Lompat ke konten

Berita Narasi

Belajar dari Masyarakat: Gerakan Masyarakat Pembela HAM

Oleh: Tommy Sinambela

Dokumentasi Bakumsu

Sekitar 100 orang peserta dari berbagai komunitas masyarakat adat dan petani, serta organisasi pendamping (AMAN Tano Batak, YAK, Bitra Indonesia, YDPK, KSPPM) berkumpul dalam kegiatan dengan tema “Belajar dari Masyarakat: Gerakan Masyarakat Pembela HAM” pada Senin, 2 Juni 2025 di desa Dolok Parmonangan, Simalungun, tepatnya di Posko Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan. Kegiatan ini digagas oleh BAKUMSU sebagai ruang temu dan refleksi bersama untuk memperkuat solidaritas, belajar strategi perlawanan yang dilakukan oleh komunitas, serta meneguhkan peran masyarakat sebagai garda terdepan dalam perjuangan Hak Asasi Manusia.

Kegiatan ini menghadirkan komunitas-komunitas yang dalam proses perjuangannya bertahun-tahun bahkan ada yang puluhan tahun untuk mempertahankan tanah, lingkungan hidup, dan identitas budaya mereka dari tekanan korporasi dan negara. Diantaranya ada 8 komunitas yaitu Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Komunitas Masyarakat Adat Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Komunitas Masyarakat Adat Desa Huta Ginjang, Komunitas Masyarakat Adat Desa Onan Harbangan, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka, Kelompok Tani Lepar Lau Tengah, dan Masyarakat Kelompok Tani Dairi (Aliansi Petani untuk Keadilan (APUK) dan Kelompok Tani Bersatu (KTB).

Dalam sesi diskusi pertama, beberapa komunitas berbagi pengalaman terkait perjuangan mereka mempertahankan wilayah adatnya. Martha Manurung dari Dolok Parmonangan menyampaikan bahwa perjuangan masyarakat tidak hanya berhadapan dengan perusahaan TPL, tapi juga konflik sosial bahkan di dalam keluarga. “Kami bukan hanya melawan TPL, tapi juga berhadapan dengan keluarga dan teman yang terpecah-belah. Tapi kami sadar, perjuangan ini bukan hanya untuk kami, tapi demi anak cucu yang akan melanjutkan budaya dan menjaga tanah ini.” Ujarnya.

Perwakilan dari Sihaporas, Mangitua Ambarita (Op Morris) menambahkan bahwa mereka telah lama menghadapi kriminalisasi oleh aparat dan janji-janji kosong dari negara. “Kami sering dikriminalisasi, bahkan ada yang ditangkap secara sewenang-wenang. Tapi kami tidak akan menjual tanah leluhur hanya demi tawaran dari penguasa”. Tegasnya. Ia juga menyinggung soal kasus kriminalisasi yang sedang menimpa Jhonny Ambarita yang saat ini sedang proses kasasi di Mahkamah Agung RI.

Sementara itu Abel, pemuda adat dari Natumingka menceritakan bagaimana reclaiming tanah yang dilakukan bersama keluarganya pada 2019 menjadi titik balik kehidupan mereka. “Saya sempat menjadi buruh TPL, jadi hatoban (budak) di tanah sendiri. Kemudian saya berpikir, dan melakukan reclaiming dengan menanami jagung, kami panen 2 ton. Sekarang ekonomi keluarga kami jauh lebih baik, dan kami tidak mau lagi dijajah”.

Selanjutnya Hamonangan Sihotang dari Kelompok Tani Bersatu Sileleu – Dairi yang melawan PT GRUTI menceritakan perjuangan mereka mengusir perusahaan yang merampas tanah-tanah mereka. Awalnya pihak perusahaan datang dengan janji penanaman kopi, namun masyarakat menyadari maksud sesungguhnya adalah pembalakan hutan. “Kami buat surat pernyataan menolak PT GRUTI, ditandatangani 317 KK. Dalam satu bulan kami berhasil mengusir seluruh alat berat mereka dari kampung. Kami bersatu dengan desa tetangga, dan mereka tak berkutik”. Ungkapnya. Perlawanan mereka didukung oleh organisasi pendamping dan semangat kolektif lintas batas desa. Kesadaran bahwa hutan adalah sumber air dan kehidupan menyatukan gerakan.

Opung Greselda dari Aliansi Petani untuk Keadilan (APUK) Dairi menyampaikan bahwa produksi teh gambir menjadi salah satu cara untuk melawan dominasi perusahaan tambang PT. DPM. “Kami belajar buat teh gambir di Pakpak Barat. Itu lah amunisi kami untuk melawan PT. DPM. Hasil pertanian kami sekarang menjadi kekuatan yang menopang perjuangan.”

Bengkel Sinuhaji dari desa Rambung Baru, Sibolangit, menekankan pentingnya keberanian dalam mengambil tanggung-jawab kolektif. “Kami mendirikan sapo pertemuan dan kios komunitas. Saat kami melakukan aksi tutup jalan di depan PT. Nirvana Memorial Nusantara, saya bilang ke Polisi : kalau terjadi chaos, tangkap saya, bukan warga”.

Sesi pertama diskusi ditutup dengan melakukan salah satu ritual adat Batak yaitu “Mangalean dekke simudur-udur”, sebuah prosesi penyajian ikan mas (dekke) yang disiapkan dengan cara khas, sebagai bentuk ucapan syukur, doa dan harapan agar tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai. Prosesi ini secara simbolik diberikan oleh BAKUMSU kepada perwakilan masing-masing dari komunitas masyarakat adat dan petani yang berhadir.

Dokumentasi Bakumsu

Kemudian dalam sesi kedua diskusi, dilanjutkan oleh Polma Rajagukguk, perwakilan dari Huta Ginjang. Mereka mengisahkan bagaimana gerakan dimulai sejak 2015, saat tanah-tanah mereka ditanami pinus tanpa persetujuan masyarakat. Proses konsolidasi dilakukan melalui rapat-rapat marga, yang kemudian berkembang menjadi organisasi komunitas dan berhasil memperoleh pengakuan hutan adat seluas 648 hektar pada tahun 2022.

Dari Onan Harbangan, Katarina Siagian, selaku Ketua Harian Perempuan, menceritakan keteguhan kaum perempuan dalam menghadapi aparat dan perusahaan, bahkan ketika komunitas mereka sempat terpecah oleh infiltrasi dari pihak luar. “Kami perempuan berdiri di depan ketika TPL dan Babinsa datang. Kami bilang: kami ini ibu dan istri, tapi kami akan melawan. Kami tidak takut, bahkan ketika mereka paksa masuk ke ladang kami,”. Katanya lantang.

Kedua sesi diskusi ini dipandu oleh fasilitator yaitu Suryati Simanjuntak, yang menyampaikan bahwa perjuangan komunitas selama ini sejatinya adalah bentuk nyata dari pembelaan HAM. Ia mengajak peserta memahami bahwa hak asasi manusia mencakup hak sipil-politik, ekonomi-sosial-budaya, dan hak atas lingkungan. “Apa yang diperjuangkan bapak dan ibu adalah hak paling dasar sebagai manusia. HAM bukan cuma soal politik, tapi juga menyangkut tanah, pangan, dan lingkungan yang sehat.” Tegasnya.

Gindo Nadapdap, Ketua Pengurus BAKUMSU, menggaris-bawahi bahwa kekuatan rakyat tidak boleh dilepaskan dari organisasi. Ia juga menekankan pentingnya strategi jangka panjang yang tidak hanya bergantung pada pemerintah atau hukum formal. “Perjuangan ini tidak akan selesai dengan satu kemenangan. Sepanjang tanah terus dieksploitasi, rakyat akan terus bangkit. Tugas kita adalah membangun organisasi dan solidaritas. Tutup TPL (perusahaan lainnya yang berkonflik) bukan tujuan akhir, tapi bagian dari perjuangan untuk kehidupan yang bermartabat”. Katanya.

Kegiatan ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap bersama oleh masing-masing perwakilan komunitas, sebagai berikut :

Kami Solidaritas Rakyat Pembela HAM (SORAK HAM) yang terdiri dari masyarakat adat, kelompok tani, organisasi masyarakat sipil, dan individu-individu pembela hak asasi manusia — menyatakan sikap sebagai berikut:

Secara umum Kami :
Mengecam segala bentuk kekerasan, kriminalisasi, dan perampasan hak kepada masyarakat adat, petani, dan komunitas lokal yang mempertahankan ruang hidupnya.
Mendorong negara untuk menjamin, melindungi, dan menghormati HAM, terkhusus kepada kelompok rentan yang selalu mengalami represifitas atas nama pembangunan.
Menyerukan solidaritas kepada setiap komunitas sebagai kekuatan utama di tengah konflik struktural yang eksploitatif.

Secara Khusus Kami menyerukan :
1. Bebaskan Sorbatua Siallagan dan Jonny Ambarita,
2. Tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL),
3. Sahkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Sumatera Utara,
4. Hutan Adat Bukan Hutan Negara
5. Berantas mafia tanah di Rambung Baru dan Bingkawan,
6. Tutup PT Nirvana Memorial Nusantara,
7. Selamatkan Dairi dari kehancuran ekologis,
8. Tutup PT Dairi Prima Mineral,
9. Tutup PT Gruti

Dolok Parmonangan, 2 Juni 2025
Solidaritas Rakyat Pembela HAM (SORAK HAM)

Pertemuan ini menunjukkan bahwa kekuatan gerakan rakyat tumbuh dari pengalaman kolektif dan kesadaran kritis. Belajar dari masyarakat bukan sekadar tema, tapi prinsip yang mengarahkan kerja-kerja pembelaan hak dan keadilan sosial.

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID