Home / Uncategorized / Otorita Kawasan Danau Toba Untuk Siapa?

Otorita Kawasan Danau Toba Untuk Siapa?

Kemudahan diberikan kepada perusahaan yang akan melakukan pengusahaan pada kawasan pariwisata danau Toba… (pasal 26 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 49 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba)

Untuk mempercepat pengembangan dan pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba diperlukan pengaturan secara khusus, guna menyatukan pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan danau toba. Pemerintah memandang perlu pembentukan Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

Akhirnya pemerintah menandatangani Peraturan Presiden No. 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba pada tgl 1 Juni 2016. Dalam Perpres itu disebutkan, untuk melaksanakan pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba, dibentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah berencana mempercepat pembangunan di Kawasan Danau Toba (KDT).  Danau Toba ditetapkan sebagai tujuan wisata bertaraf internasional melalui Peraturan Presiden Nomor 49 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba disingkat BPOKPDT atau selanjutnya disebut Badan Otorita Danau Toba.

Sebelumnya, pemerintah juga telah menetapkan  Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya. Selain itu, ada program Geopark Kaldera Toba yang bertujuan untuk menjadikan Danau Toba sebagai situs geopark dunia. Semua konsep tersebut kini telah menjadi konsumsi publik.

Namun dalam proses perjalanannya, suara masyarakat adat dan lokal belum menjadi perhatian. Kebijakan-kebijakan tersebut ternyata tidak dibarengi dengan adanya  konsultasi yang jelas antara pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup secara turun-temurun dan memiliki ikatan yang kuat dengan Kawasan Danau Toba. Erwin Nadapdap, warga Sibisa kabupaten Toba Samosir mengaku tidak mengetahui rencana kehadiran badan Otorita danau toba di daerah tempat tinggalnya. Beliau mengaku belum mendapatkan informasi dan konsultasi apapun dari pemerintah daerah. Kekuatiran inilah yang sebelumnya disuarakan oleh kalangan pegiat lingkungan di Sumatera Utara.

Kekuatiran ini terjawab sudah lewat lahirnya perpres No. 49 tahun 2016 tersebut yang terkesan hanya mementingkan para investor sementara belum terlihat pelibatan atau peran serta masyarakat lokal/adat  dalam perpres tersebut.

Dalam diskusi bertema Membaca Arah Kebijakan Pembangunan kawasan Danau Toba (Medan, 24/05/2016) yang diselenggarakan oleh BAKUMSU, sebelumnya telah tergambar dalam diskusi bahwa draf Perpres belum melibatkan posisi dan peran serta masyarakat lokal/adat yang berada di Kawasan Danau Toba secara jelas, serta hak atas tanah adat dalam pengelolaan pariwisata KDT. Selain itu, pengaturan kewenangan Badan Otorita dalam pengelolaan tanah, dan untuk membangun kerjasama atau menyewakan tanah kepada pihak ketiga, yang tidak lain adalah pemodal/investor belum jelas.

Para pimpinan Gereja yang ada di sekitar Kawasan Danau Toba juga menyoroti kelemahan perpres tersebut. Dalam pernyataan sikapnya, mereka menyebut perpres No 49 tahu 2016 yang baru disahkan oleh presiden tersebut masih jauh dari harapan. “Persoalan yang selalu kami suarakan 30 tahun terakhir adalah merosotnya hutan, pencemaran danau, dan penggusuran masyarakat dari tanahnya. Oleh karena itu, kami mengharapkan presiden akan menjawab tiga persoalan utama ini. Namun, setelah kami membaca prepres No 49 ini, jauh panggang dari api. Keputusan Presiden ini tidak menyentuh sama sekali tiga persoalan akut yang kami sebutkan di atas,” kata mereka.

Beberapa hal yang paling disoroti antara lain tentang alokasi tanah  dan perizinan untuk membangun resort dengan penyediaan tanah seluas 500 hektar di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir. Kepres ini ternyata tidak membahas sama sekali seperti apa nasib kelestarian hutan, dan nasib warga sekitar yang kuat dengan adat istiadatnya. Sebaliknya, secara terang hanya membahas kemudahan perizinan atas implementasi proyek ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 ayat 1 sampai 5.

Pihak gereja juga kecewa dengan ketidakjelasan pengaturan tanah seluas 500 ha yang akan diberikan kepada Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BPOKPD), termasuk mekanisme konversi hutan dan kajian lingkungan. “Kami tidak memperoleh informasi terkait dasar hukum, filosofi, keorganisasian, dan dasar penentuan lokasi 500 hektar yang dimaksud. Sebagaimana diundangkan Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka kami mempertanyakan basis hukum dan akademis terkait kelayakan proyek konversi hutan di Kecamatan Ajibata dan sekitarnya yang akan dikonversi menjadi wilayah resort dan perhotelan. Publik belum pernah mendengar adanya kajian lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atas proyek sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang,” seru mereka.

Hal senada juga dikemukakan oleh Prof. B. A. Simanjuntak. Menurut guru besar Antropologi UNIMED ini, Badan Otorita Pariwisata Danau Toba akan berpotensi semakin memperluas konflik tanah di Tano Batak. Hal ini karena sistem perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah belum dengan jelas mengakui keberadaan wilayah adat. “Pemerintah pusat seharusnya perlu membuat sebuah Undang Undang  atau setidaknya peraturan daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di level kabupaten, “tandasnya.

“Perlu ada penelitian secara mendalam di KDT sebagai objek wisata bertaraf internasional karena bagi masyarakat adat Batak, tanah itu adalah marga” tambahnya lagi.

Wacana pembangunan KDT dengan konsep gaya berpikirnya pemerintah “Monaco Of Asia” belumlah menjadi suatu solusi bagi masyarakat. Konsep ini merupakan suatu pertarungan modal besar, siapa yang mempunyai modal besar maka dialah yang berkuasa dan mendapat keuntungan yang banyak. Posisi masyarakat KDT semakin terpinggirkan, karena tidak mungkin bisa bersaing dengan modal besar, tambahnya.

***

Masih Kuatnya Cengkraman Korporasi

Selama puluhan tahun pemerintah  dan perusahaan tidak mengakui hak-hak masyarakat adat dan pola hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alamnya di kawasan danau Toba. Perusahaan-perusahaan cenderung membabi buta, tanpa mempertimbangkan kerugian yang dialami masyarakat luas akibat dampak kerusakan lingkungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan.

Salah satu perusahaan yang menguasai hutan di 7 kabupaten di jantung kawasan strategis nasional danau Toba atau Kawasan Danau Toba yakni Toba Pulp Lestari (TPL) yang memiliki konsesi seluas 188.055 hektar (SK Menhut 58/2011). Hal ini sangat kontradiktif dengan fakta sebenarnya. Kehadiran perusahaan kertas skala besar di Indonesia yang berdiri sejak 1992 ini ternyata hanya menguntungkan segelintir orang. Sebaliknya kerugian rakyat Tapanuli di Kawasan Danau Toba yang semakin besar masih berlangsung hingga saat ini.

PT TPL dengan gencarnya mengubah hutan kayu alam menjadi hutan monokultur sebagai bahan baku kertas. Dengan dasar konsesi hutan berdasarkan Hak Pengelolaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/TI) PT. TPL tetap melakukan aktifitas di lahan, menebang, mengangkut kayu-kayu yang sudah ditebang dan menanami lahan dengan eucalyptus.

Perusahaan lainnya adalah PT. Aquafarm Nusantara yang beternak ikan di air danau dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dipublikasikan oleh Akademisi Universitas HKBP Nommensen, Ir Pohan Panjaitan PhD terdapat fakta bahwa peternakan Aquafarm telah berkontribusi secara massif mencemari Danau Toba.

Diperkirakan 200 ton pakan ikan setiap harinya masuk ke air Danau Toba, atau sekitar 73.000 ton pertahun, (Analisa;2012), sedang data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut yang bersumber dari PT Aquafarm, 2009 yaitu 123,3 ton per hari atau 45.006 per tahun. Berdasarkan literature (Podemski et al, 2006) rata-rata sisa pakan yang terbuang ke danau sebesar 30-40 %, atau 80 ton per hari, 29.200 ton per tahun.

Demikian pula, PT Allegrindo Nusantara, pemilik peternakan Babi terbesar di Sumatera, ini berlokasi di Desa Urung Pane, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Sebagaimana telah diungkapkan oleh berbagai publikasi, perusahaan ini langsung membuang limbahnya ke sungai Silali dan bermuara ke Danau Toba. Kotoran Babi Allegrindo, sangat berbahaya bagi ekosistem danau.

Selain itu, limbah perhotelan yang persis di pinggir danau toba salah satunya oleh PT. Merek Indah Lestari (PT. MIL) disinyalir  telah membuang limbahnya langsung ke Danau Toba. Begitupun limbah rumah tangga yang ada disekitar danau toba. Alhasil beban fisik pencemaran Danau Toba terus berlangsung hingga kini. Sampai saat ini, pemerintah belum melakukan tindakan nyata. Terkesan ada pembiaran dari pemerintah akan hal tersebut.**

 

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top