Skip to content
Press Release

Pemerintah Harus Meninjau Ulang Kebijakan Pembentukan Badan Otorita Food Estate di Sumatera Utara

Medan, 21 Mei 2024 — Pemerintah Indonesia sedang merencanakan pembentukan Badan
Otorita Food Estate Sumatera Utara melalui Peraturan Presiden (Perpres). Inisiatif ini bertujuan
untuk memastikan koordinasi, integrasi, harmonisasi, dan keberlanjutan pengembangan kawasan
food estate di Sumatera Utara. Namun, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara
(JAMSU) menilai proyek ini menghadapi berbagai masalah mendasar yang berdampak negatif
terhadap kesejahteraan petani lokal, kelestarian lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat.

Proyek Food Estate yang diluncurkan di Kabupaten Humbang Hasundutan mencakup lahan
seluas 165.000 hektar, tetapi hanya sekitar 10% dari lahan ini yang dikelola secara aktif.
Mayoritas lahan yang tersisa, sekitar 80-90%, terbengkalai dan tidak terurus. Kondisi ini tidak
hanya mencerminkan kegagalan manajemen lahan tetapi juga mengakibatkan kerugian besar
bagi petani yang menggantungkan hidup mereka pada lahan tersebut.

Selain itu, banyak petani dihadapkan pada kontrak-kontrak yang merugikan. Mereka diwajibkan
membeli bibit dari perusahaan dengan sistem hutang, yang menyebabkan mereka terjebak dalam
lingkaran hutang yang semakin parah ketika panen gagal. Banyak petani terpaksa mengagunkan
tanah mereka ke bank untuk mendapatkan modal, sehingga berisiko kehilangan tanah mereka
sendiri. Dampak ini semakin memperburuk kesejahteraan petani, yang pada akhirnya harus
bekerja sebagai buruh di lahan mereka sendiri dengan upah yang rendah.

“Kehadiran Ranperpres ini sebagai bukti bahwa Pemerintah Pusat tidak belajar dari
kegagalan-kegagalan yang terjadi atas keberadaan Food Estate. Banyak terjadi perubahan yang
tadinya dia berdaulat atas tanahnya kini menjadi buruh tani. Pola menanam, yang seharusnya
petani menanam produk pangan, kini mereka harus menanam produk untuk dijual kepada
perusahaan. Belum lagi, skema food estate ini terus berubah. Skema pertama, program masih
subsidi pemerintah. Skema berikutnya diganti dengan offtaker dan contract farming. Kemudian
skema hari ini dengan hadirnya badan otorita food estate yang mana memang kehadiran food
estatenya saja sudah bermasalah malah menghadirkan lagi badan otorita.” ujar Delima Silalahi
Sekretaris Eksekutif Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).

Dampak negatif lainnya adalah terhadap lingkungan. Konversi lahan hutan menjadi wilayah food
estate mengancam keanekaragaman hayati dan meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir
dan longsor. Hilangnya lahan hutan juga memicu konflik agraria yang berkepanjangan antara
pemerintah, masyarakat adat, dan pihak swasta. Pembentukan Badan Otorita Food Estate hanya
akan memperparah situasi ini dengan mempercepat proses pelepasan kawasan hutan menjadi
wilayah otoritatif yang dikembangkan untuk perkantoran dan fasilitas pendukung pertanian.

Konflik agraria yang timbul bukanlah satu-satunya masalah. JAMSU menyoroti bahwa
pembentukan Badan Otorita Food Estate juga menghilangkan kewenangan daerah dalam
pengelolaan dan perencanaan pertanian. Pemerintah daerah, yang memiliki otonomi sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pertanian, akan kehilangan haknya
dalam merencanakan dan mengelola budidaya pertanian di daerah otonom mereka. Hilangnya
kewenangan ini mengancam otonomi daerah dan sumber pendapatan lokal.

“Kami melihat ini ada persoalan multidimensi dari keberadaan food estate. Ada dimensi
struktural, terkait soal nilai tanah, nilai komunal tanah akhirnya semakin hilang. Belum lagi, 10
tahun belakangan kita dihadapkan pada kebijakan yang sentralistik. Sehingga ini melemahkan
masyarakat dan pemerintah daerah. Kami melihat setiap ada proyek nasional yang terhambat
dijawab dengan kelembagaan. Terlihat dengan adanya kelembagaan maka terlihat semua menjadi
sentralistik. Lumbung pangan itu harus kembali kepada konsep kearifan lokal dan kedaulatan
pangan. Kita harus mendesak kepada pemerintah daerah untuk bisa bicara terkait program food
estate. Pemerintah Daerah harus bisa mengatakan tidak kepada program food estate yang hari ini
tidak memberikan kewenangan kepada mereka. Proyek Strategis Nasional juga makin
menghilangkan faktor lingkungan dalam pembangunan. Akhirnya semua pembangunan terlihat
hanya sekedar greenwashing.” ujar Tongam Panggabean Direktur Program Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU).

“Konsep Food Estatenya sendiri sudah salah karena tidak dirancang secara efektif dan totalitas.
Karena ini tidak dirancang dengan duduk bersama dengan petani kita terutama petani pangan.
Jika pemerintah mau memperbaiki kembali konsep food estate ya kembali pemerintah harus
memakai data sensus pertanian untuk kembali mengetahui apa yang menjadi sumber daya dan
apa yang perlu dikelola. Perlu Pemerintah memberikan konsep merdeka bertani sebagai solusi.
Petani bebas menentukan akan menanam apa dan bagaimana mereka menjualnya. Sehingga
petani bisa membuat pasarnya sendiri. Petani bisa bertemu langsung dengan pembelinya.
Sehingga ini bisa memutus mata rantai kehadiran tengkulak.” Rekomendasi ini yang ditawarkan
oleh Prof. Dr. Posman Sibuea selaku akademisi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

Melihat berbagai potensi dampak negatif dari proyek ini, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil
Sumatra Utara (JAMSU) menyatakan :
1. Pemerintah segera membatalkan Rancangan Peraturan Presiden Badan Otorita Food
Estate Sumatera Utara. Pemerintah harus mengedepankan Kebijakan terkait pertanian dan
pangan yang berbasis pada pendekatan lingkungan, penyelesaian konflik, dan
kepentingan lokal.
2. Ranperpres Badan Otorita yang diusulkan oleh pemerintah sangat birokratis, teknokratis,
dan berbasis pertumbuhan.
3. Pemerintah harus mengevaluasi secara menyeluruh terhadap proyek Food Estate secara
menyuluruh terkhusus Food Estate di Sumatera Utara dengan melibatkan partisipasi aktif
dari petani lokal dan kelompok masyarakat adat. Pemerintah juga perlu memberikan
kompensasi kepada petani yang mengalami kerugian akibat proyek ini serta mendukung
pemulihan lingkungan yang berkelanjutan.
4. Pemerintah meninjau ulang dan memperbaiki kebijakan Food Estate demi kesejahteraan
bersama dan keberlanjutan lingkungan.


CP: Tongam Panggabean : +4917669449573 (WA)
Delima Silalahi : 082165522065 (WA)

Legal and human rights empowerment for social and ecological justice

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

en_GBEN