Skip to content
Gagas

MENGGANTUNGKAN ASA DI DPRD BARU: MENGAPA PERDA MASYARAKAT ADAT MENDESAK?

Robby Fibrianto Sirait

Ilustrasi dibuat dengan AI

“Ironisnya, kemerdekaan Indonesia dari penjajah justru dimaknai terbalik oleh Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan. Bagi mereka, negaralah penjajah yang sesungguhnya.”

Hingga berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat belum disahkan. Situasi ini menjadi sorotan, mengingat ranperda tersebut sempat masuk dalam daftar program legislasi daerah. Tidak ada perkembangan lebih lanjut yang membawa ranperda ini pada proses pengesahan.

Keberadaan ranperda ini penting untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang ada di wilayah Sumatera Utara. Keberadaan mereka yang mendahului kemerdekaan negara ini, justru masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.

Komnas HAM mencatat, terdapat 31 komunitas adat di Sumatera Utara sedang dalam proses administrasi yang belum diselesaikan pemerintah.  Tidak sedikit dari mereka  yang mengalami kriminalisasi. Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, malah mendekam di jeruji besi di tengah perjuangannya mempertahankan tanah leluhur.

Negara yang merdeka pada 1945, mengklaim tanah adat mereka menjadi kawasan hutan (milik negara) pada tahun 1982. 10 tahun kemudian, tahun 1992, tanah tersebut dipinjamkan (Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) kepada PT Indorayon Inti Utama—sekarang PT TPL.

Sedangkan leluhur Sorbatua Siallagan telah mendiami tanah tersebut sejak tahun 1700an. Ada peninggalan sejarah dan makam leluhur yang dapat—diuji dan diperiksa. Ironisnya, kemerdekaan Indonesia dari penjajah justru dimaknai terbalik oleh Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan. Bagi mereka, negaralah penjajah yang sesungguhnya.

Tantangan Pengesahan Perda Masyarakat Adat

Seorang anggota DPRD lama, Yahdi Khoir Harahap mengatakan, mereka tidak bisa mengesahkan perda tersebut karena RUU Masyarakat Adat belum disahkan. Perda boleh disahkan apabila ada regulasi yang lebih tinggi. Begitulah mekanismenya, kata mereka.

Lantas mengapa DPRD di provinsi lain dapat mengesahkan perda tentang masyarakat adat? Perda Masyarakat Adat di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Bali telah disahkan. Perda-perda itu dibuat tanpa menunggu RUU Masyarakat Adat disahkan. Kenapa mereka bisa? Dan DPRD Sumut tidak bisa?

Ahli Hukum Tata Negara Nommensen, Janpatar Simamora, mengatakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, sebenarnya telah diatur dalam konstitusi Indonesia Pasal 18B UUD 1945. Diikuti dengan adanya aturan-aturan di bawahnya: UU No. 6 Tahun 2014 Jo. UU No. 6 Tahun 2024 Tentang Desa, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dan masih banyak lagi. Dalih si anggota DPRD terbantah dua kali.

Tantangan dalam pengesahan Perda Masyarakat Adat justru tidak pernah ada. Tantangan itu justru datang dari dalam diri mereka sendiri. Tidak adanya political will dan kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat adat dari DPRD justru lebih masuk akal.

Pengesahan Perda Masyarakat Adat telah Mendesak

Padahal, dengan mengesahkan Perda Masyarakat Adat, negara memperoleh berbagai manfaat. Pengesahan perda ini dapat mengurangi konflik lahan yang kerap terjadi antara masyarakat adat dan pihak-pihak lain seperti perusahaan besar.  Konflik-konflik ini muncul sebagian besar karena ketidakjelasan mengenai kepemilikan dan hak atas tanah.

Selama ini, banyak wilayah adat di Provinsi Sumatera Utara tidak tercatat secara resmi dalam sistem administrasi pemerintah, khususnya dalam instansi-instansi seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan adanya batas-batas wilayah yang diperjelas melalui perda, risiko terjadinya sengketa tanah dapat diminimalisir. Hal ini akan mempermudah proyek pembangunan pemerintah.

Proyek pembangunan yang berlangsung tanpa adanya hambatan terkait kepemilikan lahan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ketika konflik lahan dapat dihindari, berbagai inisiatif pembangunan, mulai dari infrastruktur hingga program sosial, dapat diimplementasikan dengan lebih efisien dan efektif. Akibatnya, pengesahan Perda Masyarakat Adat bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat setempat, tetapi juga bagi negara secara keseluruhan.

Selain itu, pengesahan perda ini memainkan peran penting dalam proses integrasi peta-peta wilayah adat ke dalam kebijakan satu peta yang diusung oleh pemerintah. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kepastian dan kejelasan dalam penggunaan dan pengelolaan ruang di tingkat nasional. Pemerintah dapat memperkuat kejelasan tata ruang nasional, yang pada gilirannya akan mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan ruang, sekaligus meningkatkan pemahaman akan pentingnya melestarikan warisan budaya dan lingkungan yang ada di dalam wilayah adat tersebut.

Terakhir, Perda Masyarakat Adat memainkan peran krusial sebagai payung hukum yang melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat dalam suatu wilayah. Perda ini tidak hanya sekadar sebuah dokumen hukum, tetapi juga merupakan instrumen yang sejalan dengan berbagai peraturan nasional yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat. Di samping itu, perda ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pentingnya pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat.

Tanpa adanya perda tersebut, masyarakat adat akan terus menghadapi risiko kriminalisasi yang dapat mengancam keberlangsungan hidup dan tradisi mereka. Akan muncul banyak Sorbatua-Sorbatua baru yang berpotensi dikriminalisasi. Dengan memberikan perlindungan hukum melalui perda, diharapkan masyarakat adat dapat menjalani kehidupan mereka sesuai dengan tradisi dan kepercayaan yang telah ada.

Sejumlah manfaat di atas adalah pertanda atas mendesaknya pengesahan Ranperda Masyarakat Adat di Sumatera Utara. Nasib rancangan perda ini kini berada di tangan DPRD yang baru dilantik. Masyarakat adat di Sumatera Utara telah lama menunggu dan kini menaruh asa di pundak DPRD baru. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengesahkan perda ini. Biarlah perda ini jadi kado pertama DPRD baru untuk rakyat di Sumatera Utara.

Legal and human rights empowerment for social and ecological justice

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

en_GBEN