Konflik Panjang PT TPL Dengan Masyarakat Adat Natumingka

Sejarah Huta Natumingka dan Konflik Panjang Masyarakat Adat Natumingka
Masyarakat adat Ompu Punduraham Simanjuntak merupakan masyarakat adat yang berada di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba, Propinsi Sumatera Utara. Yang berada di dataran tinggi Toba atau sering juga disebut dengan daerah Habinsaran (Matahari terbit). Diperkirakan sejak tahun ±1600an yang lalu, Ompu Duraham Simanjuntak sudah berada di Desa Natumingka. Ompu Punduraham adalah merupakan generasi ke-5 dari Raja Marsundung Simanjuntak, Raja Marsundung adalah awal pertama dari adanya marga Simanjuntak. Raja Marsundung mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu, Raja Parsuratan, Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu. Raja Hutabulu mempunyai 2 (dua) orang anak yaitu Siraja Odong dan Tumonggo Tua. Tumonggo Tua mempunyai 3 (tiga) orang anak yaitu Bursok Ronggur, Bursok Datu dan Bursok Pati. Bursok Pati mempunyai 7 (tujuh orang anak yaitu Datu Malela, Guru Pallopuk, Guru Sosunggulon, Rimanbalo, Ompu Raung, Guru Somatahur dan Guru Naposo. Datu Malela mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu Ompu Duraham, Hualu, Tuan Martahi, Tuan Manjomak dan Puntebang.
Cerita Ompu Duraham Simanjuntak berawal dari Balige yaitu di Hutabulu. Ompu Punduraham Simanjuntak mempunyai kebiasaan berburu, sehingga suatu saat beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya di Hutabulu (Balige) ke arah pegunungan Timur Hutabulu yang biasanya disebut dengan daerah Habinsaran. Setibanya beliau di Habinsaran bersama dengan istrinya Boru Pakpahan, beliau melihat suatu tempat yang tepat untuk dijadikan perkampungan yang nama tempatnya adalah Simatongtong. disana beliau bersama dengan istrinya Boru Pakpahan membuka perkampungan untuk menetap tinggal disana. Setelah sekian lama berkeluarga, Raja Ompu Punduraham Simanjuntak mempunyai 3 (Tiga) orang anak, yaitu Pun Togar, Panosor dan Puni Halto. Walaupun sudah mempunyai anak, Raja Punduraham masih tetap pada kebiasaanya yaitu berburu, dalam setiap kali Raja Punduraham melakukan kegiatan berburunya, beliau selalu membawa benih Labu dan Padi yang akan ditanam nantinya di lokasi perburuannya. Suatu hari dalam perburuannya, Raja Punduraham melihat suatu lokasi yang cocok untuk ditanami labu dan padi. Beliau pun menanami lokasi tersebut dengan benih yang dibawanya dari rumahnya. Setelah beberapa minggu ditinggal, beliau pun mengunjungi tempat yang sudah ditanaminya, dan beliau merasa senang karena benih yang ditanaminya tersebut tumbuh dengan subur, sehingga beliau pun mengutus anaknya yang sulung yaitu Pun Togar untuk merawat tanaman yang sudah ditanaminya itu. Setelah sekian lama disana, Pun Togar membuka perkampungan baru disana, dan menamainya dengan Huta Bagasan, sedangkan dua saudaranya yang lain yaitu Panosor bertempat di Garoga dan Puni Halto bertempat di Aek Kanopan.
Setelah Pun Togar membuat perkampungan baru di Huta Bagasan dan batas-batas wilayah adatnya, beliau pun menamai wilayah adatnya secara keseluruhan dengan Huta Natumingka. Pun Togar mempunyai 3 (Tiga) orang anak yaitu Pangadang, Parbekkas dan Datu Purba, Parbekkas pergi meninggalkan Natumingka dan menetap di Sipahutar (Adian Padang), sedangkan Pangadang dan Datu Purba tetap tinggal di Natumingka. Huta Bagasan merupakan perkampungan pertama yang ada di Natumingka, Natumingka mempunyai arti yaitu kampung yang bertingkat tingkat, hal ini dapat dilihat ataupun dibuktikan dari posisi maupun topografi wilayah adat Natumingka yang berada di pegunungan yang dikelilingi oleh lereng yang curam dan lembah yang dalam. Dilihat dari sejarah, masyarakat adat Natumingka sudah ada 13 (Tiga Belas) generasi di Huta Natumingka, dimulai dari Punduraham Simanjuntak yang mempunyai anak yaitu Pun Togar yang membuka perkampungan yang dinamai dengan Huta Bagasan sampai dengan adanya perkampungan-perkampungan baru yang dibuka oleh keturunan dari Pun Togar. Kemudian Huta lainnya dinamai dengan Sirpang Tolu yang dibuka oleh Datu Purba anak ketiga dari Pun Togar (dan masih wilayah adat Natumingka), sedangkan Pangadang anak pertama dari pun Togar membuka perkampungan baru yang masih dalam kawasan wilayah adat Natumingka membuka perkampungan baru yang dinamai dengan Huta Golat, sedangkan Puni Ambosa yang merupakan cucu dari Pun Togar membuka perkampungan baru yang dinamai dengan Huta Ginjang, sedangkan Rakketua yang juga cucu dari Pun Togar membuka perkampungan baru yang masih dalam wilayah adat Natumingka dinamai dengan Janji Matogu, walaupun Huta Janji Matogu yang dulu itu sudah tidak ada lagi sekarang oleh karena penguasaan yang dilakukan oleh perusahaan yang datang ke wilayah adat Natumingka. Sejarahnya menyebutkan sekitar tahun 1986, perusahaan datang untuk menebang pohon pinus dan menanami ekaliptus di wilayah adat Natumingka. Huta Janji Matogu yang dulunya adalah Huta yang dibangun oleh Rakketua dan dikelilingi oleh parik (tembok-tembok tanah) dihancurkan oleh perusahaan. sewaktu penghancuran banyak ditemukan tulang belulang manusia yang merupakan tulang belulang leluhur mereka di bekas perkampungan itu, namun pihak perusahaan masih tetap melakukan kegiatannya tanpa ada pertimbangan dari sisi kemanusiaan.
Sampai sekarang masyarakat adat Natumingka masih mempertahankan sebagian dari kebiasaanya leluhurnya, seperi halnya “Manuba” yaitu ritual adat yang dilakukan pada saat musim kemarau panjang, tujuannya adalah untuk mengambil ikan dari sungai sekaligus untuk permohonan kepada Mula Jadi Na Bolon untuk mendatangkan Hujan. Dalam kegiatan ini biasanya masyarakat akan berkumpul di suatu tempat yang telah di tentukan, setelah selesai melakukan ritual di tempat yang telah ditentukan, masyarakat secara bersama sama akan turun ke sungai utuk mengambil ikan yang ada di sungai, biasanya mereka akan mengambil ikan dengan cara membuat racun dari akar tumbuhan yang nama tumbuhannya biasa disebut dengan TUBA JONI. Setelah akar tumbuhan itu diambil, akar itu selanjutnya akan ditumbuk sampai mengeluarkan air, dan airnya ini yang ditabur di sungai. Sambil turun ke sungai untuk mengambil ikan, mereka biasanya akan mengucapkan kata “Rohor” yang artinya adalah kami akan mendapatkan ikan. Setelah ikan diambil, ikan-ikan itu akan dibagi bersama,dan untuk menjaga agar racun itu tidak menyebar sampai jauh, pimpinan ritual ini biasanya akan membuang air liurnya di air untuk sebagai batas agar racunnya tidak menyebar, dan masih ada beberapa hal lagi ritual adat di Natumingka yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Secara garis besar Silsilah masyarakat adat Natumingka dapat digambarkan sebagai berikut :
Punduraham mempunyai tiga orang anak yaitu :
- Pun Togar
- Panosor
- Puni Halto
Pun togar mempunyai tiga orang anak yaitu :
- Pangadang
- Parbekkas
- Datu Purba
Datu Purba mempunyai satu orang anak yaitu
- Raja Parluhutan
Raja Parluhutan mempunyai dua orang anak yaitu :
- Pun Tinalup
- Pun Sopot
Pun Tinalup mempunyai satu orang anak yaitu:
- Pangaligas
Pangaligas mempunyai emapt orang anak yaitu :
- Raja Modong
- Raja Abel
- Raja Taram
- Raja Makmur
Raja Modong mempunyai empat orang anak yaitu :
- Jagar
- Bakka
- Putar
- Harlen
Jagar mempunyai empat orang anak yaitu :
- Monang Simanjuntak
- Marusaha Simanjuntak
- Samson Simanjuntak
- Preddi Simanjuntak
Monang Simanjuntak mempunyai dua orang anak yaitu :
- Repaldo Simanjuntak
- Bintang Simanjuntak
Demikianlah sejarah singkat Masyarakat Adat Natumingka. Secara garis besar masyarakat adat Natumingka sekarang didiami oleh keturunan dari dua orang anak Pun Togar yaitu Pangadang dan Datu Purba.
Kronologis Konflik Masyarakat Adat Dengan Pemerintah
- Pada tahun 1953 pemerintahan soeharto mencanangkan program reboisasi dengan menanam pinus. Huta Natumingka menjadi salah satu lokasi penanaman namun pada saat itu tidak ada kesepakatan dengan masyarakat. Pihak kehutanan saat itu melakukan penanaman pinus tanpa persetujuan masyarakat.
- Pada tahun 1982 dikeluarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan(TGHK) masalah kehutanan dimulai dari sini. Kawasan hutan negara yang ditunjuk tidak memiliki kepastian hukum dan belum berkekuatan hukum tetap karna masih hanya penunjukan diatas peta (Termasuk SK Nomor:44 dan SK Nomor:579 Keputusan Menteri Kehutanan). TGHK ini jelas mempertahankan status quo masalah kejelasan kawasan hutan negara. Pengelola hutan telah mengesampingkan stakeholders diluar sektor kehutanan dan cenderung tidak menganggap keberadaan masyarakat sekitar hutan termarginalisasi, hak-hak masyarakat adat terusir dari akarnya, termasuk kejadian yang di Natumingka.
- Pada tahun 1985 PTPN VIII Sibosur membangun Perkebunan Inti Rakyat Kebun Teh dan saat itu PTPN yang diresmikan oleh bapak bupati Tapanuli Utara Gustaf Sinaga, mengontrak tanah masyarakat Natumingka seluas 300 ha dengan lama 25 tahun. Namun seiring berkembangnya, PTPN VIII tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan produksi sehingga tanah yang dulunya dikontrak dikembalikan lagi kepada masyarakat pada tahun 1994.
- Pada tahun 1990 PT.Indorayon Inti Utama(PT.IIU) hadir di Hatumingka. perusahaan ini mengawali aktifitasnya dengan membuat jalan lintasan kendaraan di sepanjang hutan. Hutan kemenyan dihancurkan untuk perluasan areal tanaman eucalyptus. Kemudian melakukan pemanenan pinus program reboisasi yang diawalnya juga mendapat penolakan dari masyarakat, dan kemudian ditanami dengan euchalyptus. Pada saat itu masyarakat Natumingka melakukan protes namun mereka mendapatkan ancaman dari aparat bersenjata, sehingga upaya mereka dalam hal mempertanyakan status tanah mereka diredam akibat dari ancaman aparat era zaman Soeharto. Pemberian izin operasi PT.IIU jelaslah sangat bertentangan dikarenakan kawasan hutan yang ditunjuk sebagai konsesi perusahaan belum lah memiliki kepastian hukum.
- Tahun 1998 PT Inti Indorayon Utama ditutup oleh pemerintah atas desakan masyarakat. Oleh warga Natumingka setelah mengetahui bahwa perusahaan tutup, mereka segera menguasai kembali wilayah adat yang sempat diusahai secara paksa perusahaan.
