Wajah demokrasi kita sudah tercoreng dengan kejadian penyerangan Kantor LBH Jakarta/YLBHI yang terjadi pada tanggal 16 september 2017. Tindakan represif dan intimidasi telah dipertontonkan kepada publik lewat penggerudukan yang dilakukan aparat kepolisian masuk merengsek dan membubarkan seminar Pengungkapan Kebenaran peristiwa 1965-1966 di gedung LBH Jakarta/ YLBHI yang menjadi simbol bagi perjuangan HAM di Indonesia. Seminar ini digagas sejumlah elemen masyarakta sipil yang dilakukan untuk mendialogkan kesejarahan seputar peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965-1966. Padahal kita tahu LBH Jakarta merupakan organisasi yang dilahirkan dari sebuah kesadaran pentingnya memperjuangkan hak-hak rakyat. Disinilah tempat rakyat mengadukan sejumlah permasalahannya akibat ketidakadilan hukum dan pembangunan. Meski akhirnya seminar tak jadi dilaksanakan.
Tindakan represif esok harinya masih berlanjut disaat sejumlah element masyarakat sipil terutama para seniman menyelenggarakan kegiatan kesenian untuk menyampaikan solidaritas dan keprihatinan atas represif dan intimidasi yang dilakukan kepolisian dan massa aksi sebelumnya. Kegiatan yang awalnya aman menjadi tegang setelah sejumlah massa muncul di depan LBH/YLBHI dan mulai melakukan intimidasi menuduh kegiatan tersebut sebagai pertemuan PKI. Seiring semakin bertambahnya massa yang hadir kekacauan tidak terhindari yang berujung pada kerusuhan oleh massa aksi yang menutup jalan masuk maupun keluar gedung LBH/YLBHI.
Penegakan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara yang dijamin dalam konstitusi telah dikangkangi. Pasal 28E UUD 45 jelas menjamin hak setiap orang untuk bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F UUD 45 juga memberikan jaminan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kegiatan yang dilakukan di gedung LBH/YLBHI tidak lebih dari praktik berdemokrasi yang dilindungi oleh konstitusi. Sementara tindakan represif dan intimidasi terhadap kelompok masyarakat yang menggunakan haknya tersebut apalagi disertai dengan kekerasan dan anarkis seperti yang dilakukan oleh massa tersebut justru telah mencederai demokrasi dan UUD 45.
BAKUMSU secara tegas meminta kepada Presiden Jokowi agar memenuhi komitmennya menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dan memberikan jaminan kebebasan warga negara mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta mendukung upaya-upaya pengungkapan kebenaran kasus 1965/1966 dan upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sebagaimana janji Nawacita.
BAKUMSU meminta kepada Presiden Jokowi untuk memerintahkan Kapolri mengusut tuntas siapa aktor dibalik peristiwa tindakan represif dan intimidasi tersebut dan memprosesnya secara hukum serta mencari dan mengejar orang yang telah memprovokasi dan yang menyebarkan informasi-informasi yang sifatnya provokatif. Selanjutnya diminta kepada Kapolri untuk bekerja lebih profesional dan berintegritas agar tidak lagi membiarkan kekerasan dan tidak ragu menegakkan hukum atas tindakan intimidasi.
Medan, 19 September 2017