Parapat, KSPPM. Masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan Danau Toba bersama pengusaha kapal, NGO, YPDT dan KSPPM, dan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, dan Profesor Tunggul Sirait melakukan diskusi multipihak, Selasa (10/7/2018), untuk memperdalam penggalian data tentang perbaikan sistem transportasi Danau Toba. Pertemuan ini berlangsung di Sopo KSPPM dan dimoderatori oleh Rokky Pasaribu (Staff Divisi Studi dan Advokasi KSPPM).
Dalam diskusi tersebut, Ketua Organisasi Pengairan Setempat (OPS) Amir Manik, sekaligus salah satu pemilik kapal di Danau Toba, menyampaikan selama ini mereka kekurangan alat penampung karena kesulitan dana untuk membelinya. Ditambahkan, fokus penumpang mereka selama ini menyasar para turis, bukan penumpang yang berasal dari lapisan masyarakat.
Berbagai masukan sangat berarti menjadi pangkal masalah dalam sistem perkapalan selama ini di sekitaran Danau Toba. “Menjadi perlu untuk dipahami bahwa Kapal Fery itu adalah milik swasta dengan salah satu peraturannnya adalah tidak mengizinkan mengangkut sepeda motor. Sebab itu, para penumpang bersepeda motor tidak ada pilihan, sehingga menjadikan Kapal Motor Kayu menjadi alternatif terakhir. Bagi para sopir kapal, sebenarnya mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, sebab ini soal tega dan tidak tega. Untuk kejadian yang baru terjadi, supir tidak tega karena itu menjadi kapal terakhir, membuat ia mengizinkan penumpang berkendaraan sepeda motor naik,” ucap Sekretaris OPS Marihat Permai Jan Junus Silalahi. Ditambahkan, untuk memperbaiki kapal kayu para pemilik kapal kesulitan mendapatkan dana dari Bank, sebab kapal mereka tidak bisa diagunkan.
“Selama ini kami sebagai pengelola kapal tidak pernah mendapat perhatian atau sosialisasi apapun dari pemerintah untuk lebih memperbaiki sistem transportasi kapal di Danau Toba. Bahkan, jika hari-hari besar kami yang mengundang Dinas Perhubungan agar mereka ikut mengawasi. Kalau boleh semua kapal harus memiliki pelampung, pemerintah harus mencek kelayakan kapal layak apa tidak beroperasi, cek pelampung, cuaca”, cap Husin Tony, selaku pengusaha kapal.
Ramlan Tampubolon mewakili masyarakat menambahkan, “pertemuan-pertemuan seperti ini juga pernah dilakukan pasca tenggelamnya Kapal Peldatari, namun tidak ada hasil perbaikan yang nyata. Kami dari masyarakat menginginkan semua Pemkab harus bertanggungjawab. Lemahnya pengawasan pemerintah soal transportasi Danau Toba mencerminkan pemerintah tidak menghargai nyawa manusia”. Ia menambahkan, ada baiknya mahasiswa pelayaran dari STIP Jakarta sebaiknya magang di perkapalan sekitar Danau Toba untuk transfer ilmu pengetahuan tentang perkapalan.
Supervisor dari Yayasan Pecinta Danau Toba (TPDT) Vera Situmorang memberi koreksi dan masukan, “SOP tidak berjalan dengan baik, mereka tidak melakukan KIR. Seharusnya pihak Dinas Perhubungan berjalan baik antara pengusaha kapal dan masyarakat. Peralatan di kapal juga harus dimiliki kapal. Seminggu sekali harus ada training untuk pelayaran, kebakaran, penumpang jatuh, kapal tenggelam, pengguna kapal (masyarakat, red).” Dia berharap semua informasi yang diberikan ini sebaiknya disampaikan kepada Bapak Menteri Perhubungan.
Keluhan lainnya yang dirasakan oleh penumpang kapal diakui memang selalu kapal-kapal tidak safety. “Kita selalu menemukan kapal-kapal di Danau Toba tidak pernah ada safety, miris dengan orang-orang kapal dengan ongkos yang sangat murah, harga yang harus disubsidi,” ucap Rosmey Situmorang.
Di akhir diskusi Ketua Tim Peneliti STIP Jakarta Egbert, menyampaikan, “Kami mengucapkan banyak terimakasih atas informasi yang sangat berarti. Berharap ini menjadi tambahan data bagi kami. Pada tahun 2001 Pemerintahan di Sulawesi pernah meminta kami untuk membangun sekolah pelayaran di sana. Kami melihat seperti apa sistem pelayaran di sana ternyata banyak yang harus diperbaiki. Untuk peristiwa tenggelamnya Kapal Sinar Bangun, kami sangat membutuhkan lebih banyak lagi informasi. Kami akan melakukan beberapa pertemuan lagi ke depannya dan pelatihan-pelatihan atau bentuk apapun dipergunakan sebaik mungkin.” Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang perbaikan sitem perkapalan di air tawar seperti Danau Toba, menghasilkan masukan di level kebijakan.
Sejak jatuhnya Kapal Sinar Bangun pada Senin 18 Juni 2018 dalam perjalanan dari Pelabuhan Simanindo menuju Pelabuhan Tiga Ras, banyak pihak bergerak menyoroti kejadian ini. Berbagai lapisan masyarakat sipil juga tidak mau diam, hingga membentuk wadah persatuan bernama Kita Danau Toba (Kitado), dikoordinatori oleh Rokky Pasaribu. Harapan ke depan, dari peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berarti ke depannya, sistem transportasi Danau Toba lebih baik lagi.