Lompat ke konten

Berita Narasi

Berjuang Untuk Tanah Adat Berujung Pidana dan Denda

Saya hidup dan mati di atas tanah adat kami….

Oleh: Sondang William Gabriel Manalu

Dok : Aman Tano Batak

Dengan sangat tegar, Sorbatua Siallagan membacakan Nota Pembelaannya di hadapan majelis Hakim. “Saya hidup dan mati di atas tanah adat kami. Apapun yang terjadi, tak akan menyurutkan perjuangan saya dan komunitas kami untuk selalu memperjuangkan tanah adat kami dari perampasan dan klaim pihak lain, karena itu adalah “tona” dari leluhur kami,”. Mendengar nota pembelaan tersebut Peserta sidang yang merupakan anggota komunitas adat Op. Umbak Siallagan menangis terharu.

Semua ini bermula ketika Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Op. Umbak Siallagan diculik pada tanggal 22 Maret 2024. Pagi itu Sorbatua beserta istrinya sedang membeli pupuk di Tanjung Dolok. Tiba-tiba datang sekelompok orang tidak dikenal menangkap dan memaksa Sorbatua masuk ke dalam mobil hitam. “Saya mepertanyakan kenapa ditarik dan dimasukkan ke mobil, namun orang tidak dikenal tersebut tidak menjawab pertanyaan saya,” ujar Sorbatua.

Di saat itu Sorbatua mengatakan dirinya tidak diberi kesempatan untuk berpamitan dengan istrinya. “Saya dibawa pergi dengan meninggalkan istri saya sendiri dalam keadaan menangis. Suasana yang sangat emosional bagi saya saat itu,” ujarnya.

Sorbatua Siallagan didakwa secara alternatif membakar hutan atau menduduki atau mengelola kawasan hutan tanpa izin, menggunakan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sebuah regulasi yang telah diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 November 2021.

Yang mana kawasan hutan dimaksud merupakan kawasan hutan yang dikonsesikan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup kepada PT Inti Indorayon Utama  (PT IIU) yang berganti nama pada 15 November 2000 melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menjadi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) untuk dikelola dan ditanami pohon Eucalyptus.

Perlu diketahui bahwa penggantian nama tersebut tidak terlepas dari sejarah PT IIU yang mendapatkan kecaman dari masyarakat atas dampak kerusakan lingkungan dan konflik tenurial yang disebabkannya. PT IIU dilarang untuk beroperasi pada tahun 1999. Mengingat saham PT IIU yang 86% milik negara asing, maka tutupnya perusahaan ini menyebabkan kekhawatiran Indonesia akan digugat secara internasional dan harus membayar kerugian sebesar US$ 600 Juta. PT IIU kembali diizinkan oleh pemerintah untuk beroperasi pada bulan Mei 2000 dan mengganti namanya menjadi PT TPL pada 15 November 2000, namun karena tingginya penolakan dari masyarakat, PT TPL belum juga dapat beroperasi.

PT TPL dapat beroperasi Pada Maret 2003, setelah mengklaim memenuhi corporate social responsibility dengan memberikan bantuan, PT TPL kembali beroperasi dengan sistem yang diklaim ramah lingkungan. Namun, hingga saat ini masalah PT TPL tetap tidak pernah hilang, baik dari masyarakat lokal seperti isu pencemaran, deforestasi, hingga pelanggaran hak ulayat.

Selama persidangan, tidak ada saksi yang dapat membuktikan bahwa Sorbatua Siallagan melakukan pembakaran hutan. Terkait pendudukan dan pengelolaan tanpa izin, sebagai komunitas masyarakat adat tentu memiliki sejarah kepemilikan areal yang lebih lama jauh sebelum Indonesia merdeka, dan jauh sebelum adanya izin konsesi dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Hal ini dibuktikan dari beberapa ornamen dan situs sejarah, cerita turun menurun dan generasi yang sudah mencapai 11 turunan. Dan hutan itulah yang menjadi sumber daya alam yang mereka gunakan untuk bertahan hidup.

