Hari ini (14/3) genap sebulan sejak DPR RI mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Rancangan undang-undang yang memicu gelombang penolakan tersebut akan segera dicatatkan ke dalam lembaran negara meskipun belum mendapat persetujuan presiden.
Pembatasan kebebasan sipil-politik terhadap warga negara yang ingin bersuara (kritik) terhadap DPR sebagaimana diatur di dalam regulasi ini tentunya merupakan preseden buruk dan kemunduran pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak sipil-politik warga negara. Ini sekaligus menambah daftar buruk upaya lembaga legislatif tersebut untuk menciptakan ketidakpastian hukum dan pelemahan terhadap masyarakat sipil.
Prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia sesungguhnya telah diadopsi dalam amandemen UUD1945. Dengan demikian, hak-hak sipil-politik telah mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara menjadi hak konstitusional yang dijamin oleh hukum tertinggi. Selain itu, dalam instrumen HAM internasional, Indonesia merupakan negara pihak setelah ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil-Politik dalam undang-undang Nomor 12 tahun 2005. Dengan demikian, Indonesia wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak sipil setiap warga negara. Hak-hak dan kebebasan warga negara yang dijamin di dalam konstitusi dan undang-undang tersebut akan dapat terpenuhi apabila peran negara dikurangi terutama dalam penggunaan kewenangan oleh aparatur negara yang ingin bertindak refresif.
Secara umum, undang-undang MD3 dilandasi oleh semangat melanggengkan kekuasaan legislatif yang absolut dan membatasi kebebasan bersuara warga negara. Beberapa ketentuan yang menjadi sorotan adalah penggunaan alat repressif negara. Pasal 73 menyebutkan; “dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, terdapat upaya menggiring ke dalam situasi ketidakpastian hukum dan pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Pasal 122 huruf k menyiratkan bahwa DPR dapat mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Kata merendahkan kehormatan terlihat terlalu subyektif untuk dimaksudkan dalam undang-undang. Pada pasal 245 ditetapkan bahwa DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Sebagai wakil rakyat, lembaga ini seharusnya menerima semua kritikan maupun saran dari masyarakat dan memastikan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, BAKUMSU sebagai lembaga masyarakat sipil yang fokus pada penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia bersikap sebagai-berikut:
- Memandang perlu agar presiden RI segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (perpu) untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam konstitusi dan instrumen HAM internasional.
- Mengapresiasi segala upaya berbagai pihak lewat instrumen demokrasi dengan melakukan Judicial review terhadap undang-undang tersebut dan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mencabut regulasi tersebut.
Lembaga legislatif dan eksekutif supaya memenuhi komitmennya terhadap partisipasi warga. Keterlibatan masyarakat sipil diperlukan dalam proses pembuatan peraturan atau kebijakan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak konstitusional dan HAM setiap warga negara