Medan, BAKUMSU. Tepat pada tanggal 18-20/10/2017, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) menyelenggarakan pelatihan strategi advokasi konflik tanah di Susteran Cinta Alam, Pancur Batu, Deli Serdang. Peserta pelatihan ini diikuti oleh masyarakat dari berbagai daerah yang terlibat aktif dalam organisasi tani dan masyarakat adat.
Adapun tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui tentang Hak Dasar Petani dan Masyarakat Adat, mendorong petani untuk menemukan potensi dan inisiatif bagi penyelesaian konflik yang dihadapinya, memberikan pemahaman tentang strategi advokasi dalam penyelesaian konflik pertanahan dan meningkatkan kapasitas kelompok-kelompok yang tergabung dalam organisasi petani untuk melakukan upaya dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi.
Juniati Aritonang, selaku Kordinator Study dan Advokasi BAKUMSU, menjelaskan bahwa pelatihan ini merupakan agenda tahunan yang diadakan oleh BAKUMSU sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan masyarakat yang ada di desa untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya. “Kita akan tetap melakukan kegiatan ini, supaya masyarakat desa yang berkonflik atau pun tidak. Harapannya, agar masyarakat dapat mengorganisir dirinya dan melakukan advokasi dalam membangun gerakan.” Jelasnya.
Peserta sangat antusias terhadap pelatihan tersebut. Materi yang disampaikan oleh para fasilitator tampak menarik dengan terbangunnya diskusi kritis. Peserta yang sebagian merupakan korban dari hadirnya perusahaan yang merampas tanah adat, merasa senang mengikuti pelatihan tersebut karena mendapatkan pengetahuan baru yang dapat dipraktekkan di desa. Salah satu peserta dari Kelompok Tani Sinuhil, Mandoge, Ibu Br. Manurung mengatakan bahwa pelatihan ini sangat membantu agar masyarakat mampu mengetahui peraturan perundang-undangan dan cara untuk melawan perusahaan yang merampas tanah petani.
Dari keseluruhan proses pelatihan, peserta (masyarakat desa) kebanyakan tidak mengetahui program-program reforma agrarian yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Jokowi-Jk. Hal ini sangat disayangkan, karena berbagai skema telah dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan tanah masyarakat yang selama ini berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan.
Dalam pelatihan ini, Abdon Nababan, mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut serta memberikan materi tentang advokasi konflik tanah. Abdon menjelaskan bahwa saat ini Provinsi Sumatera Utara dalam Darurat Agraria. “Kita sedang menghadapi darurat agraria, kalau kita tidak mengurusnya dengan baik maka kita akan tenggelam dan pertanian kita dimasa depan akan dikuasai oleh petani-petani berdasi dan berAC. Kita bisa jadi kriminal di tanah kita sendiri karena mengambil ranting pohon dihutan lindung dimana tanah itu sebenarnya tanah nenek moyang kita sendiri.” Jelasnya kepada peserta.
Abdon menerangkan bahwa secara hukum tanah masyarakat sudah kembali kepada masyarakat, tetapi secara administrasi negara belum. Pengakuan hukum tanpa pengakuan administrasi hukum itu tidak berguna, karena kepada siapakah hutan adat ini dikembalikan, diserahkan kepada pemerintah daerah? bagaimana proses pengembaliannya?. Harus jelas dulu masyarakat adatnya atau petani. Kalau tidak, tanah yang 57 juta hektar itu tidak bisa dikembalikan kepada masyarakat itu. Sebab masyarakat adatnya belum menjadi subjek hukum, bagaimana caranya agar masyarakat adat menjadi subjek hukum? dimana mereka harus lewat perda dan lain-lain. Riwayat tanah akan menentukan jalur hukum tanah tersebut.
Diakhir pemaparanya, Abdon menekankan bahwa saat ini Sumatera Utara butuh pemimpin yang berani mengambil kebijakan, agar tanah-tanah masyarakat yang selama ini dikuasi oleh Perusahaan dapat kembali ke tangan masyarakat adat dan petani. “Yang kita butuhkan saat ini adalah tangga (yaitu pemimpin) untuk mememetik buah yang sudah ada. Artinya, instrument hukum untuk mengatur pertanahan sudah dibuat oleh pemerintah pusat, tinggal pemerintah daerah, baik Gubernur maupun Bupati untuk mengeksekusi di daerah masing-masing.” Tegasnya. (Lasron)