“Di Sumatera Utara setau saya tidak ada hutan yang sudah ditetapkan, semua masih dalam tahap penunjukan.” Hal ini disebutkan oleh salah seorang ahli Hukum Tata Negara juga Hukum Adat, Yance Arizona saat menjadi ahli di persidangan. Menurutnya seluruh hutan di Sumatera Utara termasuk hutan konsesi PT TPL belum jelas peruntukan dan kawasannya karena masih dalam status penunjukan belum penetapan. Disamping itu negara masih sangat abai terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sehingga perlu adanya penyelesaian secara administratif terlebih dahulu sebelum penyelesaian secara pidana.

Dok : Sondang William (Bakumsu)

Selain itu Yance Arizona juga menyebutkan dalam sebuah izin konsesi selalu terdapat klausul agar sebuah korporasi menyelesaikan terlebih dahulu konflik tenurial yang ada atau yang akan ada pasca dikeluarkannya izin konsesi. “Sebenaranya ini menjadi tanggung jawab perusahaan yang diamanatkan melalui izin konsesi tersebut.”

Dirinya juga menyebutkan bahwa Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat. “Ini berarti undang-undang ini memiliki status dalam registrasi perundang-undangan namun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, hal ini sama seperti KUHP Baru yang telah teregistrasi namun belum memiliki kekuatan hukum mengikat,” tegasnya.

Setiap persidangan dilakukan, seluruh komunitas adat melakukan demonstrasi sembari melakukan ritual adat di depan Pengadilan Negeri Simalungun. Tidak terkecuali anak dan istri Sorbatua Siallagan yang masih menunggu kepulangan sang kepala keluarga kembali ke rumah di Dolok Parmonangan. Dengan sumber daya terbatas, mereka tetap menempuh jarak kurang lebih 40 KM dari Dolok Parmonangan menuju Pengadilan Negeri Simalungun setiap sidang diadakan.

Dok : Sondang William (Bakumsu)

Hal ini mengundang atensi mahasiswa di Siantar-Simalungun yang merasa sadar bahwa apa yang dialami oleh Sorbatua Siallagan merupakan sebuah ketidak-adilan struktural dan mereka ikut dalam aksi demonstrasi di Pengadilan Negeri Simalungun. Tidak hanya mahasiswa, komunitas adat lain di sekitar kawasan Danau Toba turut memberikan dukungan baik dengan turun aksi secara langsung maupun ikut menyuarakan keresahan mereka melalui media sosial.

Melihat gerakan yang semakin besar kasus Sorbatua Siallagan mulai diliput oleh media-media nasional seperti Narasi, Tempo, dan Kompas. Sehingga mendapatkan atensi publik yang lebih luas di skala nasional.  Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya turut memberikan naskah amicus curiae sebagai respon mereka atas kasus ini.

Nyatanya perjuangan tersebut tidak dihiraukan oleh majelis hakim, kecuali Agung Dodo Laia, seorang hakim anggota yang turut menyidangkan kasus Sorbatua Siallagan.  Dalam putusannya, Agung memiliki pendapat yang berbeda terkait apa yang dilakukan oleh Sorbatua Siallagan. Dirinya melandaskan putusannya tersebut dengan mempertimbangkan eksistensi Sorbatua Siallagan sebagai masyarakat adat, dan Hutan yang masih belum berstatus penetapan.

Dok : Aman Tano Batak

Di akhir persidangan Sorbatua divonis  2 tahun Penjara dan denda 1 Milliar rupiah Subsidair 6 bulan Penjara. Tim Advokasi Masyarakat Adat Nasional (TAMAN) yang merupakan Penasihat Hukum dari Sorbatua Siallagan mengatakan bahwa perjuangan belum selesai. Sorbatua Siallagan akan melakukan banding.

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID