Kajian Kebijakan

PT. DPM Gagal Menerapkan Prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC)!
Hak atas informasi (right to know) adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM)! Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menganggap hak ini penting sebagai bagian tak terpisahkan dari kebebasan berpendapat sebagaimana ditegaskan pada Pasal 19 DUHAM. Bahwa setiap orang punya kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa intervensi, dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah. Hak atas informasi tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan hak-hak asasi lainnya. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat, misalnya. Di bidang pembangunan, dua hak dasar ini menjadi berkaitan sangat erat. Diperoleh-tidaknya lingkungan yang baik dan sehat akan sangat bergantung pada informasi yang bisa diakses oleh masyarakat.
Dalam hal ini, peran pemangku kepentingan (stakeholders) juga mutlak diperlukan, terutama pihak pemerintah, dan pihak pengembang yang hendak melakukan pembangunan. Jika salah satu saja lalai, keselamatan warga bisa terancam! Inilah situasi yang kini terjadi di Kabupaten Dairi, di mana PT. Dairi Prima Mineral (PT. DPM)2 hendak melakukan pembangunan fasilitas tambang. Dairi adalah wilayah rawan bencana alam. Mulai dari gempa, tanah longsor, hingga banjir bandang.3 Kerawanan ini merupakan keadaan alamiah Dairi yang berada di garis patahan. Dan menjadi berkali-kali lipat lebih berbahaya dengan adanya kegiatan perusahaan ekstraktif di tanah Dairi. Kalaupun perusahaan ekstraktif hendak beroperasi di tanah rawan bencana alam, tentu ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi terlebih dahulu menyangkut perolehan izin lingkungan dan pertambangan. Satu dari sekian syarat tersebut adalah penyediaan informasi yang memadai ihwal rencana pembangunan. Perusahaan harus terbuka tentang analisis mereka terhadap dampak yang akan terjadi jika pembangunan dilanjutkan. Dengan demikian, semua pihak (terutama warga) punya kesempatan memberikan penilaian, apakah pembangunan layak dilanjutkan, atau harus dihentikan karena risikonya tidak sebanding dengan keuntungan yang bisa didapat. Langkah ini tidak diambil oleh PT. DPM! Nyaris tidak adainformasi relevan yang disampaikan kepada warga.
Mengakibatkan warga kebingungan, dan tidak bisa mempertimbangkan keberadaan perusahaan tambang di wilayahnya. Penelitian yang dilakukan oleh BAKUMSU bersama Tim Peneliti Independen pada tahun 2021 menemukan bahwa masyarakat di sekitar areal pertambangan belum memperoleh informasi yang memadai terkait dampak lingkungan dari pembangunan yang dilakukan oleh PT. DPM. Hampir tidak ada dialog dan konsultasi mengenai dampak lingkungan. Tidak ada penyediaan informasi yang jujur oleh perusahaan5 alih-alih warga “dicekoki” dengan janji bahwa warga akan hidup makmur dengan kehadiran PT. DPM di wilayah mereka.
Tindakan PT. DPM yang tidak membuka informasi kepada warga, alih-alih menyembunyikannya, adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent) (selanjutnya disebut FPIC). Berangkat dari prinsip FPIC, masyarakat adat (indigenous people) dan masyarakat setempat (local community) memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencarian, dan lingkungan mereka.6 Masyarakat bisa sampai pada pertimbangan memberikan atau tidak memberikan persetujuan hanya jika informasi terkait proyek pembangunan di wilayah mereka telah disediakan secara menyeluruh, tanpa ada yang ditutup-tutupi dan tidak ada pemaksaan terselubung. PT. DPM harus menyediakan informasi yang menyeluruh terkait proyek pembangunan mereka. Jika tidak, maka tidak ada opsi lain: PT. DPM tidak boleh melanjutkan kegiatan pembangunannya!
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Design by Robby Fibrianto Sirait