- Tahun 2002 PT.Indorayon Inti Utama berganti nama menjadi PT.Toba Pulp Lestari. Melakukan aktifitas perusakan tanaman seperti pohon kopi, areal persawahan diganti dengan tanaman eucalyptus. Lagi-lagi aparat bersenjata mengawal aktifitas PT TPL sehingga warga merasa diintimidasi.
- Penanaman euchalyptus di wilayah adat Huta Natumingka berdasarkan IUPHHK yang didapatkan dari Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. Pemberian izin usaha tersebut sangatlah bertentangan, karena klaim kawasan hutan negara masih tahap penunjukan serta belum berkekuatan hukum tetap dan tidak adanya pengakuan terhadap masyarakat adat yang wilayah adatnya di klaim oleh negara sebagai kawasan hutan negara.
- Tahun 2009 PT Hutahean membuka perkebunan singkong seluas 300 ha dengan skema kontrak 25 Tahun dengan masyarakat. Namun karena produksi tidak sesuai dengan keinginan perusahaan maka pada tahun 2011 perkebunan tersebut berhenti dan tanah kembali kepada masyarakat Natumingka.
- Tahun 2018 masyarakat mengetahui bahwa wilayah adatnya masuk dalam kawasan hutan negara, setelah adanya pemberitahuan dari pemerintah desa terkait program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Kemudian mereka semakin penasaran terkait dengan adanya kalim hutan negara di wilayah adat. Sehingga para tetua dan warga melakukan musyawarah untuk melakukan pemetaan wilayah Huta Natumingka secara partisipatif menggunakan GPS. Setelah dilakukan pemetaan partisipatif bersama dengan hombar balok (wilayah batas terluar). Didapatkan hasil luas keseluruhan wilayah adat 2415,36 hektar. Kemudian peta wilayah adat ditumpang susunkan dengan peta kehutanan sesuai SK Menteri Kehutanan no. 579 tahun 2014 tentang penunjukan hutan negara di Sumut dan peta konsesi PT TPL. Hasilnya Setelah itu pada bulan juli 2018 masyarakat bergegas menuju Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada saat itu mereka diterima oleh Kasubdit Penetapan Hutan Adat dan Kearifan Lokal Arie Prasetyo, dari pertemuan itu KLHK menerima berkas permohonan pencadangan hutan adat diantaranya peta wilayah adat dan data sosial.
- 13 September 2018 Bupati Toba Samosir saat itu Darwin Siagian menyurati KLHK perihal Permohonan revisi konsesi PT.TPL dan kawasan hutan Kabupaten Toba Samosir dengan Nomor:660/1034/P3K/DLH/IX/2018. Dalam surat tersebut wilayah adat Natumingka termasuk dalam permohonan dengan luasan 634 ha.
- Tahun 2019 Bupati Toba Samosir kembali menyurati KLHK perihal Permohonan Peninjauan Areal Konsesi PT.TPL dan kawasan hutan di Kabupaten Toba Samosir dengan Nomor:660/0042/P3K/DLH/I/2019.
- Kemudian terbit surat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (PSKL) dengan Nomor : S.191/PSKL/PK HA/PSL.1/7/2019 perihal Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat yang ditujukan kepada Bupati Humbang Hasundutan, Simalungun, Tapanuli Utara termasuk Toba Samosir.
- Pada Tahun 2020 tepatnya 14 Februari telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir.
- 26 Februari 2020 Bupati Toba Samosir mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 138 Tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Toba Samosir. Dalam surat ini Panitia yang telah dibentuk bertugas melakukan identifikasi, verifikasi Masyarakat Adat dan wilayah adat, hasil dari identifikasi dan verifikasi tersebut menjadi dasar bupati Menetapkan Masyarakat Adat dan Wilayah adat melaui Surat Keputusan Bupati.
- 24 Oktober 2020 oleh masyarakat adat Natumingka menghentikan aktifitas PT TPL untuk penanaman eucalyptus di wilayah adat yang telah berisi tanaman jagung dan bibit pohon. Terjadi perdebatan antara Masyarakat Adat dengan pihak PT TPL di lahan yang berisi tanaman pertanian tersebut.
- 24 Oktober 2021 pihak PT TPL melaporkan warga Natumingka atas nama Anggiat Simanjuntak ke Polisi Resort (Polres) Toba.
- 8 Januari 2021 warga Natumingka atas nama Anggiat Simanjuntak mendapat surat panggilan dari Polres Toba untuk dimintai keterangan terkait dugaan tindak pidana perusakan yang terjadi pada Sabtu 24 Oktober 2020 di Desa Natumingka. Padahal Anggiat Simanjuntak pada 24 Oktober 2020 tidak ikut serta dalam melakukan pelarangan terhadap pekerja PT TPL yang akan lakukan penanaman eucalyptus. Sebenarnya tidak benar ada perusakan yang dilakukan oleh warga Natumingka terhadap tanaman eucalyptus.
- 24 Februari 2021 Anggiat Simanjuntak kembali mendapatkan surat panggilan kedua dari Polres Toba perihal dimintai keterangan.
- Maret 2021 Kepala Desa Natumingka beserta delapan orang warga bertemu dengan pihak PT TPL Sektor Simare. Oleh pihak PT TPL menawarkan program tumpang sari yang akan didanai oleh PT TPL. Oleh Kepala Desa dan warga merespon tawaran tersebut dimana mereka harus mendaftarkan seluruh Masyarakat Adat. Tetapi kemudian seluruh masyarakat adat dalam musyawarah menolak tawaran tersebut.
- 22 Maret 2021 warga natumingka menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atas nama terlapor Anggiat Simanjuntak (50thn), Firman Simanjuntak (45thn), Risna Sitohang (45thn) dengan dugaan tindak pidana barang siapa dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP subs 406 KUHP yang terjadi pada 24 Oktober. Dalam surat pemberitahuan ini ada kejanggalan karena Risna Sitohang dan Firman Simanjuntak disebut sebagai terlapor namun sebelumnya tidak ada pemanggilan kepada kedua nama tersebut.
- 1 April 2021 perwakilan warga Natumingka dan Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak menemui Pemerintah Kabupaten Toba, dalam hal ini diterima oleh Harapan Napitupulu/Asisten I, Mintar Manurung/Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Lukman Siagian/Kabag Hukum. Oleh perwakilan Natumingka menyampaikan perihal adanya upaya kriminalisasi kepada 3 warga Natumingka. Kemudian menyampaikan permohonan perlindungan hukum kepada Bupati agar upaya kriminalisasi dihentikan. Oleh perwakilan Natumingka juga menyampaikan terkait percepatan proses verifikasi Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Oleh pihak Pemkab Toba menyampaikan kepada warga bahwa mereka menampung aspirasi warga dan segera kordinasi dengan Bupati.
- Setelah pertemuan di kantor Bupati Toba warga Natumingka bergegas menuju Kantor DPRD Toba Efendi Napitupulu. Warga diterima oleh Ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD Canrow manurung dan beberapa anggota DPRD lainnya. Kembali warga menyampaikan hal yang sama kepada Ketua DPRD. Oleh Ketua DPRD berjanji akan berkomunikasi dengan Kapolres Toba perihal upaya kriminalisasi kepada warga Natumingka. Disaat masih di Kantor DPRD secara kebetulan warga Natumingka bertemu dengan Bupati Toba Poltak Sitorus di ruangan ketua DPRD. Warga Natumingka menyampaikan kepada Bupati agar mempercepat proses identifikasi dan verifikasi Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Tetapi oleh Bupati tidak merespon permohonan terkait identifikasi dan verifikasi tersebut. Justru Bupati berpendapat lain, dengan menyarankan supaya warga tidak menindaklanjuti usulan proses penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Kemudian Bupati mengusulkan pilihan lain seperti food estate dan ijin kelola hutan negara.
- 6 April 2021 pihak KPH IV Balige bersama Masyarakat adat Natumingka, Camat Borbor, Polsek Borbor dan pihak PT TPL melakukan pengambilan titik kordinat di wilayah adat Natumingka seperti perkampungan tua, makam leluhur, kolam ikan, areal kebun kopi. Setelah pengambilan titik kordinat selesai, Pihak KPH IV Balige menyampaikan akan terlebih dahulu mengolah titik kordinat tersebut. Kemudian segera menyampaikan hasilnya.
- 7 April 2021 perwakilan Masyarakat Adat Natumingka bersama Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak menemui Komisi A DPRD Propinsi yang diterima oleh Seketaris Komisi A Taripar Hutabarat beserta anggota komisi A. Perwakilan Masyarakat Adat Natumingka menyampaikan kepada Komisi A terkait upaya kriminalisasi kepada mereka. Oleh Komisi A menyampaikan turut prihatin dengan upaya kriminalisasi ini. Karena Masyarakat Adat telah lebih dulu ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan sudah ada jauh sebelum hadir perusahaan di wilayah adat. Oleh karena itu pihak Komisi A DPRDSU berjanji akan agendakan Rapat Dengar Pendapat dengan menghadirkan Kapolres, Bupati, PT TPL, Dinas Kehutanan. Kemudian dijanjikan juga akan segera berkunjung ke Huta Natumingka.
- 19 April Masyarakat Adat Natumingka menerima surat dari KPH IV Balige perihal hasil survei lokasi dan pengambilan titik kordinat di wilayah adat Natumingka. Isi dari surat tersebut KPH IV Balige tetap mempertahankan status quo (belum memiliki kepastian hukum) kawasan hutan yang berada dalam wilayah adat Natumingka, dan tidak mengakui keberadaan makam leluhur mereka.Kemudian ada penambahan luas klaim kawasan hutan negara dan konsesi PT.TPL.
- 24 April 2021 Masyarakat Adat Natumingka menerima surat penetapan tersangka sekaligus surat panggilan pertama sebagai tersangka. Pernyataan yang bertendensi menyatakan ketiga orang Masyarakat Adat Natumingka tersebut sebagai tersangka dapat dikenakan upaya paksa sehingga dapat menimbulkan ancaman dan ketidaknyamanan terhadap warga, disisi lain penetapan tersangka ini merupakan minimnya kompetensi melihat situasi konflik serta ketidakberpihakan negara terhadap keberadan masyarakat adat beserta hak atas tanahnya.
- 26 April Masyarakat Adat Natumingka membalas surat dari KPH, isi surat balasan tersebut masyarakat menegaskan bahwa penunjukan kawasan hutan saat ini belum lah berkekuatan hukum tetap serta masyarakat menolak klaim kawasan hutan negara dan konsesi PT.TPL yang berada dalam wilayah Masyarakat Huta Natumingka. Kemudian pada malam hari perwakilan Masyarakat Adat Natumingka bersama Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak berkunjung ke rumah dinas Wakil Bupati Tonny Simanjuntak. Dalam pertemuan tersebut masyarakat meminta suapaya Wakil Bupati mengambil tindakan perihal kriminalisasi yang mereka alami.Wakil Bupati menjawab akan mengkomunikasikan dengan Kapolres Toba.
- 8 Mei 2021 Wakapolres beserta jajaran datang ke Desa Natumingka, kedatangan tersebut atas laporan pihak PT.TPL karena masyarakat melakukan blokade akses keluar masuk pihak PT.TPL yang berlokasi di Desa Natumingka.
- 11 Mei 2021 Masyarakat Adat Natumingka menerima surat pemanggilan ke 2 sebagai tersangka .
- 17 Mei 2021 Masyarakat Adat Natumingka mendapat informasi dari warga desa tetangga bahwa pada hari selasa 18 Mei pihak PT.TPL akan melakukan penanaman di wilayah adat Natumingka, dan salah satu Buruh Harian Lepas yang bekerja pada perusahaan mengaku bahwa mereka diinstruksikan untuk berperang esok harinya bukan untuk bekerja, lalu setiap orang yang ikut upah hariannya akan ditambah, apabila tidak ikut maka akan dipecat. Setelah Masyarakat Adat Natumingka mendengar informasi mengenai penanaman yang akan dilakukan pada esok hari, secara spontan masyarakat membuat pos jaga malam yang berada di Simpang Titi Alam yang menjadi akses masuk.
- 18 Mei 2021 Pukul 06.30 WIB Pihak PT TPL datang dengan membawa securiti dan karyawan perusahaan berjumlah 500 orang dengan membawa puluhan truk yang berisi bibit eucalyptus siap tanam. Oleh warga yang berjaga di wilayah adat berupaya menghalangi pihak TPL yang ngotot menanami bibit eucalyptus.
Pukul 07.00:Masyarakat menunggu kedatangan KPH, dan suasana masih kondusif.
Pukul 10.30 : Perwakilan KPH Balige hadir, kemudian mediasi dilaksanakan dan diikuti oleh Masyarakat, Kepolisian, dan Pihak PT.TPL namun tidak ada solusi yang didapat, diakhir pembicaraan Humas menegaskan akan tetap melakukan penanaman bibit euchalyptus. Setelah itu masing masing pihak kembali ketempat masing masing.
Pukul 11.00 : Oleh Kepala Security PT TPL memberi aba-aba kepada seluruh anggotanya untuk bersiap, setelah itu kepala security memberi instruksi untuk maju menerobos barisan warga yang menghadang, kemudian terjadi aksi saling dorong mendorong, disaat itu pula dari belakang barisan security, seseorang melemper sebatang kayu ke arah barisan masyarakat, ada bukti video bahwa pekerja PT.TPL yang lebih dulu melakukan pelemparan. Bahkan ada karyawan PT.TPL yang membawa samurai (ada video).
Pukul 11.20 : Jusman Simanjuntak (Korban Luka) yang berada di tenda melihat situasi semakin tidak terkendali karna melihat security semakin anarkis dan melihat kepolisian tidak ada inisiatif untuk meredam suasana tersebut, kemudian Jusman Simanjuntak menghampiri barisan masyarakat bertujuan untuk meredam, namun setelah 1 menit Jusman meredam dan menyuruh masyarakat mundur, disaat itu pula security mendorong dan melempar ke arah masyarakat, disaat itu pula lemparan dari security PT.TPL mengenai wajah Jusman Simanjuntak yang mengakibatkan wajahnya robek dan mengucurkan darah, meskipun Jusman Simanjuntak telah terluka, tidak menghentikan kebrutalan pihak PT.TPL dan tidak membuat polisi bergerak untuk meredam.
Jumlah masyarakat yang terluka sebanyak 12 orang.
- 20 Mei 2021 Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda berkunjung ke desa Natumingka untuk melihat kondisi korban dan mendengar aspirasi dari masyarakat. Dalam pertemuan itu ada 5 hal yang menjadi tuntutan masyarakat kepada Bupati, yaitu:
- Pengembalian hak atas tanah adat Natumingka seluas 2.409,70 ha
- Diberikan jaminan keamanan untuk tidak mengganggu masyarakat yang bekerja di areal wilayah adat yang selama ini dikelola, sebelum ada penyelesaian hukum
- Menindaklanjuti Perda Kab.Toba Samosir No 1 tahun 2020 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Saosir serta menjalankan Tim Identifikasi dan Verifikasi keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat
- Menghentikan proses hukum terhadap 3 orang
- Melampirkan sejarah, data sosial dan peta yang membuktikan keberadaan Masyarakat Adat Desa Natumingka.
Akibat adanya kebijakan yang belum terlaksana secara prosedur serta kebijakan bersyarat terhadap masyarakat adat, mengakibatkan masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adat dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, Rina Sitohang ketiga orang tersebut merupakan Masyarakat Adat Huta Natumingka,Kec.Bor-bor, Kab.Toba. Mereka dilaporkan oleh pihak PT.TPL atas dugaan tindak pidana pengrusakan.
KUNJUNGAN BUPATI TOBA DI NATUMINGKA PASCA PENYERANGAN PT. TPL
Natumingka, 20 Mei 2021
Pada tanggal 20/05/21, Masyarakat adat (MA) Natumingka mendapat kabar dari salah seorang Pendeta, bahwa Bupati Toba akan hadir menemui masyarakat adat Natumingka sekitar pukul 11.30 WIB. Kemudian Camat Borbor memberi informasi kepada Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas adat Natumingka, agar pertemuan diadakan di kantor camat Borbor.
Terkait kedatangan Bupati dan rombongannya, sempat ada ketidakjelasan informasi di tengah masyarakat adat Natumingka. Sekitar pukul 14.00 WIB, Pareses HKI (Huria Kristen Indonesia), yang juga diketahui sebagai Penasehat Bupati, hadir duluan di Desa Natumingka dan menginformasikan bahwa Bupati Toba akan hadir.
Menanggapi kedatangan Bupati tersebut, MA Natumingka melakukan musyawarah dengan para tetua adat di kampung dan menyepakati beberapa poin yang menjadi tuntutan yang akan di berikan kepada Bupati. Adapun tuntutan yang mereka sepakati adalah:
- Pengembalian hak tanah adat MA Natumingka seluas 2.409,70 Ha
- Diberikan jaminan keamanan kepada masyarakat, tidak mengganggu masyarakat adat Natumingka yang bekerja di areal wilayah adat Natumingka. Yang selama ini di kelola oleh masyarakata adat.
- Menindak lanjuti pelaksanaan Peraturan Daerah (PERDA ) No. 1 Tahun 2020 di Kab. Toba yang mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat di Kab. Toba, dengan menjalankan Tim verifikasi dan Identifikasi masyarakat adat di Kab. Toba.
- Menghentikan proses hukum kepada tiga anggota MA Natumingka yang saat ini sedang berproses di kepolisian dengan tuduhan pengrusakan.
- Melampirkan Sejarah, data sosial dan peta yang membuktikan keberadaan masyarakat adat Natumingka.
Tepat pada pukul 19.00 WIB jajaran Pemkab Toba hadir di Huta Bagasan, Desa Natumingka, adapun yang hadir dari perwakilan Pemkab Toba adalah Bupati Toba-Ir. Poltak Sitorus, Wakil Bupati-Tony Simanjunak, S.E, Sekretaris Daerah Toba-Audi Murphy Sitorus, Kepala Dinas Lingkungan Hidup -Mintar Manurung, Camat Borbor-James Pasaribu, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Komisi E, Viktor Silaen S.E, M.M, serta jajaran Pemkab yang lain.
Kemudian acara dibuka oleh Pareses HKI pada pukul 19.20 WIB. Bupati lalu memberikan “Boras sipir ni tondi” (memberikan beras di kepala), symbol penghargaan dan penyemangat kepada para korban yang diwakili oleh Jusman Simanjuntak (75 Tahun), salah satu orang tua yang menjadi korban pemukulan.
Kemudian Kepala Desa Natumingka menyampaikan 5 poin tuntutan di hadapan Pemkab Toba dan masyarakat adat Natumingka. Setelah penyampaian tuntutan tersebut, masing-masing perwakilan dari Pemkab Toba dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara memberikan tanggapan terkait tuntutan dari masyarakata adat Natumingka.
Pertama, Viktor Silaen mewakili anggota DPRD Provinsi Sumut. Sebelum memberikan tanggapan, beliau mengingatkan agar masyarakat Natumingka tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dia juga mengatakan bahwa dia telah membuat rilis pers di media SIB dengan statemen bahwa dia tidak menginginkan ada arogansi. Beliau juga mengatakan bahwa DPRD Provinsi Sumut dan Pemkab Toba tetap akan berpihak kepada masyarakat, namun tetap ada prosedural yang harus dijalani, dan harus ditempuh. Bapak Viktor Silaen juga memperingatkan agar masyarakat Natumingka tetap solid dan jangan anarkis. “Saya, selaku wakil masyarakat akan saya suarakan apa yang menjadi keinginan dari masyarakat”, tegasnya.
Kedua, Bapak Tony Simanjuntak, Wakil Bupati Toba, memberikan tanggapan sebagai berikut:
“Sebagai langkah pertama yang kami upayakan adalah menghubungi pihak kepolisian Resort Toba agar pemanggilan yang dilakukan kepada masyarakat Natumingka atas dugaan pengrusakan dibeberapa pekan lalu segera dihentikan, setelah kedatangan masyarakat Natumingka dengan AMAN Tano Batak ke rumah Dinas. Kemudian tidak berselang lama kejadianlah Selasa 18 Mei 2021 kemarin. Setelah melihat kejadian tersebut, saya sangat prihatin. Setelah kejadian saya bersama Pak Bupati di ruangannya bersama dengan Pak Sekda dan Pak Kepala Desa selalu memonitor supaya kondisi bisa tenang, dan kami memikirkan caranya. Kemudian pak Bupati langsung menelepon Pak Yusuf dan Pak Jandres supaya pihak TPL segera mundur, berterimakasih situasi bisa reda. Kemudian kami memikirkan cara dengan Kepala Desa, bagaimana cara supaya dapat duduk bersama, kalau harapan kami kian agar ada beberapa perwakilan dari masyarakat dan orang tua kami dari Natumingka untuk membicarakan apa yang menjadi tuntutan dari warga desa Natumingka. Namun kepala desa menawarkan agar Bupati dan Wakil Bupati yang datang ke Natumingka mendengar langsung keinginan dari masyarakat. Dan inilah waktunya kami datang ke sini. Kami telah menerima apa yang menjadi tuntutan dari masyarakat, inilah yang akan kami pelajari dan kami bawa ke kantor Bupati. Dan seperti apa yang dikatakan pak Viktor, semua ada prosedur, kita akan kaji. Perda sudah ada dan kita akan duduk bersama dengan anggota DPRD Kab. Toba. Untuk orang tua kami dan saudara yang 12 orang menjadi Korban, kalian harus tetap semangat dan semoga para orang tua kami tetap panjang umur agar kita bisa cepat menyelesaikan kasus dan mengambil jalan terbaiknya untuk permasalahan ini.”
Ketiga, Sekda Pemkab Toba, Audi Murphy Sitorus, juga memberikan tanggapan. Berikut Tanggapannya:
“Kami dari aparatur pemerintahan Kabupaten Toba sangat jelas mengetahui tentang kejadian yang terjadi di hari Selasa lalu. Dalam kejadian itu ketepatan kami dalam posisi rapat. Kades tiba-tiba datang dan menunjukkan video kejadian dari beberapa liputan live FB masyarakat. Seketika bupati langsung memberhentikan rapat untuk menyaksikan video tersebut. Kami dari aparatur negara sangat merasakan keresahan dari pada bapak ibu sekalian saat terjadinya konflik dengan PT.TPLFB. Saat itu juga kami langsung menyimpulkan untuk berkunjung ke Natumikka untuk mempertanyakan langsung terkait konflik yang terjadi. Bupati langsung menghubungi pihak TPL, pihak Polres dan menegaskan mengapa bisa terjadi konflik kekerasan sementara pihak keamanan ada di lokasi. Dari situ bupati langsung menghimbau pihak polres untuk mengamankan konflik yang terjadi dan karyawan TPL jangan sampai kontak fisik dengan masyarakat. Mereka hanyalah pekerja, bila memang tidak memungkinkan untuk aktifitas silahkan mundur dari lapangan. Aku sebagai Sekda, sangat merasakan keresahan yang masyarakat rasakan dalam kejadian konflik itu. Sebagai masyarakat adat memang harus mempertahankan segala bentuk yang harus menjadi hak miliknya dan sudah diatur dalam Perda No.1 tahun 2020 yang mengatur hak-hak masyarakat hukum adat dan juga tata cara dalam menjalanakan. Maka dari itu tidak bisa langsung ditetapkan sebelum adanya identifikasi dan verifikasi. Dana dalam memproses ini juga sudah di persiapkan. Maka dihimbau kepada bapak Mistar Manurung (Kadis Lingkungan Hidup) untuk segera memprioritaskan hal ini. Dalam tahapan-tahapan yang seharusnya dijalankan segera dilakukan, dan kami sebagai aparatur negara siap untuk membantu apa yang diinginkan oleh masyarakat, dan semoga bisa cepat terealisasi.
Terakhir, Bapak Poltak Sitorus, Bupati Toba, memberi tanggapan sebagai berikut :
“Pada hari Selasa, Pak Kepala Desa dengan tergesa-gesa datang menghadap ke ruang saya bersama dengan Pak Wakil Bupati, dan saya lihat wajah Wakil Bupati sudah pucat, dan segara kepala desa membuka handphone dan kami lihat, kenapa sampai terjadi seperti ini. Dan saya sudah panik melihat kejadian tersebut. Mungkin berkat rahmat yang kuasa, saya langsung ingat telepon pak Yusuf, itu salah satu orang penting di TPL, dan saya kembali menelepon Janres Silalahi, dan langsung diangkat dan di respon. Berkordinasi dengan Pak Yusuf dan meminta supaya mundur, karena tidak akan ada solusi di lapangan, mari kita bicarakan di atas meja, karena di lapangan hanya akan menimbulkan perkelahian. Karena tidak akan ada di lapangan akal sehat, saling pukul yang ada. Silahkan kalian mundur, nanti akan kita bicarakan mana yang terbaik di atas meja. Pak Janres Silalahi meng-iya-kan, dan saat itu mereka mundur, dan kami lihat situasi mulai kondisif. Dan kemudian malamnya saya telfon amang pendeta, supaya di temani dulu saya ngombrol pikirku, amang pendeta Siregar karena dialah penasehat saya. Dan saya berdiskusi dengan pendeta dan langsung direspon agar pendeta datang duluan ke Natumingka dan akan saya kabari nanti, kata amang Siregar. Tidak ada direncanakan satu hari ini hadir di sini, kebetulan Viktor Silaen dari komisi E hadir di Toba dan dikatakan Lae Viktor supaya dia ikut ke sini, dan pak Sekda pun semangat untuk turun kelapangan. Dan saya menghubungi pak Camat supaya dikordinasikan pertemuan dan semua kami telah hadir beserta para Kadis yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Dan inilah kesungguhan kami, karena kami ikut merasakan. Sangat kami sesalkan kejadian kemarin yang menimbulkan luka-luka dan korban di masyarakat, maupun yang saya dengar di pihak TPL. Inilah yang kita tidak inginkan bersama-sama, dan orang batak mengatakan Gelleng inna Bulung ni Jior gumellengan bulung ni bane-bane toho do hata tigor dumengganan ma namardame-dame, kalau ada damai, di sana sudah ada berkat yang kuasa. Jadi sekali lagi jangan kalian bilang pemerintah tidak perduli, sudah diceritakan tadi sebenarnya panitia juga sudah dikuatkan untuk melakukan verifikasi.
Kami tanggal 26 bulan dua di angkat artinya kami baru lahir, jadi masih banyak yang harus kami kerjakan, namun sudah dikatakan oleh Dinas Lingkungan Hidup, hal ini akan kita prioritaskan. Namun sangat penting kata sabar, jadi sabar kita, ikuti proses karena proses yang baik akan menghasilkan yang baik, kita tidak mau proses yang tidak baik, sehingga timbullah persoalan demi persoalan. Kami pemerintah adalah yang kalian pilih jadi beri kami kepercayaan karena anak kaliannya Wakil Bupati tidak mungkin dia tidak memberi perhatian, jadi beri kami kepercayaan supaya bisa persoalan ini cepat selesai. Supaya apa yang kalian inginkan dapat terwujud terkait yang lima poin tersebut. Namun walaupun tidak bisa yang kalian minta ini semua terwujud, supaya bisa kita sama sama memberikan hati, terkadang ada saatnya mengalah untuk menang, namun kami akan tetap upayakan supaya ini bisa dapat terealisasi semua. Tapi walau tidak bisa semua yang penting kita telah berusaha untuk membuat apa yang mau kita buat. Dan sudah jelas dikatakan oleh DPRD Provinsi tadi pemerintah pasti berpihak kepada masyarakat, bukan berarti karna berpihak kepada masyarakat, kita menjadi tidak menginginkan Investor, rakyat pun perlu investor, rakyat pun perlu para pengusaha yang datang ke Toba ini, supaya bisa memberikan lapangan pekerjaan. Siapa pun yang berusaha di Toba ini harus menguntungkan masyarakat, menguntungkan kepada pemerintah, menguntungkan perusahaan itu sendiri. Kita tidak mau perusahaan rusak, kita tidak mau masyarakat rugi dan kita juga tidak mau pemerintah tidak berjalan. Jadi sekali lagi harus kita buat semua bagus, jadi terima kasihlah, dan percayakanlah persoalan ini kepada pemerintah, di sini ada camat, kepala desa, nanti kita akan bertemu di kegiatan Tonggo Raja/Musyawarah seperti yang dikatakan pendeta.
Tapi kalau pun perwakilan dari kalian, kalian utuslah ya, bersama dengan kepala desa, camat, kalau untuk tempat nanti akan kita buat di kantor Pemkab, setuju lah kita semua disitu ya?. Tidak harus di sini, bisa kita buat di kantor Pemkab di Balige, supaya bisa semua datang, dari perusahaan, dari Pemerintah, dari DPR dan yang berkepentingan, tapi semua ada waktunya. Nanti juga kami akan datang melihat wilayah tanah yang kalian maksud itu, bagaimana posisinya, namun untuk Tonggo Raja/Musyawarah nanti kita akan jumpa di kantor Pemkab. Setujunya kalian amang inang? Jadi itulah nanti pertemuan kita berikutnya. Rajalah kalian yang datang dan akan kami jamu dengan diskusi dan langkah-langkah apa yang bisa kita buat, karena sudah kami dapat 5 poin ini yang menjadi tuntutan dari masyarakat, dan ini akan kita teruskan pembicaraan ini di hari berikutnya. Kami sudah datang hari ini ke sini dan berikutnya ke kantor bupatilah kita bertemu dan itu yang saya minta sama kalian para bapak dan ibu kami sekalian.”
