News
Peristiwa Genosida 1965 masih menjadi momok yang ‘tabu’ dibicarakan oleh kaum awam. Perjalanan kisah partai yang menjadi fenomenal itu menjadi sebuah alergi bila dibicarakn secara massal. Pendidikan sejarah, UNIMED mencoba membuka kembali ruang diskusi untuk menghilangkan alergi tersebut. Dengan basic pendidikan, para mahasiswa yang berkecimpung dalam diskusi tersebut mengingini bahasan ini menjadi bahasan yang tak lagi diprivatisasi. Hanya kalangan tertentu yang bisa membacanya atau mendengungkan.
Dalam pemaparannya, Dr. Asvi Marwan Adam menyatakan bahwa telah diterbitkannya tiga buah buku yang dituliskan oleh peneliti Belanda terkait temuan Genosida 1965. Pada Februari 2018, diterbitkan sebuah buku berjudul “The Killing Season, a History of The Indonesian Massacres, 1965-66” yang dituliskan oleh Geoffrey. Pada Februari 2018 juga diterbitkan sebuah buku berjudul “The Army and the Indonesia Genocide, Mechanisc of Mass Murder” yang dituliskan oleh Jess Melvin. Buku ini membahas bagaimana genosida yang terjadi di Banda Aceh. Kemudian Maret 2018, “The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamics and Legacies (Palgrave Studies in the History of Geenocide) diterbitkan oleh penulis Katharine McGregor. Di dalam ketiga buku tersebut terdapat beberapa temuan tentang genosida yang telah terjadi di Indonesia.
Melalui pemantauan lebih jauh terkait genosida 1965, langkah yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana sebenarnya kisah tersebut dan dalang dari perebutan kekuasaan. Langkah yang bisa dipakai adalah dengan mencari kembali jumlah kuburan massal yang ada di Indonesia. Penelitian layaknya ini sudah dilakukan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 yang diketuai oleh Bedjo Untung. Dengan mengambil angka resmi dari KOPKAMTIB. Mewawancarai keluarga dan saksi yang masih hidup serta melihat data kasus sensus penduduk 1960-1970.
Melalui diskusi ini juga, diungkapkan bahwa masih muncul stigma bagi penyintas dan keluarga. Inilah yang membuat mereka tidak bisa mengeksplorasi keluarga mereka. Beberapa rahasia masih dibenamkan untuk kesejahteraan keluarga selanjutnya. Ini juga sangat berpengaruh terhadap etnis Tionghoa yang masih memiliki trauma terhadap kejadian yang menimpa mereka. Akhirnya pengungkapan lebih lanjut tidak dapat diteliti dengan baik.
Melalui diskusi ibi, Dr. Asvi Marwan Adam menjelaskan hendaknya sesuatu yang kita bahas ini bukan membuka luka yang lama akan tetapi mencoba meluruskan apa yang salah. Hendaknya juga penelitian yang ilmiah tidak dipolitisasi oleh beberapa pihak untuk penuntasan sejarah yang ada. (Pri)