Skip to content

Makam Mewah untuk Orang Mati, Pengusiran untuk Orang Hidup: Suara Luka dari Petani

Daniel Simarmata, Ginda Sitorus, Holy Zega, Zustine Sianipar (Penulis merupakan peserta Magang Bakumsu)

Dimakamkan diatas penderitaan, apakah itu yang mereka sebut kemewahan? 

Pada hari-hari biasanya, Desa Rambung Baru dipenuhi oleh berbagai aktivitas, suara cangkul menembus tanah, tawa anak-anak di halaman, dan obrolan para ibu di beranda rumah. Tapi Sabtu itu, suasana berubah. Seluruh desa mendadak sepi. Tidak ada yang ke ladang, tidak ada yang ke warung. Warga baik muda dan tua, pria dan Wanita berkumpul menjadi satu di depan pintu gerbang kuburan mewah milik PT Nirvana. Mereka berdiri rapat, bergerak Bersama meneriakkan satu kalimat “Tolak Konstatering!”.

Perseteruan ini berakar dari sejarah panjang antara PT Nirvana Memorial Nusantara dan masyarakat Desa Rambung Baru. Tanah-tanah warisan leluhur yang telah diolah dan dikuasai warga secara turun-temurun, kini terusik oleh klaim sepihak dan praktik penggusuran. Lahan yang selama ini menjadi penopang hidup perlahan tergantikan oleh sertifikat yang diterbitkan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemilik aslinya.

Jejak Hukum yang Penuh Luka

Puncak konflik hukum terjadi pada tahun 2020 ketika lima warga yaitu Anita Sitepu, Pendi Sembiring, Elieser Sitepu, Nungkun Gurusinga, dan Dalan Ukur Br Sembiring digugat oleh PT Nirvana di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam atas tuduhan perbuatan melawan hukum.  Dalam proses ini, warga baru mengetahui bahwa perusahaan mengklaim lahan seluas 75 hektar. Meskipun kalah di pengadilan tingkat pertama, masyarakat mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung dan mengadukan kasus ini ke banyak instansi pemerintahan lainnya mulai dari legislatif seperti DPRD Sumatera Utara, Kantor Staf Presiden (KSP), serta Satgas Anti Mafia Tanah Mabes Polri.

3 tahun setelahnya, Satgas Mafia Tanah Mabes Polri dan Polda Sumut menemukan bukti adanya tumpang tindih lahan antara warga dan SHGB PT Nirvana, serta indikasi pemalsuan dokumen yang menjadi dasar penerbitan sertifikat perusahaan dimana beberapa nama yang tercatat dalam akta jual beli mengaku tidak pernah memiliki atau menjual tanah tersebut, bahkan salah satunya telah meninggal sebelum tanggal transaksi yang tercantum di dokumen.

Selain itu, lokasi SHGB yang diklaim perusahaan ternyata berada di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, bukan di Desa Rambung Baru sebagaimana yang dinyatakan dalam klaim perusahaan. Dimana atas dasar itu pula langkah warga dalam melakukan penolakan konstatering  pada tanggal 21 Juli yang  lalu adalah sebagai bentuk solidaritas dan juga tekanan bahwa kilometer 30 tersebut adalah desa Rambung baru dan bukan desa Bingkawan.

Perspektif dan Dinamika Perjuangan Anak Muda: Alasan dan Pandangan Mereka

Perjuangan masyarakat Rambung Baru bukan sekadar perlawanan atas penggusuran melainkan ini adalah panggilan jiwa. Dari berbagai generasi, seluruh lapisan masyarakat bersatu, menggenggam erat warisan leluhur yang hendak direnggut. Para pemuda berdiri di garda depan, bukan hanya mempertahankan tanah, tapi juga mempertahankan warisan leluhur dan jati diri mereka. Sebab bagi mereka, tanah ini bukan sekadar hamparan bumi, tapi akar sejarah, tempat cerita-cerita keluarga ditanam, dan identitas yang tak bisa digantikan. Di balik sorak penolakan, ada cinta yang dalam terhadap tanah kelahiran dan mereka menolak untuk melupakannya. 

Seorang pemuda bernama Rizal Gurusinga, yang kesehariannya membantu sang ayah mengolah ladang, mengisahkan bagaimana generasi muda di Rambung Baru memandang konflik agraria yang menimpa desa mereka. Bagi mereka, persoalan tanah ini bukan sekadar sengketa biasa, melainkan wajah baru dari penjajahan modern. Keserakahan, kata Rizal, kini disamarkan dengan bahasa investasi dan pembangunan, lalu dijalankan melalui praktik-praktik kotor yang berkelindan dengan mafia tanah.

Meski begitu, para pemuda di desa ini memiliki tekad yang sama: mempertahankan tanah warisan leluhur yang selama turun-temurun menjadi sumber penghidupan keluarga mereka. Namun, jalan yang ditempuh jauh dari mudah. Dalam forum-forum desa, suara mereka sering dianggap belum matang. Anak-anak muda diposisikan hanya sebagai “pemain pinggiran” yang belum cukup dewasa untuk bicara soal konflik tanah. Tak jarang, tokoh masyarakat atau orang tua menyarankan agar mereka tidak terlalu vokal, demi menghindari keributan. “Sudahlah, ini urusan orang tua. Biarlah kami yang mengurus,” begitu pesan yang kerap didengar Rizal.

Namun keraguan itu tidak membuat mereka mundur. Justru melalui proses panjang, para pemuda terus menginternalisasi semangat juang, menyalakan idealisme bahwa konflik tanah ini juga menyangkut nasib mereka. Penderitaan orang tua dan masyarakat Rambung Baru adalah penderitaan anak muda juga. Keyakinan inilah yang melahirkan tekad untuk bergerak: menghidupkan perlawanan, mengawalnya secara kreatif, dan menjadikannya perjuangan yang berkelanjutan. Mereka pun membentuk kelompok pemuda yang aktif mengorganisasi aksi damai sekaligus memanfaatkan media sosial untuk menggaungkan kasus ini agar mendapat perhatian luas.

Bagi anak-anak muda Rambung Baru, masa depan desa tak mungkin dilepaskan dari peran generasi mereka hari ini. Meski sering diremehkan, mereka tetap konsisten mempertahankan tanah warisan. Aksi-aksi yang mereka lakukan perlahan menarik perhatian publik dan media. Seperti pada 21 Juli 2025, ketika pemuda bersama warga Rambung Baru menuntut agar Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam membatalkan konstatering di Km 30. Perlawanan itu berbuah hasil: konstatering akhirnya tidak jadi dilaksanakan, kemenangan kecil yang menyuntikkan harapan besar bagi perjuangan mereka.

Hak Asasi yang Terpinggirkan di Tengah Sengketa Lahan

Bagi warga, tanah bukan sekadar ruang fisik, melainkan sumber kehidupan. Ketika tanah diambil atas dasar legalitas yang cacat, itu bukan hanya penggusuran, melainkan perampasan hak hidup. Dari sudut pandang hak asasi manusia, ini menyentuh hal yang paling mendasar: hak atas tempat tinggal, pangan, dan martabat. Ironi semakin dalam ketika lahan pertanian rakyat berubah menjadi kompleks makam mewah dengan harga kavling ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Warga kecil disingkirkan dari tanahnya sendiri demi memberi ruang bagi kemewahan mereka yang telah tiada, sementara yang hidup terusir dan dilupakan.

Hak Ekosob adalah bagian dari hak asasi manusia menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia untuk hidup secara layak, bermartabat, dan manusiawi. Hak ini meliputi hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, jaminan sosial, lingkungan hidup, dan hak atas budaya. Indonesia sendiri telah meratifikasi hak Ekosob dengan UU No. 11 Tahun 2005. 

Akibat hadirnya PT Nirvana, masyarakat tidak dapat memaksimalkan pengelolaan atas tanahnya sendiri. Tidak hanya itu, hak budaya masyarakat Rambung Baru pun terancam hilang. Tanah yang selama ini menjadi ruang hidup dan sumber identitas budaya mereka, termasuk tempat pelaksanaan tradisi serta kegiatan adat, kini terancam dialihfungsikan. Hilangnya akses terhadap tanah tersebut berarti pula hilangnya kesempatan masyarakat untuk melestarikan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.

Menyikapi hal ini, negara wajib memastikan bahwa setiap kebijakan, perizinan, atau kegiatan usaha tidak melanggar hak-hak masyarakat, termasuk hak atas tanah, lingkungan hidup yang sehat, dan kebudayaan. Pemerintah daerah diharapkan menjadi mediator aktif yang memfasilitasi dialog antara warga dan perusahaan, sementara pemerintah pusat memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku serta memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran.

Korporasi, di sisi lain, memiliki tanggung jawab sosial yang tidak hanya diatur oleh hukum nasional, tetapi juga oleh prinsip-prinsip internasional. Salah satunya adalah United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang menegaskan bahwa perusahaan wajib menghormati hak asasi manusia di seluruh rantai operasionalnya. Tanggung jawab ini mencakup pencegahan, mitigasi, dan pemulihan atas dampak negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Dalam konteks konflik lahan seperti yang dialami masyarakat Rambung Baru, korporasi tidak dapat hanya berlindung pada klaim legalitas formal, melainkan juga harus memastikan bahwa setiap kegiatan bisnisnya tidak melanggar hak-hak dasar masyarakat dan menghormati prinsip keadilan sosial.

 

Legal and human rights empowerment for social and ecological justice

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

en_GBEN