Skip to content
Home » Rumah Para Akademisi Itu Dibajak Oleh Para Bigot

Rumah Para Akademisi Itu Dibajak Oleh Para Bigot

Oleh: Ressi Dwiana (Alumni Pers Mahasiswa Suara USU; Kepala Litbang 2004)

Dalam beberapa minggu terakhir kita dikejutkan dengan perkembangan kasus Pers Mahasiswa Suara USU. Meski bukan sesuatu yan baru dalam konteks Indonesia, perbuatan sewenang-wenang rektorat terhadap pers mahasiswa yang tidak mau turut menjadi humas kampus, pun bukan peristiwa pertama Suara USU diteror oleh rektornya sendiri, yang menjadi penyebab pemecatan 18 Pengurus Suara USU itulah yang paling menggelikan: sebuah cerpen. Cerpen yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Cerpen ini, ringkasnya bercerita tentang drama kehidupan seorang perempuan yang keluarganya berantakan secara ekonomi sehingga tokoh “aku” merasakan trauma hidup di antara orang-orang di sekelilingnya, hingga akhirnya ia menemukan kenyamanan ketika bersahabat dengan seorang perempuan, akhirnya ia jatuh cinta. Cinta terlarang itulah yang membuatnya dihina dan dilecehkan oleh orang-orang di sekitarnya bahkan ditolak oleh objek cintanya tersebut.

Cerpen itu, oleh beberapa penikmat sastra dan sastrawan, termasuk Idris Pasaribu dalam diskusi “Ketika Cerpen Bikin Gentar” di Literacy Coffee 3 April 2019 yang lalu dikatakan tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang bagus, alur cerita, penggambaran tokoh, dll, dikategorikan jelek. Bagi saya pun, cerpen itu seperti cerita FTV yang kebetulan saja tokohnya adalah lesbian. Artinya, cerpen itu tidak akan mampu menggerakkan orang untuk termehek-mehek pada kisah si tokoh, apalagi menjadi simpati, kemudian menjadi lesbian. Lantas, kalau bukan cerpen itu, apa sebenarnya yang membuat rektorat gentar hingga memberi cap porno dan menyebarkan paham LGBT kepada cerpen tersebut.

Ketidakmampuan rektorat dan orang-orang di sekitarnya, termasuk para dosen, menanggapi dengan terbuka bukan dengan tangan besi, terhadap karya jurnalistik maupun karya sastra, adalah fobia yang mengkhawatirkan. Tapi, jika kita melihat belakangan ini, fobia-fobia sejenis menular secara luas di masyarakat. Tengoklah ketakutan para tokoh agama ketika Kementerian Dalam Negeri ingin dan akhirnya mengakui agama-agama tradisional secara resmi di dalam administrasi kependudukan termasuk di KTP. Dengan pernyataan-pernyataan dogmatis, keputusan tersebut dihujat habis-habisan. Hal ini berpotensi membentuk opini publik terhadap penganut agama tradisional, kelompok minoritas di Indonesia. Padahal belum tentu publik yang turut menghujat mereka, paham dan mengerti duduk perkara penganut kepercayaan tradisional tersebut.

Suara USU sebagai media, sebuah ruang publik demokratis harusnya memberi tempat bagi siapapun, termasuk kelompok minoritas, sesungguhnya punya peran yang sangat penting sebagai media informasi. McChesney (2015) mengatakan bahwa masyarakat yang terinformasi (informed citizenry) adalah dasar dari demokrasi. Oleh karena itu, sesungguhnya media harus memberitakan secara terang tentang kelompok minoritas, termasuk LGBT, kepada publik dan menyerahkan kepada publik kewenangan untuk memberikan penilaian secara demokratis dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Kesewenang-wenangan terhadap media yang menjalankan tugasnya dalam pemenuhan informasi publik adalah bentuk pengancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Lantas, di tengah antusiasme masyarakat untuk mempraktikkan demokrasi di segala bidang kehidupan, siapakah yang secara terbuka berusaha melemahkannya? McChesney (2015) mengatakan hanya kelompok BIGOT, FANATIK, dan XENOFOBIS yang tidak menerima terminologi ini. Lalu, apakah USU sebagai kampus, rumah para akademisi sudah dibajak oleh para bigot, fanatik, dan xenofobis itu sehingga menjadi sangat intoleran terhadap minoritas?

Data dari Setara Institute 2018 menunjukkan, 2 wilayah di Sumatera Utara menempati 10 besar kota paling intoleran, yaitu Tanjung Balai dengan skor intoleran paling tinggi di seluruh Indonesia, dan Medan menempati peringkat 9. Data ini jika digabung dengan data indeks demokrasi dari Democracy Index, dari 2014 hingga 2017, posisi Indonesia terus turun dari level 48 menjadi 68. Catatan penting lainnya juga, data 2014-2017 mengatakan bahwa tingkat toleransi di Indonesia selalu turun di tahun politik (Social Progress Index). Ketiga data ini jika dijadikan alat analisis terhadap pemecatan 18 Pengurus Suara USU, bisa menunjukkan akar masalah apa yang terjadi di dalam institusi pendidikan tersebut.

Pergerakan para bigot, fanatik, dan xenofobis ini memang tidak dapat dihindari karena dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat meningkatnya politik identitas di Indonesia. Politik identitas ini menjadi begitu diminati karena diiringi dengan dogma-dogma yang menjanjikan kunci surga bagi para penganutnya. Akibatnya, siapapun yang merintangi jalannya, tidak sesuai dengan ideologinya, maka akan dihabisi. Kebebasan media berada pada posisi yang mengkhawatirkan. Menurut penelitian Hutchison dkk (2016) kebebasan media bergantung pada tingkat intoleransi masyarakat. Semakin intoleran masyarakat, semakin sulit pula media bergerak. Bahkan lebih lanjut, masyarakat yang intoleran ini dapat memicu konflik sosial, seperti halnya yang terjadi di USU saat ini.

Para bigot, fanatik, dan xenofobis ini tampaknya berkembang luas di lingkungan USU termasuk juga segelintir alumni Suara USU sendiri. Para alumni yang bekerja di media, dianggap sebagai wartawan senior, bahkan dengan tegas menolak paham keberagaman dan anti-diskriminasi. Kelompok ini dengan enteng menuduh gerakan LGBT sebagai pendompleng program-program yang dijalankan lembaga internasional pro-demokrasi di Indonesia. Mungkin mereka lupa, tanpa adanya program yang mengedepankan demokrasi dan hak asasi manusia, sebelum Reformasi 1998, para bigot, fanatik, dan xenofobis ini mungkin sudah lenyap sekejab setelah mereka buka suara. Tuduhan tanpa tautan kepada Suara USU hampir setiap hari dikerahkan oleh kelompok anti keberagaman ini. Sementara Suara USU lumpuh akibat SK pemecatan tersebut, publik dengan gampang digiring pada dikotomi, pendukung dan pembenci LGBT. Padahal, ruh kekisruhan ini, tidak sesempit itu.

Dalam iklim demokrasi, terutama di ranah akademik, harusnya segala pemikiran dan ideologi dapat disampaikan. Apalagi, jika ideologi itu sejalan dengan demokrasi Pancasila. Right to information, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 F, yang kemudian menjadi konsideran dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hendaknya tidak dimaknai sesuai selera ideologi kelompok mayoritas. Jangan karena dorongan kelompok mayoritas, maka informasi yang berkembang di tengat masyarakat harus tunduk pada dominasi kelompok penekan ini. Terlebih lagi, USU sebagai rumah para akademisi, fanatisme janganlah sampai membuat kita melupakan cita-cita untuk menegakkan negara yang demokratis dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita harus ingat, fanatisme pendukung white supremacy di New Zealand telah merenggut banyak nyawa kaum migran muslim yang menjadi kelompok minoritas di negara tersebut. Mari bertanya kepada diri kita, apakah saya akan menjadi mayoritas seperti para pendukung white supremacy tersebut kepada kaum minoritas di Indonesia? Ketidaksetujuan terhadap ide, paham, dan pemikiran, dapat disampaikan bahkan diperdebatkan secara terbuka dan akademis, bukan dibatasi tangan besi seperti yang dirasakan oleh para Pengurus Suara USU saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_GBEN