24 September setiap tahunnya merupakan hari bersejarah bagi Indonesia, yang mana hari ini adalah hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Kemudian melalui Keppres No. 169 tahun 1963, hari lahirnya UUPA Presiden Soekarno menetapkan 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Namun, di negara agraris seperti Indonesia, Petani adalah golongan penduduk mayoritas yang umumnya memiliki keterbatasan terhadap alat produksinya, yaitu tanah1. Bahkan petani-petani di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara kerap menjadi pihak yang tidak diuntungkan dan menjadi korban dalam kasus-kasus konflik agraria.
Seperti diketahui, bahwa sepanjang tahun 2018, KPA mencatat bahwa ada 23 letusan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara. Hutan Rakyat Institute (HaRI) mencatat, sejak 2014, ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih berkonflik dengan perkebunan maupun perusahaan hutan tanaman industri, dengan luasan mencapai 346,648 hektar. Dari 106 tersebut, 75 kelompok masyarakat tani dan masyarakat adat masih berkonflik dengan perkebunan, dan 31 kelompok masyarakat tani atau masyarakat adat masih berkonflik dengan Perusahaan Hutan Tanaman Industri.
Banyaknya konflik agraria tersebut memposisikan petani dan masyarakat adat sebagai korban. Tanah-tanah petani, wilayah adat, hutan adat milik masyarakat adat telah menjadi objek konsesi perusahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hal ini seolah terus Negara biarkan, rakyatnya menjadi korban perampasan lahan. Bahkan habisnya konsesi perkebunan tidak serta merta menjadikan tanah yang menjadi objek konflik tersebut bisa dikuasai petani dan masyarakat adat. RUU Pertanahan akan semakin membuat persoalan ini semakin pelik.
Di dalam RUU Pertanahan, persoalan HGU dan Eks HGU perkebunan selama ini merupakan objek penyebab konflik agraria. HGU mengatur hak guna usaha untuk perorangan (20 tahun) dan badan hukum (35 tahun), namun penerbitan dan penertibannya tidak diatur, serta diperpanjang lagi 20 tahun Oleh menteri demi jenis dan daya tarik INVESTASI, parahnya pasal 25 (3) memberikan pengkhususan terhadap BUMN dalam perpanjangan dan peralihan haknya dan jika kelebihan penguasaan fisiknya serta HGU yang berakhir menjadi kewenangan Menteri semata dan dalam pengelolaannya semakin membuka peluang investasi modal, bukan investasi rakyat; hal ini merupakan pengabaian hak rakyat untuk dapat mengakses tanah sebagai sumber hidup.
RUU Pertanahan belum mengatur penyelesaian konflik agraria. Sampai saat ini, Belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agararia yang komprehensif merupakan akibat dari kebijakan pemerintahan masa lalu yang otoriter. Hal ini justru diarahkan pada hukum formal dengan pembentukan pengadilan pertanahan. Pengadilan Pertanahan akan berpotensi memiliki keterbatasan wewenang untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan negara di masa lalu. Jadi bisa dipastikan akan semakin memperlemah posisi petani dalam berperkara dengan miskinnya data dan dokumen kepemilikan.
Menyambut hari tani nasional 2019, aliansi masyarakat sipil di Sumatera Utara Sekber RA Sumut dan KPA Sumatera Utara telah menyepakati Aksi Massa yang akan dilakukan pada 23 September 2019, dengan berbagai tuntutan seperti Tolak RUU pertahanan, Pelaksanaan UUPA 1960 “Tanpa Tawar” Laksanakan reforma agraria sejati, Tolak revisi UU ketenagakerjaan tahun 2003 & BPJS, dan segera legalisasi wilayah adat.
Tidak hanya berbagai tuntutan di atas, beberapa tuntutan lain seperti mendorong gubernur untuk menyelesaikan konflik agraria, penghentian represifitas aparat dalam penanganan konflik agraria, lawan impunitas terhadap pelaku kekerasan dalam konflik agraria, bersihkan BPN dari perilaku koruptif dan mendesak aparat negara untuk profesional, proporsional dan imparsial dalam menangani konflik agraria.
Pemerintah bersama DPR RI kabarnya akan mengesahkan RUU Pertanahan pada 24 September 2019. Oleh karena itu, elemen gerakan masyarakat sipil telah berkonsolidasi untuk melakukan aksi massa untuk menyuarakan bahaya disahkannya RUU Pertanahan sekaligus menyuarakan berbagai tuntutan lainnya sebelum momentum Hari Tani Nasional.