Skip to content
Home » Kembalikan Tanah Adat Lumban Sitorus

Kembalikan Tanah Adat Lumban Sitorus

Medan – Kpkpos Produsen bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL), terus mendapat perlawanan masyarakat adat Tanah Batak. Sebelumnya, perusahaan ini berkonflik dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, yang menolak hutan kemenyan dibabat. Kini perlawanan muncul dari masyarakat adat Lumban Sitorus, Kabupaten Toba Samosir. Masyarakat adat Lumban Sitorus protes keras. Mereka menolak tanah adat diambil perusahaan tersebut. Mereka menuntut tanah adat dikembalikan oleh perusahaan, yang dinilai mengambilnya dengan cara-cara tidak terpuji. Catatan Koran ini, sejak Januari 2015, masyarakat Lumban Sitorus berkali-kali protes pada TPL. Tuntutan mereka menghadapi tantangan. Termasuk upaya kriminalisasi dengan berbagai ancaman. Pada Juli 2015, ketika demonstrasi di pabrik,  Sitorus dituduh menganiaya karyawan TPL. Upaya kriminalisasi berakhir dengan kemenangan masyarakat adat. Pada Senin, (25/1/16), Pengadilan Negeri Balige memvonis bebas murni. Sitorus meminta, pemerintah melindungi masyarakat adat dan menghentikan kriminaliasai mereka yang memperjuangkan hak adat. Aparat keamanan harus menjalankan tugas melindungi rakyat, tak menjadi alat keamanan perusahaan, dan represif terhadap warga. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), yang mendampingi perjuangan masyarakat Lumban Sitorus, menyebutkan kriminalisasi terus terjadi, melibatkan oknum aparat kepolisian. Delima Silalahi, Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM, mengatakan, perjuangan terus dilakukan dengan aksi, lobi DPRD, BPN, dan pemerintah pusat agar memberikan hak adat yang diambil perusahaan. Dia mendesak pemerintah membuat peraturan daerah mengenai masyarakat adat. Draf sudah mereka sampaikan ke legislatif dan eksekutif, namun mentah karena ada dugaan berkepentingan dengan TPL. “Sejak dulu tak ada pendekatan musyawarah antara TPL dengan masyarakat. Mereka hanya menggunakan legal formal, dan mengandalkan polisi, penguasa dan pemerintah,” tegasnya. Kusnadi Oldani, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, mengatakan, kementerian Dalam Negeri sudah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh daerah agar mengidentifikasi masyarakat adat berserta struktur dan sejarah adat. Ada indikasi tak dijalankan bupati hingga perlu identifikasi sendiri dan menyampaikan ke bupati dan Kemendagri. Guna mencari penyelesaian terkait konflik antara masyarakat adat Lumban Sitorus dengan PT TPL, Komisi A DPRD Sumatera Utara mengadakan Rapat dengar Pendapat (RDP). RDP ini berlangsung di ruang rapat komisi A DPRD Sumut Medan, Selasa, (22/3). Rapat dipimpin langsung ketua Komisi A, Sarma Hutajulu didampingi oleh anggota antara lain Fernando Simanjuntak dan Januari Siregar. Dalam siaran pers yang dirilis Bakumsu, menyebutkan, pihak undangan yang hadir antara lain, unsur pemerintah daerah Toba Samosir  yakni asisten I Pemkab Samosir Robert Hutajulu, kepala BPN Wilayah Toba Samosir Edward Hutabarat dan Camat Parmaksian Janji Situngkir. Dari kelompok masyarakat adat yakni Sammas Sitorus beserta sekitar 30 orang perwakilan masyarakat adat Persatuan Masyarakat Adat Lumban Sitorus (PERMADES). Sementara dari organisasi masyarakat sipil yakni Delima Silalahi (KSPPM) dan Manambus Pasaribu (BAKUMSU), Pimpinan manajemen  PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) yakni Chairudin Pasaribu, Tagor Manik, Leo Hutabarat. Dalam pertemuan tersebut, pihak TPL bersikukuh membenarkan keberadaannya berdasarkan beberapa Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah diterbitkan oleh BPN wilayah Toba Samosir. Namun ketika Komisi A meminta penjelasan lebih lanjut tentang letak HGB yang bersinggungan langsung dengan tanah Jior Sisada-sada dan Silosung yang diklaim oleh masyarakat adat, yaitu tanah berkonflik yang diperkirakan seluas 30 sampai 50 ha tersebut, ternyata manajer PT TPL, Tagor Manik  tidak mampu memberikan penjelasan yang tegas. Demikian juga halnya dengan pihak BPN Toba Samosir. Terkait dengan pemberian HGB, Edward Hutabarat menyatakan bahwa pemberian beberapa HGB yang umumnya dikeluarkan pada tahun 1986 dengan masa berlaku hingga 2043 tersebut didasarkan pada SK gubernur No.593/VI/kpmd/1986. Atas penjelasan tersebut, anggota Komisi A Januari Siregar mempertanyakan tentang keabsahan HGB. Karena menurutnya, surat keputusan tersebut tidak bisa serta merta dijadikan sebagai dasar hukum pemberian sertifikat atau HGU. BPN Toba Samosir juga tidak mampu menunjukkan dokumen-dokumen yang pernah diterbitkan dan diberikan kepada PT TPL. Dalam pertemuan tersebut, Komisi A melalui ketuanya Sarma Hutajulu menyatakan menghargai dan akan mendukung penuh perjuangan masyarakat adat Lumban Sitorus. Sarma mengatakan bahwa itikad baik TPL dalam penyelesaian konflik tersebut hanya dapat dibuktikan jika perusahaan kertas dan hutan industri tersebut bersedia menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat melalui pendekatan yang adil dan berdasarkan pengakuan yang utuh terhadap keberadaan tanah adat. PT TPL juga supaya segera menghentikan segala upaya kriminalisasi dan intimidasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya terutama masyarakat adat Lumban Sitorus. Masih menurut Sarma, DPRD Sumut terutama Komisi A akan terlibat langsung dalam mengawal dan bila diperlukan, akan menemui Kementerian Agraria untuk mendesak pencabutan izin PT TPL jika tetap mempertahankan sikap arogannya terhadap rakyat. Selain itu, Komisi A juga memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Toba Samosir untuk segera menjalankan transparansi publik dan memberikan dokumen-dokumen HGB PT TPL yang pernah dikeluarkan paling lambat satu minggu ke depan. Asisten I Pemkab Toba Samosir atas permintaan komisi A dan PERMADES juga berjanji akan segera memfasilitasi para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut demi menemukan upaya penyelesaian yang adil bagi masyarakat adat dan menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan wilayah adat di kabupaten Toba Samosir. Lima Sungai di Sektor Aek Nauli jadi Kawasan Lindung Lima aliran sungai yang terdapat dalam wilayah konsesi perusahaan bubur kertas (pulp) ditetapkan menjadi kawasan lindung yang tidak boleh terganggu oleh kegiatan perusahaan. Komitmen ini disampaikan manajemen PT TPL dalam peringatan Hari Air Sedunia (World Day for Water) yang diperingati secara internasional setiap tanggal 22 Maret sesuai hasil Sidang Umum PBB ke 47 di Rio de Janeiro, Brazil pada 22 Desember 1992 silam. Aliran-aliran sungai tersebut yakni yang terdapat pada wilayah konsesi Sektor Aek Nauli seperti Bah Parlianan, Bah Mabar, Bah oluk, Bah Hapasuk dan Aek Silau. “Bah atau aek itu merupakan Sungai atau air dalam bahasa setempat,’ kata Manager Regional II PT TPL, Simon Sidabukke, Selasa (22/3). Simon mengatakan selain pada wilayah konsesi sektor Aek Nauli, keberadaan sungai-sungai pada sektor lainnya juga akan diperlakukan hal yang sama. Salah satu kebijakan yang ditempuh yakni dengan melarang adanya segala jenis kegiatan penebangan pada radius minimal 50 meter dari wilayah yang disebut dengan istilah Sempadan Sungai tersebut. “Ada pemasangan signboard (papan pengumuman) di sana yang diinspeksi secara periodik,” ujarnya. Wilayah sempadan sungai tersebut menurutnya juga menjadi bagian dari kawasan lindung pada konsesi bersama greenbelt atau lingkar hijau dan kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam aturannya, pemerintah mewajibkan adanya wilayah hijau dan kawasan lindung mencapai 31 persen dari total wilayah konsesi yang diberikan kepada PT TPL tersebut. “Sempadan sungai inilah yang juga berfungsi sebagai habitat hidup satwa liar,” ungkapnya. Selain memastikan tidak ada aktivitas pada minimal 50 meter dari aliran sungai, perusahaan juga terus mengembangkan tanaman kayu yang irit konsumsi air sebagai bahan utama untuk produksi pulp. Pohon jenis Eucalyptus menjadi pilihan karena kajian akademis menunjukkan tanaman tersebut lebih irit konsumsi air dibanding kayu lainnya seperti Pinus dan Akasia. “Dari penelitian evapotranspirasi Eucalyptus (konsumsi air) hanya 46.46 persen. Ini jauh lebih rendah dibanding Pinus 61,5 persen dan Akasia 68,8 persen,” ungkapnya. Sementara itu, humas PT TPL Dedy Sofyan Armaya mengatakan, salah satu indikasi keberhasilan perusahaan dalam menjaga sempadan sungai tersebut yakni terjaganya ketersediaan air bersih bagi warga yang bermukim diseputar perusahaan mereka. Salah satunya yakni program pipanisasi air bersih yang mereka berikan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga di Lumbanjulu, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir. “Ini menjadi bagian dari layanan kita kepada masyarakat,” demikian Dedy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_GBEN