Perempuan dan Bumi yang Selalu Jadi Medan Perang
Penulis adalah pegiat isu perempuan di komunitas Perempuan Hari Ini (PHI)

Sejarah seringkali mencatat perempuan hanya sebagai pendamping dalam perjuangan, padahal perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari pertempuran itu sendiri. Dalam setiap babak perjuangan, perempuan bukan hanya penonton, tetapi juga pejuang yang turut menggenggam senjata, menanggung beban, dan berkorban demi masa depan yang lebih baik. Mereka adalah kekuatan yang tak tampak namun sangat vital. Namun, setelah merdeka, nama mereka perlahan lenyap dari buku sejarah. Apa yang diperjuangkan menjadi milik negara. Apa yang dikorbankan tak tercatat dalam narasi nasional. Seolah-olah tubuh perempuan hanya menjadi pelengkap kisah kepahlawanan.
Tubuh perempuan dan bumi kembali jadi medan perang. Kali ini, bukan Belanda yang menjajah, tapi sistem yang menindas dalam diam mulai industri tambang, pembangunan tanpa persetujuan rakyat, dan militerisasi ruang hidup. Di Papua, Kendeng, Wadas perempuan kembali turun ke jalan, membawa suara yang tak didengar negara. Perang tak selalu terjadi di medan laga dengan senapan dan tank. Ada perang yang senyap, namun menyisakan luka panjang. Perampasan tanah, perusakan lingkungan, dan perampokan sumber daya atas nama pembangunan. Seolah hal biasa, perempuan dan bumi jadi paling dulu dan paling dalam merasakan dampaknya.
Di Sumatera Utara, ketika tanah leluhur tergusur, Perempuan Batak menunjukkan bahwa mereka pantang mundur. Perempuan Batak menjadi simbol perlawanan, bukan hanya melawan kekuasaan eksternal yang menindas, tetapi juga melawan belenggu patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat. Perempuan Batak membuktikan bahwa pembebasan perempuan dari dominasi patriarki dapat terjadi dalam ruang perjuangan yang lebih luas, salah satunya adalah dalam upaya mempertahankan hak atas tanah adat dan lingkungan hidup mereka.
Dalam budaya Batak yang sarat dengan nilai-nilai patriarki, perempuan seringkali terperangkap dalam norma yang membatasi peran mereka. Tradisi menganggap perempuan sebagai simbol kelembutan dan kewajiban utama berada di ruang domestik, sementara laki-laki di ruang publik. Pandangan ini membatasi partisipasi perempuan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam. Di sinilah tantangan pertama muncul, bagaimana perempuan Batak bisa berperan aktif dalam pelestarian alam, jika ruang untuk bersuara sering kali terbatas oleh konstruksi sosial dan budaya?
Meskipun posisi Perempuan Batak dalam tradisi masyarakat seringkali terpinggirkan, perempuan Batak tidak diam. Ketika terjadi kerusakan lingkungan, Perempuan adalah yang pertama merasakan dampaknya. Dampak kerusakan alam sangat nyata bagi mereka, yang mengandalkan tanah, air, dan sumber daya alam untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Menyadari hal ini, perempuan menjadi garda terdepan dalam perjuangan pelestarian alam mereka. Bagi Perempuan Batak, menjaga bumi berarti menjaga masa depan anak cucu, menjaga warisan leluhur, dan menjaga eksistensi mereka dalam sebuah ekosistem yang saling terhubung.
Melihat yang terjadi di Dairi, Sumatera Utara sejak PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) masuk ke wilayah itu, konflik tak hanya terjadi antara manusia dan alam, tapi juga sesama warga. Dengan izin tambang yang sebagian besar berada di hutan lindung dan jalur patahan gempa, PT DPM memulai kegiatan konstruksi yang berdampak langsung ke ladang dan sumber air milik masyarakat.
Banjir bandang pada 18 Desember 2018 jadi bukti awal bencana ekologis yang dipicu aktivitas tambang. Selama 51 hari setelahnya, masyarakat kesulitan mendapat air bersih. Dan seperti yang selalu terjadi, perempuanlah yang paling menderita. Dalam masyarakat yang menempatkan tanggung jawab domestik di bahu perempuan, hilangnya akses air membuat perempuan harus mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya lebih besar untuk memasak, mencuci, memandikan anak, bahkan untuk sekadar membersihkan diri saat menstruasi.
Para pendamping tambang juga diintimidasi, selain masyarakat yang melawannya. Yayasan Diakonia Pelita Kasih (YDPK), organisasi yang mendampingi warga, khususnya perempuan, ikut mengalami tekanan dari aparat dan stigma dari masyarakat pro-tambang. Para stafnya banyak di antaranya perempuan merasa tak aman untuk beraktivitas. Dalam
dunia yang seharusnya demokratis, suara perempuan justru dibungkam oleh kuasa negara dan modal.
Pemerintah Kabupaten Dairi, alih-alih menjadi penengah, justru memperparah situasi. Sosialisasi hanya dilakukan kepada warga yang mendukung tambang. Yang menolak justru distigma sebagai pengganggu pembangunan. Kekhawatiran soal debit air dan hasil pertanian diabaikan, dan perempuan yang menolak proyek tambang dianggap tak tahu apa-apa.
Perempuan di Dairi mewarisi tanah subur yang telah memberi kehidupan lintas generasi. Mereka bukan hanya petani, tapi penjaga keseimbangan ekologi. Ketika tambang mengambil tanah, mereka kehilangan pangan, penghasilan, hingga jati diri. Ketika sungai dikotori, mereka kehilangan hak dasar sebagai manusia. Perempuan menghadapi kekerasan bukan dengan senjata, tapi dengan tubuh. Dengan diam di depan alat berat. Dengan menggendong anak sambil berdemo. Dengan menangis di depan kamera, memohon agar tanahnya tak dirampas. Ini adalah bentuk perlawanan yang mungkin dianggap lemah, tapi justru karena itulah ia sangat kuat.
Perjuangan perempuan Batak harus terus berlanjut. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa suara perempuan tetap terdengar dalam setiap keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Ini juga adalah perjuangan untuk memastikan bahwa tanah adat mereka—yang merupakan sumber kehidupan—tidak dirampas oleh kepentingan eksternal, baik oleh negara maupun oleh perusahaan besar yang hanya mengejar keuntungan. Dalam upaya ini, perempuan Batak menjadi penjaga alam dan simbol dari ketahanan dan harapan, yang menunjukkan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan yang tiada habisnya, yang harus terus dilanjutkan untuk generasi yang akan datang.
Penulis adalah pegiat isu perempuan di komunitas Perempuan Hari Ini (PHI)
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Design by Robby Fibrianto Sirait