerintah seolah-olah tidak serius dalam proses pemberantasan korupsi yang begitu marak terjadi saat ini.
Jokowi sebagai Presiden Indonesia yang terpilih saat ini sering menyuarakan investasi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realita yang terjadi saat ini adalah pelaksanaan investasi bersinergi dengan pelanggaran HAM terkhusus di sektor-sektor sumber agraria. Peningkatan investasi yang begitu gencar di dengungkan diduga akan meningkatnya praktek korupsi dan pelanggaran HAM. Melalui acara ini, bahwa elemen masyarakat sipil memberikan catatan terkait jenis pelanggaran HAM dan praktek korupsi di Sumatera Utara yang belum ada ujungnya hingga saat ini, yaitu:
Dalam sektor agraria pada tahun 2019 telah menjadi momentum dalam perampasan tanah-tanah masyarakat adat dan petani beserta penggusuran yang terjadi di perkotaan. Setidaknya catatan menemukan 10 tanah pertani yang diambil alih oleh perusahaan perkebunan, hutan tanaman industri, dan proyek pembangunan infrastruktur. Konflik agraria yang sering terjadi menjadi pemicu terjadinya kriminalisasi, seperti di Sihaporas dirampasnya wilayah adat dan berujung pada
- kriminalisasi sebanyak 2 orang, penggusuran tanah petani yang terjadi di Nambiki pada 17 agustus lalu, dan penggusuran oleh Pemko Medan terhadap masyarakat dan pedagang kaki lima.
- Praktek kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan. Persitiwa ini terjadi pada 24 September 2019 lalu, berbagai mahasiswa dari perguruan tinggi di Sumatera Utara melakukan aksi penolakan disahkannya RUU Kontroversial. Hal ini berakibat pada penangkapan mahasiswa dengan menggunakan cara kekerasan dan pemukulan. Pola kekerasan yang serupa juga terjadi di Langkat pada 16 Mei 2019 lalu. Oknum petugas lapas narkotika melakukan penyiksaan dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan.
- Pembatasan kebebasan berekspresi, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Polemik ini berimplikasi dengan penggunaan pasal karet melalui UU ITE. Catatan menunjukkan, kasus yang terjadi pada pers kampus Suara USU yang berujung pada pembubaran organisasi pers mahasiswa. Selain itu kasus ini juga terjadi pada akhir oktober 2019 lalu pada ruang-ruang diskusi aktivis yang menimpa LBH Medan dan Literacy Cofee dengan pelemparan bom molotov yang hingga saat ini kasus belum terungkap.
- Dalam sektor keadilan ekologi pelanggaran HAM masih sering terjadi. Dalam catatan menunjukkan Sumatera Utara merupakan salah satu daerah rawan pelanggaran HAM atas ekologi. Hal ini dibuktikan lemahnya penegakan hukum dalam penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam dalam melawan korporasi. Bahkan Pemerintah seolah tidak berdaya bila berhadapan dengan Korporasi yang merusak lingkungan dan sumber daya alam lainnya.
- Permasalah Korupsi di Provinsi Sumut terus berada di peringkat atas dalam hal daerah terkorup di Indonesia. Dalam catatan menunjukkan pejabat ASN Sumut menduduki peringkat pertama dengan 298 ASN yang tersangkut korupsi, 13 kepala daerah sudah ditahan KPK, bahkan beberapa bulan lalu tertangkap tangan kembali Walikota Medan oleh KPK. Berbagai praktik korupsi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya pembangunan infrastruktur. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum rill terlihat. Permasalah pemberantasan korupsi diperparah dengan disahkannya revisi UU KPK.
Berbagai catatan diatas menunjukkan bahwa Negara masih belum mampu menegakkan HAM dan pemberantasan Korupsi. Bahkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masih berdampak buruk terhadap masyarakat kecil. Hal ini juga diperparah dengan upaya-upaya advokasi HAM dalam pembelaan yang dilakukan oleh para aktivis dan masyarakat yang berujung pada intimidasi dan kriminalisasi. Salah satu kasus yang masih simpang siur dan belum ada kejelasan terkait kematian aktivis pembela HAM yang bernama Golfried Siregar. Berbagai kejanggalan yang ditemukan disinyalir kematiannya pun masih menyisahkan sejumlah pertanyaan hingga saat ini. Berdasarkan catatan diatas tersebut berbagai elemen masyarakat sipil dan mahasiswa mendesak Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar terlibat aktif dalam melaksanakan penegakan HAM dan pemberantasan Korupsi terkhusus di Provinsi Sumatera Utara. (Dhaniel)