Siaran Pers
Bakumsu selenggarakan diskusi mengkritisi Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Medan, Bakumsu – Dalam rangkaian upaya berkelanjutan untuk mengadvokasi hak-hak masyarakat adat di Indonesia, Bakumsu menginisiasi Forum Grup Diskusi (FGD) yang menyoroti dan mengkritisi Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024. Bertempat di V Caffe Ringroad, forum ini mengumpulkan pemikiran dari akademisi, praktisi hukum, perwakilan masyarakat adat, dan aktivis lingkungan untuk membahas dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupan masyarakat adat di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. (28/3)
Prof. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum, guru besar USU ahli hukum adat, sebagai salah satu narasumber utama, mengungkapkan bahwa Permen ATR/BPN Nomor 14/2024 seharusnya menjadi langkah maju dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Namun, secara substansi, peraturan ini masih banyak kekurangan dan area abu-abu seperti nomenklatur-nomenklatur baru yang merujuk pada masyarakat hukum adat.
Riama Simamora dari Dewan Nasional AMAN regional SUMUT, memberikan perspektif yang mengkritik ketidakjelasan dan ketidakpastian yang dihadirkan oleh Permen ATR/BPN No. 14/2024 terhadap pengakuan dan perlindungan tanah ulayat. “ Jika kita tinjau ke belakang masyarakat adat sudah ada di UUD 1945,” ujarnya. Menurutnya lebih krusial untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat dari pada menerbitkan Permen tentang pendaftaran tanah ulayat ini. Riama menjelaskan bahwa selama tidak ada RUU Masyarakat adat, Masyarakat Adat akan tetap tertindas.
Forum tersebut menyoroti betapa krusialnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. “Jadi memang betul harus ada RUU MA ini agar lurus pendefinisian tadi semua,” kata Riama, menyatakan urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk menghindari penundukan hukum adat terhadap hukum negara.
Audo, seorang praktisi hukum, juga membagikan pengalamannya saat mendampingi masyarakat adat yang dikriminalisasi. Menurutnya Polisi turut hanya menggunakan perspektif hukum negara. “ Masa polisi menanyakan terkait surat-surat dan izin-izin penempatan lahan oleh masyarakat adat? Ya kan sudah mengkerdilkan hukum adat itu sendiri dengan membenturkannya ke hukum negara,” Ujarnya.
Dirinya menambahkan tentang pentingnya edukasi dan sosialisasi terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat luas tentang peraturan-peraturan terkait masyarakat adat ini, “Jadi perlu juga sebenarnya pendidikan-pendidikan masyarakat adat ini diterapkan di kepolisian-kepolisian.” Ungkapnya.
FGD ini ditutup dengan seruan bagi pemerintah untuk mendengarkan suara masyarakat adat dan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembuatan dan revisi kebijakan yang berkaitan dengan tanah dan hak-hak masyarakat adat. Forum ini merupakan langkah penting dalam membangun dialog dan pemahaman yang lebih baik antara pemerintah, masyarakat adat, dan para stakeholder lainnya.
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Desain oleh : Robby Fibrianto Sirait