Hentikan Kekerasan dan Intimidasi Terhadap Masyarakat Adat Sihaporas

Masyarakat Adat Sihaporas yang mengorganisir diri dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS) mengadakan konferensi pers pada Kamis, 28 Juli 2022. Kegiatan berlangsung di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) di Jl. Bunga Kenanga No. 19, Padang Bulan Selayang II, Medan. Turut hadir Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN TB) sebagai lembaga pendamping Masyarakat Adat Sihaporas.
Hadir sebagai narasumber, Thomson Ambarita, Nurinda Br. Napitu, dan Anita Br. Simanjuntak selaku perwakilan Masyarakat Adat Sihaporas, Hengky Manalu selaku staf AMAN TB, dan Tongam Panggabean selaku Direktur Eksekutif BAKUMSU.
Topik konferensi pers adalah Hentikan Kekerasan dan Intimidasi terhadap Masyarakat Adat Sihaporas. Tujuannya, membeberkan kronologi peristiwa kekerasan dan intimidasi yang dialami oleh masyarakat. Sebelumnya, pada tanggal 18 Juli 2022, masyarakat didatangi oleh satuan pengamanan perusahaan PT. TPL bersama dengan personil Kepolisian Resor (Polres) Simalungun di wilayah adat mereka di Buntu Pangaturan Sihaporas. Pos yang didirikan oleh masyarakat di sekitar wilayah adat mereka lantas dirusak oleh pihak satpam perusahaan yang dibantu oleh pihak kepolisian. Alasannya, pos masyarakat tersebut dianggap sebagai blokade jalan menuju areal PT. TPL.
Pada konferensi pers yang berlangsung, Thomson membuka dengan memaparkan eksistensi Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun. Menurutnya, sebagai komunitas masyarakat adat, Masyarakat Adat Sihaporas punya kontribusi memerdekakan Republik Indonesia, di mana beberapa orang masyarakat dulunya turut berperang dalam perang revolusi melawan Belanda. Beberapa di antaranya bahkan resmi menjadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Fakta ini, menurut Thomson, harusnya mendorong negara untuk menghormati perjuangan masyarakat Sihaporas. Negara harusnya melindungi dan memenuhi hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.
“Sudah bosan kami melapor, tak pernah ditanggapi.” ujar Thomson menimpali pertanyaan wartawan soal ada-tidaknya laporan oleh masyarakat pasca peristiwa tanggal 18 Juli yang lalu. Thomson menjelaskan, peristiwa tersebut bermula pada pertengahan bulan April, ketika Masyarakat Adat Sihaporas melakukan upaya reclaim tanah adat mereka. Kegiatan reclaim ini kemudian dihalang-halangi oleh seseorang bernama Samuel Sinaga yang diduga bertindak atas perintah PT. TPL.
Tidak hanya menghalangi, Samuel Sinaga juga diduga mengumpat dan menghina Masyarakat Adat Sihaporas dan leluhur mereka. Masyarakat yang geram dengan sikap dan tindakan Samuel Sinaga ini lantas mendatangi Samuel dan meminta agar Samuel menarik kata-katanya dan memohon maaf pada Masyarakat Adat Sihaporas.
Pada tanggal 16 Juli 2022, dua orang polisi dari Kepolisian Sektor (Polsek) Pematang Sidamanik mendatangi Masyarakat Adat Sihaporas dengan alasan adanya tuduhan bahwa masyarakat melakukan penyanderaan terhadap Samuel Sinaga.
Dua hari setelahnya, pada tanggal 18 Juli, sekitar pukul 15.00 WIB, 11 anggota kepolisian dari Kepolisian Resor (Polres) Simalungun mendatangi masyarakat di pos yang didirikan masyarakat di sekitar wilayah adat mereka. Selang 1 jam, rombongan Polsek Pematang Sidamanik tiba dengan membawa sekitar 50 orang personel dan 2 mobil kerangkeng dengan dalih pengamanan. Rombongan dipimpin langsung oleh Kapolsek Pematang Sidamanik, AKP Eli Nababan. Tak lama setelah kedatangan Kapolsek beserta rombongannya, menyusul lagi aparat kepolisian sebanyak 22 mobil pada sekitar pukul 19.00 WIB. Di antaranya banyaknya aparat itu, Thomson Ambarita menyebutkan ada yang menggunakan ID Card Satuan Pengamanan Pertemuan W 20. Adapun Forum W 20 merupakan pertemuan pendahuluan G 20. Dilaksanakan pada 19-21 Juli 2022 di Parapat. Hanya sekitar 1 jam dari Sihaporas. Kehadiran sosok yang mengenakan ID Card W 20 ini menjadi pertanyaan bagi banyak pihak. Jika tak ada klarifikasi resmi dari pihak penyelenggara W 20, hal ini bisa menimbulkan beragam asumsi di tengah masyarakat.
Hengki Manalu dari AMAN Tano Batak menyebutkan, pendekatan represif aparat kepolisian di Sihaporas merupakan akibat dari ketidakmampuan dan ketidakmauan melihat akar masalah. Sehingga aparat kepolisian memandang masalah-masalah yang timbul di Sihaporas semata-mata masalah dugaan pidana. Padahal akar masalahnya adalah konflik berkepanjangan antara PT. TPL dengan masyarakat. Pemerintah harus menyelesaikan masalah ini. Kalau tidak, menurut Hengki, pemerintah justru terkesan “memelihara” konflik.
“Segera cadangkan hutan adat Masyarakat Adat Sihaporas.” ujar Hengki terkait langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Sihaporas.
Masih terkait represifitas aparat kepolisian di Sihaporas, Direktur BAKUMSU, Tongam Panggabean menilai pihak kepolisian tidak imparsial. Menurutnya, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) selayaknya menindak tegas para anggota yang tidak taat prosedur dalam melaksanakan tugas.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian harus seimbang antara ancaman yang dihadapi dengan tingkat kekuatan, sehingga tidak menimbulkan korban. Melihat situasi di Sihaporas yang tidak menimbulkan ancaman keamanan, aparat kepolisian tidak seharusnya menggunakan pendekatan represif. Dengan demikian, penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian di Sihaporas sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tersebut.
Tongam menambahkan, beberapa lembaga sepatutnya ambil peran dalam penyelesaian konflik ini. Mulai dari Komnas HAM, Kompolnas, hingga LPSK. Komnas HAM bisa melakukan pemantauan dan dokumentasi terkait dugaan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) oleh aparat kepolisian di Sihaporas. Kompolnas juga selayaknya mengawasi kinerja kepolisian. Sementara LPSK bisa berperan dengan cara memberi perlindungan bagi Masyarakat Adat Sihaporas yang jadi saksi maupun korban dalam konflik dengan PT. TPL.
Tongam juga menyoroti pihak kepolisian yang dinilai tidak memiliki pemahaman dasar tentang masyarakat adat. Masyarakat Adat Sihaporas punya hak untuk mengidentifikasi diri (self identification) sebagai masyarakat adat.
“Klaim Masyarakat Adat Sihaporas adalah hak asal-usul. Pihak kepolisian belum memahami ini karena justru menanyakan bukti.” ujar Tongam Panggabean merujuk pada sikap aparat yang kerap menanyakan bukti kepemilikan lahan kepada kelompok masyarakat adat. Tongam menambahkan, wilayah adat Sihaporas juga sudah teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Harusnya pemerintah segera menindaklanjuti ini.***
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Design by Robby Fibrianto Sirait