Lompat ke konten
Home » Gedung Super Mewah, Kinerja Super Parah

Gedung Super Mewah, Kinerja Super Parah

uploads-1-2013-04-97944-anggota-dprd-bolos-kinerja-sumenep-disesalkan-warga-300x167Sejumlah hak privelege (istimewa) yang diberikan UU seperti hak protokoler, hak imunitas, dan fasilitas tambahan seperti mobil dinas baru berbiaya lebih kurang Rp. 15 milyar sepertinya belum cukup bagi DPRD Sumut. Mereka kini memanjakan diri lagi dengan gedung baru berbiaya Rp. 185 milyar yang dilengkapi sejumlah sarana dan fasilitas mewah! Ironisnya, gedung tersebut diresmikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, 9 Juli yang lalu dalam suasana kontradiktif.
Di dalam gedung para politisi dan pejabat larut dalam senyum tawa seremoni peresmian. Namun, di saat yang sama, di luar area gedung ratusan petani berdemo larut dalam tangis keprihatinan karena tanah mereka dirampas dan aspirasi mereka diabaikan.Gedung Mewah

Sebagaimana pernah disorot dan diberitakan sejumlah media cetak dan elektronik awal 2012 lalu, gedung tersebut dilengkapi dengan ruangan, furnitur, peralatan kerja, dan berbagai fasilitas istimewa lainnya. Ada ruang kerja tiap anggota dewan yang dilengkapi perangkat meja kerja, sofa, pengharum ruangan, TV LCD 29 inchi, dan dispenser, yang diperkirakan menghabiskan anggaran hampir Rp. 1 milyar.

Setiap anggota dewan juga mendapatkan fasilitas laptop yang diperkirakan menelan anggaran Rp. 1,5 milyar. Untuk menyegarkan pemandangan anggota dewan, juga tersedia aquarium berisi ikan hias di ruang komisi dan fraksi serta taman di dalam gedung utama, yang juga menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah.

Seakan tak mau kalah dengan “the haves”, gedung DPRD Sumut juga memiliki ruang kebugaran lengkap dengan peralatan fitness, treadmill, sepeda, pendingin ruangan (AC), karpet, penerangan dan peralatan audio. Dengan berbagai fasilitas “wah” tersebut Gedung DPRD Sumut diklaim sebagai Gedung DPRD paling mewah di Indonesia.

Petanyaannya, pantaskah gedung baru dan segala fasilitas mewah di dalamnya tersebut?

Sangat pantas dan wajar! Barangkali itulah jawaban mereka, para penganut pandangan pragmatis dan establish. Pameo bisnis puritan, yang kemudian dilanggengkan oleh para pemuja liberalis, yakni; hasil kerja baik hanya bisa lahir dari tersedianya sarana dan fasilitas yang lengkap, menjadi justifikasi argumen mereka! Apalagi kemudian Sumut adalah propinsi besar. Jadi wajar dan pantaslah memiliki gedung mewah seperti itu.

Kinerja Parah

Benarkah demikian? Sepintas jawaban tersebut memang seolah tak keliru. Namun kalau kita cermati secara kritis dan seksama, bercermin kepada nurani, dan kondisi masyarakat lapis bawah, keberadaan gedung dewan super mewah tersebut sejatinya jauh dari pantas, dan bahkan bisa disebut sebagi bentuk pelecehan dan penghianatan terhadap DPRD sendiri. Bahkan, seandainya perspektif moral etis paling pragmatis sekalipun dijadikan rujukan, gedung tersebut tidaklah pantas. Sebab dalam pragmatisme juga berlaku “hukum”; fasilitas bagus adalah “hak” dan milik mereka yang kinerjanya juga bagus.

Celakanya, gedung super mewah tersebut justru dimiliki oleh mereka yang kinerjanya parah. Tak percaya? Cermatilah tiga fungsi utama DPRD Sumut yakni, pengawasan, legislasi, dan anggaran dalam 5 tahun terakhir ini. Hasilnya membuat masyarakat miris dan nyaris menangis.

Layanan publik tetap buruk kwalitas infrastruktur di Sumut juga amburadul. Legislatif bisa berdalih itu adalah tanggungjawab eksekutif. Namun sesungguhnya itu adalah juga cermin retak buruknya kinerja pengawasan legislatif. Bukan rahasia lagi kinerja pengawasan, baik itu lewat RDP, kunjungan lapangan dan reses, nyaris tak pernah bermuara kepada sesuatu yang konkrit, misalnya lahirnya kebijakan politik atau membaiknya layanan publik. Malah seringkali praktik pengawasan justru terdistorsi menjadi praktik “dagang sapi” politik.

Awalnya begitu ” serius dan panas” namun beberapa saat kemudian hasilnya menguap tak jelas. Salah satu “lelucon” pengawasan yang masih segar dalam ingatan publik adalah pengajuan hak interpelasi terhadap Plt. Gubsu terkait mutasi pejabat Pempropsu tahun 2011 lalu. Awalnya begitu serius dan dinamis. Nyaris seluruh fraksi bahkan setuju untuk mengetoknya dalam rapat paripurna. Namun hanya dalam hitungan jam sebelum rapat paripurna, usulan interpelasi tersebut “masuk angin” dan lenyap bersamaan dengan diam membisunya anggota dewan.

