Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa: Ada Agenda Terselubung?

Awal tahun 2023, bergulir wacana cukup menyita perhatian publik mengenai revisi Undang-undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Wacana revisi meluas sejak unjuk rasa tanggal 17 Januari 2023 oleh ribuan kepala desa di depan Gedung DPR RI di Jakarta menuntut perpanjangan masa jabatan. Unjuk rasa dimotori oleh organisasi PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia) dan dihadiri oleh kepala desa dari berbagai daerah. Dalam aksi mereka menuntut revisi undang-undang desa dengan mengubah masa jabatan dari enam tahun maksimal tiga periode menjadi sembilan tahun maksimal dua periode.
Pasca aksi tersebut muncul sikap dari asosiasi kepala desa lain dengan sikap yang berbeda. Seperti sikap mendua dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Melalui Sekjen DPP APDESI Anwar Sadat dalam konferensi pers pada 23 Januari 2023 mengusulkan masa jabatan diubah menjadi sembilan tahun maksimal tiga periode. Sikap ini dibantah oleh MPO APDESI yang diketuai oleh Asri Anas. Pada 25 Januari 2023 mengatakan Apdesi tidak memprioritaskan perpanjangan masa jabatan. Mereka hanya fokus pada revisi UU Desa untuk perluasan wewenang Kades dan peningkatan dana desa. Sikap mendua ini acap kali dapat menunjukkan bahwa kelompok ini menempatkan politik 2 kaki.
Kemudian yang ketiga adalah Perkumpulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia atau Perkumpulan APDESI. Kelompok ini merupakan kelompok yang berbeda dengan dua kelompok di atas walaupun dengan samar terlihat sama. Dipimpin oleh Arifin Abdul Majid mengatakan organisasinya sama sekali tidak mendukung perpanjangan masa jabatan Kades. Karena UU Desa sudah cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat desa (Republika.id 28/1/23).
Desa sebagai unit terkecil dalam sistem pemerintahan yang sering jadi objek obok-obok supra desa, yakni penyelenggara pemerintahan lain–hierarkis maupun tidak–semisal kementerian, pemerintah kabupaten atau provinsi dan penyelenggara pemerintahan lainnya sontak mendapat perhatian lebih. Mereka sibuk membicarakan desa dan perkembangannya seperti keuangan desa, hingga sumber-sumber daya alam yang ada di desa. Konteks ini pula yang dinilai sebagai salah satu penyebab memanasnya kontestasi wacana tentang desa baik di desa, supra desa maupun kelompok kepentingan yang mengatasnamakan kepala desa dan desa. Sebelumnya, desa memang selalu menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Namun akhir-akhir ini meningkat pasca wacana perpanjangan masa jabatan kades pasca demonstrasi kepala desa di ibukota dan permohonan revisi UU di mahkamah konstitusi.
Pemerintah pusat pada dasarnya tidak menunjukkan sikap mendukung maupun menolak wacana revisi UU Desa, namun memberikan ruang bagi setiap kepala desa untuk menyampaikan aspirasinya. Namun perlu diketahui, seiring waktu terdengar isu bahwa kontestasi ini sarat dengan isu politik menuju panggung pemilu 2024. Menurut pandangan salah satu praktisi desa, Yusuf Murtiono pada wawancara online 26 Mei 2023 mengamini bahwa isu ini muncul karena kepentingan politik pragmatis 2024. Sebab wacana yang paling menonjol adalah isu soal masa jabatan tanpa ada proses kajian dan riset ilmiah kenapa enam tahun diganti menjadi sembilan tahun. Kemudian orang-orang di nasional menggunakan statemen “nanti akan kita buat landasan pikiran yang sesuai” untuk menjawab ketika ditanya soal landasannya. Ini alasan bahwa wacana revisi hanya kebutuhan propaganda pragmatis di 2024.
Wacana lain di Mahkamah Konstitusi
Nyaris bersamaan dengan desakan perpanjangan masa jabatan kepala desa, di Mahkamah Konstitusi (MK), ada permohonan untuk semakin membatasi masa jabatan kepala desa. Permohonan tersebut dicatatkan sebagai Perkara No. 11/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2023 Dimohonkan oleh individu bernama Eliadi Hulu. Pada dasarnya, pemohon menyebutkan bahwa Pasal 39 UU Desa yang menyebutkan kepala desa menjabat selama enam tahun untuk satu periode, dan bisa menjabat kembali hingga tiga periode, baik berturut-turut maupun tidak, bertentangan dengan konstitusi.
Pemohon mengajukan argumentasi bahwa masa jabatan kepala desa dibuat selaras dengan masa jabatan pejabat publik lainnya, seperti presiden, gubernur, maupun bupati, yaitu lima tahun untuk satu periode. Batasan ini akan efektif untuk regenerasi pemimpin dan menjaga sirkulasi kekuasaan tetap sehat.
Mahkamah Konstitusi berpandangan lain. Dalam Putusan Nomor 15/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 30 Maret 2023 oleh Ketua MK, dinyatakan bahwa pemerintahan desa memiliki corak kepemimpinan yang khas jika dibandingkan dengan unit pemerintahan lain, seperti kabupaten/kota maupun provinsi. Sehingga dalam hal masa jabatan pemimpinnya, desa dapat dikecualikan dari pola kepemimpinan pada umumnya, yakni lima tahun untuk satu periode, dengan batasan dua periode.
Yusuf Murtiono yang bergiat dalam Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen, punya pandangan serupa dengan MK soal kekhasan pola kepemimpinan desa ini. Menurutnya, desa memang memiliki nilai-nilai lokal yang membuatnya jadi khas, termasuk dalam pola kepemimpinan.
“Masa jabatan enam tahun maupun delapan tahun dalam undang-undang desa sebelumnya merupakan upaya mengkombinasikan nilai-nilai lokal desa dengan nilai-nilai kepemimpinan di era demokratisasi seperti era reformasi ini.” demikian Yusuf memberi penjelasan saat kami wawancarai pada hari Jumat (26/5) yang lalu.
“Hal ini tentunya sangat mengakomodir kondisi-kondisi lokal desa sebelum terjadinya pola demokratisasi kepemimpinan yang normal. Karena keunikan itulah, pemerintahan desa dapat dikecualikan dalam hal batasan masa jabatan pemimpinnya”, ujar Yusuf.
Salah satu keresahan yang muncul dalam permohonan pembatasan masa jabatan kades tersebut adalah bahwa masa jabatan tiga periode dengan masa jabatan enam tahun melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang umumnya memiliki masa kepemimpinan lima tahun maksimal dua periode. Pemohon juga melihat dengan adanya peluang memimpin 18 tahun dalam muatan undang-undang bisa menciptakan oligarki desa. Menanggapi hal itu Yusuf berpendapat bahwa yang perlu dilakukan adalah evaluasi komprehensif terhadap proses pelaksanaan undang-undang desa bukan pada undang-undang desanya. Secara objektif UU Desa cukup kuat mengubah desa dari desa lama menjadi desa baru. Masalahnya adalah di pelaksanaan yang membuat desa merasa terbelenggu dan dianggap seperti robot. Desa hanya dianggap sebagai pelaksana dari banyaknya regulasi teknis turunan UU Desa yang membatasi wewenang desa dalam mengelola urusannya sendiri sehingga mencederai norma dan hakikat UU Desa itu. Artinya dibutuhkan perbaikan pelaksanaan UU Desa bukan mengubahnya.
Caranya dengan melakukan evaluasi terhadap rezim-rezim yang kuat mengooptasi kepentingan desa seperti rezim Kemendagri, Kemendes PDTT, dan rezim Kemenkeu yang membuat aturan turunan UU Desa. Kedua melakukan rekonstruksi total dengan melebur regulasi turunan undang-undang desa yang mengatur uang dan tata kelola pemerintahan dan pembangunannya seperti PP 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan PP 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ketiga, pemerintah daerah belum memenuhi kewajiban mandatory keuangan yang harus diberikan kepada desa secara utuh sesuai amanat UU Desa. Keempat adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah dan supra desa harus menghargai bahwa desa, atas mandat UU Desa itu mempunyai kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri.
Keempat hal ini bila dilaksanakan akan menunjukkan desa menjadi kuat dan tidak hanya dijadikan hanya sebagai perangkat lunaknya rezim administratif teknokratis. Itu juga akan menunjukkan persoalan desa bukan di masa jabatan tapi di dalam implementasi dan perebutan kuasa di kementerian.
Disisi lain, meskipun MK menolak permohonan pemohon, namun tidak menegaskan undang-undang yang sudah ada saat ini sebagai yang ideal. Sebaliknya, MK menyerahkannya pembahasan tersebut pada legislator. Dengan kata lain, putusan MK untuk perkara ini merupakan open legal policy.
Masyarakat Sipil Memandang Wacana Perpanjangan Kepala Desa
Merespons kontestasi wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) melakukan survei cepat. Tujuannya, untuk mengetahui tingkat representasi perpanjangan masa jabatan kepala desa. Survei ini juga bertujuan untuk mengetahui intensi apa sekiranya yang ada di balik tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Survei ini menggunakan metode wawancara untuk mengumpulkan data. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meliputi: pengetahuan tentang ihwal wacana penambahan masa jabatan kepala desa, jika mengetahui dari mana sumbernya, bagi yang belum mengetahui wacana ini bagaimana tanggapan mengenai adanya wacana tersebut dan apakah setuju atau tidak dengan merespon melalui alasan.
Ketiga pertanyaan di atas diajukan kepada 61 responden yang dipilih secara acak melalui metode random sampling. Responden tersebar di 32 desa yang ada di 10 kabupaten di Sumatera Utara dan terdiri dari unsur pemerintahan desa dan warga desa sebagai berikut;
Dari 61 responden, sebanyak 49 orang (80.33%) menyatakan mengetahui wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Sementara sebanyak 12 orang (19.67%) responden menyatakan tidak mengetahui adanya wacana penambahan masa jabatan kepala desa. Dengan pembagian seperti terlihat dalam dua tabel berikut;
Sebanyak 49 orang responden yang mengetahui wacana ini mendapatkan informasi dari medium yang beragam. Sebanyak 7 orang (11.48%) mengetahuinya dari percakapan-percakapan yang berkembang di masyarakat sekitar, 18 orang (29.51%) mengetahuinya dari media sosial, 22 (36.07%) orang mendapat informasi dari televisi, dan mendapat informasi dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan rekan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) masing-masing 1 orang (1.64%).
Jawaban responden terhadap pertanyaan mengenai setuju-tidaknya mereka pada perpanjangan masa jabatan kepala desa setidaknya terpilah menjadi 4 jawaban. Pertama adalah mereka yang dengan tegas menjawab setuju. Kedua adalah mereka yang dengan tegas menjawab tidak setuju. Ketiga adalah mereka yang memilih untuk tidak menjawab. Keempat adalah mereka yang tidak menjawab setuju atau tidak setuju dengan tegas. Sebaliknya, responden ini memberikan gambaran situasi di mana mereka setuju dan di mana mereka tidak setuju. Dalam survei, jawaban ini lantas dikategorikan sebagai jawaban netral.
Survei yang dilakukan oleh JAMSU menunjukkan, dari 61 responden, sebanyak 15 orang (24.59%) menyatakan setuju masa jabatan kepala desa diperpanjang. Sebanyak 38 orang (62.30%) menyatakan tidak setuju jabatan kepala desa diperpanjang. Sebanyak 6 orang (9.84%) menjawab netral. Sementara 2 orang (3.28%) memilih untuk tidak menjawab.
Alasan yang diberikan setiap responden untuk mendasari sikap mereka cukup beragam. Alasan-alasan ini kemudian disederhanakan guna memudahkan pembacaan hasil survei. Sebanyak 15 orang yang setuju pada wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa mengutarakan alasan sebagai berikut:
- Tersedia waktu yang cukup untuk rekonsiliasi dengan diperpanjangnya masa jabatan kepala desa (6 orang);
- Program kerja jangka panjang bisa berjalan efektif dengan diperpanjangnya masa jabatan kepala desa (9 orang).
Adapun sebanyak 38 orang yang tidak setuju pada wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa memberikan alasan-alasan sebagai berikut:
- Wacana dilatarbelakangi intensi penguasaan aset-aset desa (1 orang);
- Tidak ada alasan yang mendesak untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa (5 orang);
- Masa jabatan yang ada sekarang sudah cukup (15 orang);
- Polarisasi berlangsung terlalu lama jika tidak ada rekonsiliasi (1 orang);
- Membuka peluang abuse of power (6 orang);
- Menghambat regenerasi pemimpin (9 orang);
- Lebih setuju peningkatan kesejahteraan daripada penambahan masa jabatan (1 orang).
Adapun sebanyak 6 orang yang memberi jawaban netral menyampaikan alasan sebagai berikut:
- Tergantung tujuan dari penambahan masa jabatan itu apa (4 orang);
- Dengan pada penyesuaian batasan periode menjabat (1 orang);
- Hanya bisa mengharapkan yang terbaik (1 orang).
Berangkat dari alasan-alasan yang diberikan, baik oleh responden yang setuju, tidak setuju, maupun yang netral, satu hal menarik adalah bahwa masing-masing responden tampaknya tidak tahu ke mana arah wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa yang dimaksud. Masing-masing responden memberikan jawaban berdasarkan perspektif mereka, ditambah pengamatan terhadap jalannya pemerintahan desa pada tahun-tahun sebelumnya. Bukan berdasarkan wacana itu sendiri. Ini menandakan bahwa responden memang tidak punya clue mengenai ke mana arah wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Kesimpulan
Sejak wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa bergulir pertama kali, sulit untuk menemukan kemendesakan apa yang membuat wacana tersebut masuk akal. Sebaliknya, banyak dampak negatif yang potensial terjadi manakala wacana tersebut direalisasikan. Mulai dari terbukanya peluang bagi oligarki desa, hingga terhambatnya regenerasi pemimpin desa. Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa patut ditolak untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk ini.
Dapat dilihat bahwa kepala desa bukan hanya sekedar pemimpin struktural formalitas. Mereka memimpin atas dasar nilai-nilai sosial dan budaya serta tidak bisa dijauhkan dari mekanisme internal yang mereka miliki sendiri. Misalnya dapat dilihat dari nilai kekeluargaan, swadaya, gotong-royong, dan toleransi yang menjadi unsur pembentuk karakter pemerintahan desa yang berbeda.
Posisi kepala desa sekarang dikuatkan melalui UU Desa yang tidak menempatkan mereka sebagai sub-pemerintahan kabupaten melainkan pemerintahan yang mandiri dalam mengelola sumber daya dan keuangannya. Masa jabatan kepala desa menjadi tidak substansial diperdebatkan dalam hal ini karena persoalan desa adalah minimnya kemampuan dalam mengelola sumber daya dan keuangannya, ketidakbebasan mereka dalam mengelola serta adanya praktek korupsi dari supra desa untuk menggerogoti keuangan desa.
Kemudian bila kepemimpinan dengan periode yang lama dianggap sebagai solusi atas persoalan desa merupakan pilihan keliru. Sebab dikemudian hari bila pemerintahan menunjukkan indikator dan potensi kinerja yang tidak baik bisa dibayangkan wacana sembilan tahun akan menjadi bumerang bagi masyarakat. Mereka akan memendam rasa ketidaknyamanan dan penderitaan yang cukup lama. Sebaliknya, bila pemerintahan baik maka sudah pasti masyarakat dengan senang hati tidak akan mempersoalkan masa jabatan sebagai ukuran pemerintahan dan secara tidak langsung telah menggambarkan demokrasi desa yang sehat.
Kendati demikian, masih diperlukan kajian lebih menyeluruh dan mendalam tentang wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa ini. Namun perlu diperhatikan transisi demokrasi di desa dan di kota memiliki perbedaan dan perlu untuk tidak memaksakan konsep demokrasi sempit yang hanya dibatasi oleh masa jabatan–sementara kita tahu bahwa desa adalah satu sistem pemerintahan yang memiliki keunikannya sendiri. Kemudian jangan sampai wacana perpanjangan masa jabatan ini hanya menjadi gimmick politik belaka yang dimanfaatkan segelintir kelompok untuk mencapai ambisi politik di 2024 mendatang.
Disisi lain, Putusan Mahkamah Konstitusi terkait masa jabatan ini—Putusan MK No. 15/PUU-XXI/2023—menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa merupakan open legal policy. Artinya, diserahkan kepada pembuat undang-undang. Dengan demikian, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa masih menjadi “bola liar” yang akan diperebutkan oleh kelompok pro perpanjangan masa jabatan dan kelompok kontra perpanjangan masa jabatan. Argumentasi untuk setiap sikap tentu valid, dan layak mendapat ruang untuk diperjuangkan dalam negara hukum yang demokratis.
Menyikapi kondisi ini ada tiga kesimpulan yang dapat kami berikan terkait dengan wacana yang bergulir yaitu: pertama, kelompok kepala desa yang berunjuk rasa di Jakarta meminta perpanjangan masa jabatan tidak merepresentasikan semua kepala desa di Indonesia. Kedua, intensi di balik tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa sulit diketahui, karena terdapat disparitas di antara kepala desa dalam memandang wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat desa—terdiri dari perangkat desa dan warga biasa, memiliki asumsi dan opini yang beragam mengenai wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Hal ini mengindikasikan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa ini muncul secara tiba-tiba alih-alih muncul sebagai akibat dari perkembangan kebutuhan masyarakat desa. Ketiga, bahwa kebutuhan desa saat ini adalah bagaimana implementasi undang-undang berjalan tanpa intervensi dari supra desa sehingga desa benar-benar dapat menjadi desa mandiri dan bermartabat. (chris/be)
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Design by Robby Fibrianto Sirait