Kehadiran Pemkab di Huta Bagasan Natumingka hanya berlangsung sejam, tidak lebih. Setelah pernyataan tersebut kegiatan selesai, dan tuntutan MA Natumingka telah diberikan kepada Bupati. Dari hasil diskusi tersebut belum ada jawaban pasti tentang pengembalian tanah adat dan jaminan untuk mengelola wilayah adat. Kemudian waktu pertemuan yang dijanjikan bupati belum ada waktu yang jelas dan pasti hanya sebatas direncanakan.
Dari hasil diskusi dengan para tetua di Natumingka, mereka beranggapan bahwa kehadiran bupati belum memberi jawaban yang pasti, karena masyarakat juga menyesalkan tidak ada dialog dua arah yang intens dengan Bupati terkait permasalahan tanah adat. Lalu beberapa orang tua juga cenderung melihat kehadiran Bupati hanya sebatas untuk menenangkan, sementara persoalan ini sebenarnya harus lebih cepat diselesaikan. Dari hasil diskusi masyarakat adat Natumingka tetap akan berjuang untuk mempertahankan wilayah adat.
Terkait dengan kata damai yang disarankan oleh Bupati, masyarakat menanggapi, bahwa kata damai ada jika tanah adat sudah kembali. Kemudian anak muda masyarakat adat Natumingka merasa kesal dengan pernyataan Bupati dan Pemkab Toba yang cendrung formalistik dan belum jelas terkait kepastian dari semua yang disampaikan oleh Bupati. Hasil kesimpulan dari masyarakat adat Natumingka, tetap memperjuangkan wilayah adat dan melarang aktivitas PT. TPL di wilayah adat Natumingka. Kemudian, terkait laporan korban penganiayaan tersebut harus tetap berjalan sesuai proses hukum. Sementara sikap Bupati terkait dengan korban yang mengalami luka tidak didapatkan masyarakat. Terkait lima tuntutan MA Natumingka, mereka juga akan terus mengawal apa yang telah menjadi tuntutan tersebut.
Berbagai tindakan kekerasan, kriminalisasi yang dilakukan oleh TPL
- Semenjak PT.TPL hadir di Tano batak tindakan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi yang dilakukan terhadap masyarakat adat yang berupaya mempertahankan wilayah adatnya terus berlangsung, tidak hanya terjadi di Natumingka.
- Pada bulan September Tahun 2019 tindakan kekerasan dialami masyarakat adat Sihaporas disaat mereka melakukan aktifitas bertani di wilayah adat mereka, pada saat kejadian itu Thomson Ambarita dan Mario Ambarita (anak kecil) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan Security PT.TPL.
- Pada bulan Oktober Tahun 2019 PT.TPL menurunkan kepolisian dengan membawa senjata dan aparat TNI mengintimidasi Masyarakat Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun disaat mereka melakukan aktifitas bertani di wilayah adat mereka. Setelah itu pihak PT.TPL melaporkan 2 orang masyarakat an:Hasudungan Siallagan, dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan aktifitas menduduki hutan negara.
- Pada bulan Juni Tahun 2020 pihak PT.TPL melaporkan 5 orang Masyarakat Adat Huta Tornauli Parmonangan, Kab.Tapanuli Utara atas nama, Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan Perkebunan Tanpa Izin di Kawasan Hutan.
- Kemudian pada Akhir Tahun 2020 pihak PT.TPL kembali melaporkan 5 orang masyarakat adat Ompu Ronggur Sipahutar, Kab.Tapanuli Utara dengan tuduhan pembukan jalan diareal konsesi PT.TPL. Atas nama, Dapot Simanjuntak, Rinto Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Maruli Simanjuntak. Kelima orang tersebut sudah lanjut usia.
- Pada bulan Januari Tahun 2021 pihak PT.TPL melaporkan 3 orang masyarakat adat huta Natumingka dengan tuduhan, pengrusakan tanaman. Atas nama, Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang.
- Masyarakat adat tano batak tidak mengenal cara-cara kekerasan menyelesaikan masalah. Karena seluruh masyarakat adat akan melakukan musyawarah mufakat bersama penatua kampung dalam memecahkan suatu permasalahan, tidak dengan tindakan anarkis seperti yg dilakukan PT. TPL kepada masyarakat adat Natumingka, dengan mempersiapkan satpam atau karyawan menggunakan benda tajam seperti kayu runcing (alat tanam) bahkan ada karyawan PT.TPL yang membawa samurai (ada videonya) dan lemparan batu, bahkan polisi yg berada di tempat kejadian menjadi penonton, seolah mengizinkan kejadian itu berlangsung tak berdaya dengan alat² yg digunakan PT. TPL untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat. Akan tetapi sejauh ini PT. TPL sering sekali melakukan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.
Tidak jerahnya PT. TPL melakukan kekerasan, dan bentuk lainnya ialah bukti lemahnya hukum untuk mendindak perusahaan. Sejak tahun 2015 hingga saat ini , sudah ada 50 orang masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi oleh PT.TPL yang tersebar di kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, dan Simalungun.
- Menurut keterangan Kepala Desa, bahwa tidak pernah pihak PT.TPL melakukan sosialisasi terkait rencana penanaman. Dan pada bulan Maret Tahun 2020 kepala desa beserta 8 orang masyarakat pergi menemui pihak PT.TPL yang berada di kantor sektor habinsaran. Dalam kunjungan tersebut Kepala Desa Natumingka beserta masyarakat menyampaikan supaya menghentikan penanaman menunggu penyelesaian hukum, serta mencari solusi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
- Jika pihak PT.TPL menarik karyawannya tentu di awal sudah seharusnya ditarik, namun realita dilapangan security dan pekerja memaksa mendorong barisan warga serta melakukan pelemparan terlebih dahulu sehingga mengakibatkan 12 warga luka-luka.