Kinerja legislasi tak jauh beda. Program Legislasi Daerah (Prolegda) hanya diisi dengan rutinitas ritual pembuatan Perda normatif dan klasik semata yakni Perda retibusi dan pendapatan daerah, dan anggaran daerah. Tidak ada inisiatif dan terobosan membuat Perda untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Sumut misalnya soal sengketa lahan, perlindungan dan pemulihan korban pelanggaran HAM, petani, nelayan, PKL, dan miskin kota. Dari segi kwantitas, bahkan Prolegda sering tidak mencapai target. Tahun 2011 mereka hanya berhasil mensahkan 5 Perda dari 15 Prolegda tahun 2010.

Kinerja anggaran juga parah. Sampai dengan tahun 2011 mereka hanya bisa menghasilkan struktur APBD normatif yang timpang. Anggaran rutin tetap gemuk, berkisar 70 %, sementara anggaran pembangunan tetap kurus, berkisar 30%. Itu artinya mereka gagal merombak struktur APBD agar lebih berpihak kepada kepentingan rakyat.

Dengan kinerja yang demikian parah, dalam perspektif pragmatis sekalipun, pengadaan gedung mewah itu sesungguhnya adalah bentuk amoralitas terhadap DPRD Sumut sendiri.

Gedung baru tersebut bahkan juga adalah penghianatan terhadap rakyat Sumut. Gedung mewah itu berdiri justru di saat sebagian besar masyarakat Sumut belum memiliki akses yang memadai terhadap pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Bukan rahasia lagi begitu banyak masyarakat Sumut yang hidupnya terperangkap dalam kemiskinan sehingga tak mampu memiliki rumah layak huni, tak mampu membiayai anak sekolah, dan sulit membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan di beberapa daerah, masih ditemukan daerah rawan pangan dan anak-anak yang mengalami gizi buruk.

Seandainya para politisi itu memiliki kepekaan moral dan etik, seyogianya pembangunan gedung tersebut tidak terjadi. Lebih baik anggarannya diperuntukkan bagi rakyat yang sangat membutuhkan. Baik itu untuk permodalan usaha, pembangunan rumah huni sederhana, subsidi biaya pendidikan, dan layanan kesehatan murah dan berkwalitas, serta untuk perbaikan gizi anak.

Pengkhianatan terhadap Politik

Tak cukup di situ, gedung super mewah tersebut juga adalah penghianatan terhadap hakekat politik. Patut digarisbawahi, kerja politik bukanlah kerja bisnis dalam dunia ekonomi. Aktivitas politisi bukanlah aktivitas pekerja bisnis yang mengandalkan hitungan tenaga dan sarana fisik semata. Tugas dan fungsi utama anggota dewan atau politisi adalah aspirator (penyerap), agregator (pengumpul/penyimpul), dan artikulator (pemakna) suara rakyat.

Benar, sarana dan fasilitas memang diperlukan. Namun itu hanyalah ‘jubah” politik. Bukan yang terutama dan prioritas. Justru yang terutama dan fundamental bagi politisi dan institusi politik seperti DPRD Sumut adalah ‘jiwa” politik yakni, dimensi kerakyatan dan kesukarelaan politik. Berbeda dengan institusi dan profesi lain yang bekerja dengan imbalan upah untuk kesejahteraan individual atau kelompok, politisi dan lembaga politik sejatinya harus bekerja dengan dedikasi (pengabdian tulus) demi dan untuk kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya mengapa politisi, di negara yang kualitas demokrasinya sudah lebih maju, begitu agung dan terhormat. Politisi menjadi sosok humble dan mulia. Sebab mereka memang adalah orang yang rela berkorban dan berjuang demi kepentingan rakyat. Pamrih mereka adalah kesejahteraan rakyat. Bagi mereka, sarana dan fasilitas mewah adalah tabu dan dosa. Kantor dan gaya hidup mewah adalah penghianatan bagi politik.

Namun deskripsi terakhir ini hampir tidak ditemukan lagi di republik ini. “Jiwa” politik politisi dan lembaga politisi tengah mengalami sakit kronis parah. “Jiwa” politik terlanjur didegradasi sebagai kebutuhan “cari makan” dan “cari uang” belaka. Politisi dan lembaga politik dinistakan menjadi sekedar pekerjaan untuk mengakumulasi kekayaan. Semuanya dilakukan dengan pemujaan ideologi politik yang memuliakan harta dan tahta. Ideologi yang memprioritaskan gedung dan fasilitas mewah.

Tulisan ini ini hendak mengatakan bahwa rakyat Sumut sesungguhnya tak membutuhkan gedung super mewah tersebut. Rakyat Sumut tidak membutuhkan tambal sulam “jubah” politik. Sebab “jubah” politik yang mereka kenakan sebenarnya masih sangat layak pakai. Yang dibutuhkan rakyat Sumut adalah restorasi “jiwa’ politisi dan lembaga politik yang sedang mati suri karena kehilangan napas kerakyatan dan kesukarelaannya.

Sayangnya, hal itu nyaris mustahil. Sebab, bukan hanya politisi, kini makin banyak orang, termasuk tokoh agama, intelektual, dan mungkin aktivis, yang seharusnya berteriak melawan, sepertinya sedang mengalami keletihan intelektual dan kelelahan spiritual. Implikasinya mereka makin malas dan merosot untuk berjuang. Daya kritik dan idealisme menyerah kepada konformisme. Jangan heran, bila sejak awal, hingga kini, suara penolakan dan perlawanan terhadap pembangunan gedung mewah, monumen penghianatan, tersebut nyaris tak terdengar di seantero Propinsi ini!? ***

*Benget Silitonga, Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan HAM. Bekerja di Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumut (BAKUMSU).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID