Keberadaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Danau Toba atau lebih dikenal sebagai Tanah Adat Batak mengakibatkan terganggunya perekonomian dan mata pencaharian bagi masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Manambus Pasaribu.
Manambus menjelaskan bahwa konflik kehutanan, pertanahan dan persoalan kerusakan lingkungan di tanah seluas 25.000 hektar, dimana di dalamnya ada 11 Komunitas Masyarakat Adat yang jumlahnya 4.000 Kepala Keluarga atau sekitar 15.955 jiwa menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sebesar Rp 132 Miliar per tahun.
“Dari perhitungan valuasi ekonomi yang dilakukan bersama masyarakat, potensi kerugian masyarakat yang timbul oleh konflik tenurial di tanah 25.000 hektar tersebut diperkirakan sebesar Rp 132 miliar per tahun,” jelas Manambus dalam siaran pers di Sekretariat Bakumsu, Selasa (23/8).
Pada kesempatan itu, Manambus mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan, mengevaluasi keberadaan TPL dan Menko Maritim Luhut Panjaitan menyatakan kehadiran TPL hanya memberikan nilai tambah dua kali, tetapi kerusakan yang ditimbulkan 16 kali.
“Di level Provinsi, desakan untuk mengaudit dan mengevaluasi serta mencabut izin TPL oleh DPRD Sumut semakin menguat. Sementara Kab. Humbang Hasundutan, Pemkab, Polres, Kejari yang dihadiri 17 perusahaan mitra TPL telah membuat kesepakatan untuk melarang akses jalan truk logging mitra TPL melintas di Wilayah Kab. Humbahas,” ucap Manambus.