Asimetris menuai banyak kesan positif bagi penonton yang melakukan aksi nonton bareng serentak di 26 kota di Indonesia. Film yang berdurasi 68 menit ini adalah film dokumenter yang sangat apik dikemas oleh dua jurnalis yang dikemas oleh Rumah Produksi Watchdoc-Ekspedisi Indonesia Biru. Dimana ini adalah komunitas yang mengemas film-film dokumenter dengan baik. Respon yang datang dari kalangan mahasiswa, aktivis dan masyarakat sipil adalah respon yang mengagumkan.
Film Asimetris yang merupakan produk kesembilan dari Watchdoc Documentary yang masih bercerita tentang lingkungan. Dimana pada kesempatan ini, mereka mengupas habis bagaimana perkebunan kelapa sawit sangat merusak kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Perkebunan Kelapa Sawit yang hadir di setiap pulau di Indonesia ini luasnya hampir empat kali lipat pulau Bali. Yang mana krisis ini pasti sudah meresahkan banyak masyarakat.
Pada awal film, diungkapkan bahwa setiap makanan, kosmetik, fiber baju bahkan bahan bakar pesawat memakai sekurang-kurangnya 16 persen minyak kelapa sawit untuk memenuhi perlengkapan kata BIO agar dinilai tidak merusak lingkungan. Padahal dalam kenyataannya tumbuhan yang hidup tersbeut merupakan kerusakan lingkungan.


Terdapat 659 konflik agrarian per tahun 2017 di Indonesia. Dengan diperlihatkan bagaimana kondisi Sumatera dan Kalimantan yang pada saat itu sedang mengalami kebakaran hutan yang cukup besar. Dimana pada saat itu terjadi di Palangkaraya dan Jambi pada tahun yang sama yakni tahun 2015. Dalam kurun waktu dua tahun luas lahan yang dikelola oleh perkebunan kelapa sawit meningkat cukup pesat. Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan perkebunan kelapa sawit kini mulai menduduki tahtanya di pulau Papua yakni Merauke dan Boven Digoel. Dimana pada dua tahun yang lalu, perkebunan kelapa sawit gagal hadir di desa Mahuze. Karena kegigihan masyarakat mempertahankan hasil hutan yakni tanaman sagu.
Selain kebakaran hutan, perkebunan kelapa sawit juga mencemari air. Di Paminggiran Hulu Utara, Borneo, dampak dari pencemaran air tersebut yakni matinya ikan papuyuh yang merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat sekitar. Tak hanya itu, dampak kehadiran perkebunan kelapa sawit juga mengganggu psikologi masyarakat. Masyarakat frustasi karena akhirnya lahan mereka tak dapat tumbuh karet dan pohon penghasil buah. Akhirnya masyarakat banyak yang menjual lahannya kepada perkebunan atau mengelola lahannya dengan menanam pohon kelapa sawit dan menjualnya kepada perkebunan.
Pihak yang melanggengkan kekuasaan perkebunan kelapa sawit bukan hanya pengusaha semata. Akan tetapi, pemerintah yang seharusnya fungsinya melindungi malah juga ikut merusak keutuhan ciptaan. Pengusaha dan penguasa dalam hal ini pemerintah bekerja sama memanfaatkan lahan masyarakat semata-mata hanya untuk kepentingan yang sebenarnya bukan untuk hajat hidup orang banyak. Pemerintah pun memiliki kebijakan yang sangat bertentangan. Di satu sisi pemerintah meminta para petani getol dalam hal mencapai kedaulatan pangan meliputi padi, jagung, kedelai (pajale). Di satu hal, malah pemerintah melanggengkan para pengusaha berkontribusi aktif meraup lahan dengan menjadikan lahan hutan Indonesia menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.
Lagi-lagi masyarakat juga diingatkan untuk tetap dalam semangat gotong royong mempertahankan bumi Indonesia. Dibalik air mata yang mereka teteskan pasti akan ada semangat dari masyarakat Adat di lingkungan tersebut. Misalnya saja masyarakat adat di Kalimantan yang bergotong royong dalam sebuah koperasi simpan pinjam, CU untuk sama-sama menyejahterakan masyarakat sekitar.
Film yang diproduseri oleh Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati adalah film dokumenter yang dapat menjadi karya penyadaran untuk masyarakat. Kemungkinan besar masyarakat belum mengetahui bahwa ada tindak tanduk yang seharusnya tidak dilakukan oleh para penguasa (Pemerintah-Red). (Pri)