Trend Perkembangan Instrumen HAM Internasional dan Pilihan-pilihan Advokasi HAM
Regulasi negara masih merupakan alat untuk menekan dan memastikan agar korporasi benar-benar melakukan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dalam aktivitas bisnisnya

Sistem perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu berkembang dengan pesat. Cakupan dan sifatnya juga berubah sedemikian rupa paling tidak sejak lebih dari tiga dekade terakhir. Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi penulis tentang advokasi HAM berdasarkan perkembangan wacana dan instrumen tentang HAM terkini terutama di level internasional. Tulisan ini juga hanya secara implisit menghubungkan perkembangan ini dengan konteks advokasi HAM, terutama dalam isu-isu dan kasus-kasus HAM (terutama di sektor tata kelola agraria dan Sumber Daya Alam), baik yang sedang berlangsung maupun di masa yang akan datang.
Sejak awal perkembangannya, aktor yang bertanggung jawab atas perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM adalah negara. Dengan kata lain, negaralah yang mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap orang dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga termasuk korporasi. Dalam lingkup yang lebih luas, pembiaran pelanggaran HAM oleh aktor negara secara langsung, maupun pembiaran kekosongan regulasi dan kebijakan yang memberi ruang kepada pihak ketiga (seperti korporasi) untuk melanggar hak-hak asasi setiap orang berarti pelanggaran HAM juga. Sementara itu, keterlibatan aktor di luar negara dalam sistem perlindungan HAM awalnya hanya melalui pemberlakuan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Selanjutnya, kekuatiran dan keprihatinan atas berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan korporasi di era 80-an telah melahirkan tuntutan untuk mengikat aktor-aktor di luar negara seperti korporasi ke dalam instrumen hukum. Saat itun telah ada kesadaran bahwa ada relasi yang kuat antara kepentingan korporasi dengan perlindungan, penghormatan dan Pemenuhan HAM sekalipun dalam capaiannya diakui lebih menitikberatkan aspek kepentingan para pemilik modal dan mekanisme pasar. Perkembangan ini juga dianggap sebagai alternatif terhadap kegagalan PBB dalam melahirkan instrumen hukum internasional yang mengikat korporasi secara hukum. Dengan demikian, korporasi yang pada dasarnya menolak untuk mengikatkan diri di dalam instrumen HAM internasional setuju untuk memosisikan diri sekaligus memastikan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai kewajiban dan tanggung jawab utama perusahaan.
Multistakeholderisme dan “swastanisasi” HAM
Kini, arah pemikiran dan praktek HAM adalah penyatuan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam satu bingkai yang disebut dengan hak untuk pembangunan. Kita mengenal Deklarasi Hak untuk Pembangunan pada 1986 yang diadopsi Majelis Umum PBB melalui Resolusi 41/128 tanggal 4 Desember 1986. Ini merupakan momentum kesadaran universal terhadap adanya relasi yang erat antara pembangunan dan HAM.
Merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie, ada empat faktor yang penyebab perkembangan ini yaitu: pertama, perkembangan pesat konglomerasi raksasa dalam bentuk perusahaan multinasional (MNCs) atau disebut juga dengan perusahaan transnasional (TNCs); kedua, perkembangan konsepsi dan kesadaran bangsa-bangsa yang melampaui konsepsi negara (nations without states); ketiga, lahirnya kesadaran warga negara global (global citizen) yang berimplikasi terhadap lahirnya kelas sosial tersendiri; dan keempat perkembangan pengaturan entitas baru yang bersifat otonom dari negara. Khusus tentang faktor keempat, Fabrizio Cafaggi telah membahas faktor-faktor penyebabnya, diantaranya yakni adanya kebutuhan terhadap harmonisasi hukum-hukum internasional, kegagalan negara dalam melahirkan regulasi internasional yang mengikat aktor di luar negara ke dalam instrumen hukum internasional, kelemahan regulasi berbasis negara dalam memantau dan menindak pelanggaran atas regulasi itu sendiri dan pengaruh perkembangan pesat peraturan atau prinsip-prinsip yang diinisiasi oleh para aktor di luar negara seperti perusahaan itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah menjadi realitas kekinian bahwa dalam ranah kehidupan publik, sebagian peran-peran strategis negara juga diperankan korporasi. Sekalipun demikian, negara tetap bertanggungjawab penuh menghormati, melindungi dan memenuhi HAM (the duty bearer). Salah satu bentuk peran korporasi adalah melalui prakarsa-prakarsa tata kelola bisnis transnasional non-negara (multistakeholder governances) yang bermunculan sejak awal 1990-an, dan menjadi watak perekonomian global saat ini.
Pada intinya, sistem ini berbentuk lembaga-lembaga multipihak yang berfungsi sebagai pembuat dan penegak sprinsip, standar dan kriteria atas produk atau jasa yang berada di rantai pasok dan pasar global. Mekanisme ini mempertemukan aktor berdasarkan sektor bisnis masing-masing seperti kehutanan, pertanian, pangan, dan energi, pertambangan teknologi informasi hingga pariwisata. Mekanisme ini memungkinkan berbagai pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam dialog, pengambilan keputusan, dan implementasi tanggapan atas masalah bersama secara sukarela. Selain itu, skema ini melaksanakan berbagai skema sertifikasi terhadap barang atau jasa (baik dari Hulu atau hilir) berdasarkan prinsip-prinsip, standar dan kriteria masing-masing. Tidak jarang juga yang menyediakan mekanisme keberatan (complain mechanism) ketika terjadi benturan kepentingan diantara para pihak pemangku kepentingan.
Menurut Transnational Institute (TNI), saat ini terdapat lebih dari 45 lembaga multistakeholder yang menetapkan standar global yang menetapkan pedoman dan aturan untuk berbagai produk tertentu. Beberapa diantaranya adalah RSPO di sektor sawit, FSC di sektor industri kertas dan kayu dan sebagainya. Bahkan lembaga yang beranggotakan negara seperti bank dunia yang beranggotakan 188 negara dan lima organisasi internasional (World Bank Group) memiliki mekanisme tata kelola pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan yang diinisiasi oleh swasta. Lembaga internasional penyalur pinjaman atau hibah untuk pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan untuk negara berkembangini juga menetapkan prinsip, standar dan kriteria yang bersifat sukarela kepada kliennya. Salah satunya adalah Internasional Finance Corporation dengan dengan berbagai standar yang memungkinkan para pihak pemangku kepentingan termasuk elemen masyarakat sipil untuk mengakses pertanggungjawaban perusahaan atau lembaga keuangan yang mendukung operasional perusahaan tersebut yakni antara lain kebijakan keberlanjutan (Sustainability Policy), strandar keberlanjutan Lingkungan dan sosial (Performance Standards on Environmental and Social Sustainability), kebijakan atas akses informasi (Access to Information Policy) dan sebagainya.
Optimalisasi peran dan tanggungjawab negara
Sebagai kesimpulan, dalam konteks globalisasi, inilah yang menandai sebuah masa dimana mekanisme pasar bebas mewarnai rezim peraturan internasional yang kompleks. Sayangnya, hingga kini negara-negara terus menerus gagal dalam menghasilkan instrumen HAM (misalnya konvensi dan protokol) yang mengikat dan memaksa korporasi dan aktor di luar negara lainnya (non-state actors) sebagai subjek dalam mekanisme perlindungan HAM. There is no government at the global level. But there is governance, of variable effectiveness. Traditional forms of international legalisation and negotiation through universal consensus-based institutions are stagnating. Regime complexes that often embody divergent norms dominate previously coherent rule systems. There may be individual instances of network governance, multilevel governance, private governance, multi-stakeholder initiatives, and even experimentalist governance. Demikian John Ruggie, pelapor khusus PBB untuk bisnis dan HAM dan pencetus panduan prinsip bisnis dan HAM menggambarkan situasi ini.
Namun demikian, penulis berpendapat bahwa regulasi negara masih merupakan alat untuk menekan dan memastikan agar korporasi benar-benar melakukan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dalam aktivitas bisnisnya. Meskipun ruang-ruang advokasi pasar dan kebijakan swasta yang bersifat sukarela dan multipihak tersebut menjanjikan perubahan perilaku dan akuntabilitas perusahaan pada titik tertentu (dan oleh sebab itu perlu dimaksimalkan), namun pada akhirnya, efektifitas penegakan regulasi dan kebijakan HAM dan lingkungan bergantung pada konstruksi pemerintah yang stabil, responsif dan bertanggung jawab terhadap HAM.
Referensi
Abbott, K. W., & Snidal, D. (2009). The Governance Triangle: Regulatory Standards Institu- tions and the Shadow of the State. In W. Mattli & N. Woods (Eds.), The Politics of Global Regulation (pp. 44-88). Princeton University Press. DOI: 10.1515/9781400830732.44.
Asbjorn Eide. (2018). Adequate Standard of Living. In Moeckli Daniel, Sangeeta Shah, Sandesh Sivakumaran, David Harris (ed.), International Human Rights Law (pp. 186-207). Oxford University Press.
Asshiddiqie, Jimly. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Konstitusi Press,. Jakarta.
Bartley T. (2003). Certifying Forests and Factories: States, Social Movements, and the Rise of Private Regulation in the Apparel and Forest Products Fields. Politics & Society 31.
Bernaz, N.(2017). Business and Human Rights: History, Law and Policy: Bringing the Ac- countability Gap. Routledge.
Panggabean, Tongam. (2020). Securing Indigenous Peoples’ rights in the Timber Industry: Lessons from Implementation of the FSC’s multi-stakeholder System in Indonesia (Master thesis, Friedrich Alexander University, Germany).
Ruggie, John G. (2014). Global Governance and “New Governance Theory”: Lessons from Business and Human Rights. Global Governance Vol. 20, No. 1. pp: 5).
Rosenau, J.(2006). The Study of World Politics: Volume 2 Globalization and Governance. Routledge.
UNGC. (2010). Annual Review 10 Years 2000-2010 – Anniversary Edition USA: UNGC.