Oleh Roy Marsen Simarmata, S.H (Staff Bantuan Hukum Bakumsu)
Mahasiswa memiliki peranan yang amat penting dalam proses keberlangsungan pembangunan negeri. Mahasiswa sebagai orang yang berintelektual dapat menyumbangkan ide dan gagasannya dalam menghadapi gejolak sosial sehingga dapat membantu beban rakyat dalam mensejahterahkan hidupnya. Dengan demikian kampus sudah sewajarnya melahirkan para sarjana yang berdedikasi, agar kelak kehadiran para sarjana tersebut berdampak positif dalam mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur. Untuk itu mahasiswa seyogianya diberikan ruang yang bebas untuk mengembangkan akal sehatnya.
Kampus ialah merupakan tempat dimana ide dan kenyataan itu didiskusikan. Memperdebatkan yang dinggap bertentangan dengan kenyataan. Agar mahasiswa dapat menemukan sebuah kebenaran secara teori setidaknya mendekati pada sebuah kebenaran yang nyata.
Kampus harus membuka diri untuk memperdebatkan apa saja yang dianggap tabu oleh masyarakat, setidaknya Mahasiswa dapat mendiskusikan dan mencari kebenaran pada sebuah persoalan. Kampus merupakan tempat menikmati semua kemungkinan, harapan dan tantangan, harus diperlihatkan sebagai milik dan tanggung jawab bersama. Masyarakat kampus harus mampu mengelola informasi dan ide dengan memakai Displin Ilmu yang dimilikinya. Karena kesempatan itu ialah merupakan bagian dari upaya Mahasiswa untuk berinvestasi dalam menemukan infrastruktur politik akal sehatnya.
Namun pada kenyataannya Ruang kebebasan Mahasiswa masih sering di Intervensi oleh Birokrat kampus, tindakan birokrat Kampus kadang terkesan memberangus pola pikir kritis Mahasiswa. Birokrat Kampus sering sekali terlibat dalam Tatanan Organisasi Mahasiswa, Kegiatan Mahasiswa, memberlakukan jam malam, bahkan mau menggunakan cara-cara kekerasan hingga kriminalisasi kepada Mahasiswanya untuk memenuhi keinginannya.
Bahkan mirisnya hal tersebut baru-baru ini dialami oleh Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), Rektor USU memecat 18 (delapan belas) orang pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Suara USU. Suara USU merupakan sebuah lembaga Mahasiswa yang fokus terhadap sastra dan Jurnalistik dibawah naungan oleh Birokrasi USU. Alasan pemecatan tersebut adalah disebabkan Suara USU memposting sebuah Cerpen ke dalam websitenya yang berjudul “ketika semua menolak kehadiran diriku didekatnya” atas cerpen tersebut 18 (Delapan Belas) orang pengurus Suara USU dipecat oleh rektor USU. Cerpen tersebut dianggap sebagai tulisan yang mencederai nilai-nilai yang berlaku di USU dan tidak sejalan dengan misi USU.
Pemecatan tersebut mendapat perhatian khusus dan dukungan dari kalangan Aktivis, Jurnalis, Sastrawan, ahli bahasa dan kelompok Masyarakat Sipil baik di Sumatera Utara dan di luar Sumatera. Pembiaran terhadap tindakan Rektor USU tersebut dianggap langkah mundur dari Demokrasi yang kita cita-citakan. Untuk itu tindakan tersebut harus dilawan dengan menggunakan upaya-upaya yang ada baik litigasi maupun nonlitigasi untuk membatalkan SK Rektor USU no 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 TERTANGGAL 25 Maret 2019.
Upaya Kriminalisasi
Dukungan untuk melakukan perlawanan atas SK Rektor USU tersebut semakin mengalir dari kalangan pegiat sosial, kepada 18 Mahasiswa tersebut. Birokrat USU memberi respon negatif. Upaya intimidasi diruang kelas kian dirasakan masing-masing pengurus Suara USU baik persoalan akademik, penghentian Beasiswa, pemecatan sebagai mahasiswa. Kabar angin dari USU juga terdengar akan membawa persoalan cerpen mahasiswa tersebut kejalur pidana, diduga Rektorat USU berpandangan bahwa cerpen tersebut mengandung konten Pornografi.
Ancaman pidana yang sempat terdengar ketelinga Mahasiswa sepertinya sebuah persepsi yang keliru dalam menjalankan fungsi sosial kampus. Cerpen yang lahir dari pikiran kritis Mahasiswa dipandang sebagai suatu tindakan yang mengandung unsur Pornografi. Persepsi tersebut patut diduga sebagai tindakan yang melanggar kebebasan berekspresi khususnya menyangkut Hak-hak Asasi Manusia.
Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang harus diakui dalam Negara Demokrasi. Indonesia sebagai negara hukum, jaminan mengenai kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Selain itu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) menyebutkan bahwa:
“Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.
Tetapi pada kenyataannya aturan yang telah diundangkan tersebut justru terkesan tidak memberi perlindungan pada rakyatnya sehingga masih menyisakan berbagai persoalan yang mengkebiri dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi khususnya.
Pengadilan, Jaksa, dan Kepolisian sebagai Lembaga Penegak Hukum terkesan seperti alat pemuas dari Penguasa. Mereka yang beridentitas Aktivis, Mahasiswa, dan Jurnalis sering sekali dikriminalisasi dalam mempublikasikan temuannya. Mereka terkadang dituduh dalam melakukan pencemaran nama baik, Ujaran Kebencian, menyebarkan Berita Bohong (HOAX) hingga dituduh menyebarkan konten Pornografi.
Khususnya tuduhan pencemaran nama baik, para Aktivis dan Jurnalis ketika mempublikasikan temuannya sering kali di Pidana. Kebebasan berekspresi dan berpendapat diasumsikan sebagai perbuatan pidana oleh penegak hukum. Sejak adanya UU ITE untuk mengatur etika pemakai media sosial, masyarakat umum juga tidak luput dalam korban Kriminalisasi ketika menyampaikan/mengupload pendapatnya baik foto maupun video dalam media sosial. Memang melawan kekuasaan yang anti kritik tidak luput adanya upaya kriminalisasi dari penguasa namun dalam berdemokrasi dan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka harus melindungi dan menjamin kebebasan rakyatnya.
Untuk itu penegak hukum perlu memiliki keahlian khusus dalam mengusut kasus-kasus terkait, tentu harus lebih berhati-hati dalam mencari unsur-unsur Pidananya. Aparat harus mampu memilah pendapat dan fakta kejadian, mampu memahami motif para Terlapor. Penguasa harus mengkaji secara mendalam terkait mudharat dan maslahat dari tindakan yang dilakukan masyarakat terkhusus Pegiat Sosial dalam melaksanakan Fungsi Sosialnya.