Skip to content
Home » PT TPL Menunda Kesepakatan Penyelesaian Konflik dengan 5 Komunitas Masyarakat Adat

PT TPL Menunda Kesepakatan Penyelesaian Konflik dengan 5 Komunitas Masyarakat Adat

DSC00841

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat memfasilitasi perundingan antara  5 komunitas masyarakat adat dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Hotel Santika Dyandra Medan, Kamis (3/5).  Sebagaimana dijelaskan oleh Irmansyah Rachman, Direktur penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, pertemuan ini dalam rangka percepatan realisasi prioritas pemerintahan pusat tentang penyelesaian konflik kehutanan dan pengembalian hak-masyarakat adat atas wilayah adatnya yang berada di kawasan hutan.

 

Pertemuan dipimpin oleh Irmansyah Rachman selaku Direktur penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dari unsur masyarakat adat turut hadir 15 perwakilan pimpinan adat dari komunitas masyarakat adat Naga Hulambu dari kabupaten Simalungun, masyarakat adat Ama Raja Medang Simamora dari Humbang Hasundutan, masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria dari Kabupaten Humbang Hasundutan , masyarakat adat Oppu Bolus Simamora dari kabupaten Tapanuli Utara dan masyarakat adat Onan Harbangan dari kabupaten Tapanuli Utara. Selain itu turut hadir organisasi pendamping yakni Delima Silalahi yang merupakan direktur KSPPM dan Manambus Pasaribu sekretaris eksekutif BAKUMSU. Sementara itu, majemen PT. TPL yang hadir antara lain Mulia Nauli. Adapun unsur pemerintah yakni hadir Sondang Purba, mewakili kepala dinas kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Minrod Sigalingging mewakili kepala Dinas Lingkungan Hidup Humbang Hasundutan Oswald Damanik mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup Simalungun, Viktor Siagian mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Utara, M. Jandi Pinem mewakili kepala BPHP Wilayah II Medan.

 

Masyarakat adat sangat menyayangkan sikap pihak menejemen PT TPL yang menolak untuk menandatangani dokumen perjanjian hasil rumusan secara musyawarah dalam forum tersebut. Adapun alasan keberatan perusahaan tersebut antara lain terkait ketentuan pelarangan penanaman eukaliptus kembali di atas lahan objek konflik selama belum ada keputusan penetapan hutan adat sebagaimana disebutkan dalam bab 5 pasal 5 ayat 3 tentang penyelesaian penanganan konflik. Bentuk penolakan dengan dalih butuh konsultasi internal tersebut dinilai merupakan bentuk kurangnya itikad baik dalam menyelesaikan konflik yang sebenarnya telah menjadi prioritas pemerintah pusat tersebut.

 

Sementara itu, persoalan lain yang menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut adalah lambatnya realisasi pembuatan peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat oleh pemerintahan kabupaten. Padahal regulasi tersebut sangat dibutuhkan dalam memastikan pengembalian tanah adat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

 

5 komunitas masyarakat adat tersebut merupakan sebagian dari komunitas adat yang selama ini berkonflik dengan PT TPL dan kementerian kehutanan atas areal hutan yang secara sepihak ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Adapun total luasan wilayah adat yang menjadi objek konflik sekitar 6.131 Ha yang melibatkan 5 komunitas adat yakni masyarakat adat tersebut adalah Naga Hulambu seluas 399 ha, masyarakat adat Ama Raja Medang Simamora seluas 148 ha, masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria 1762 ha, masyarakat adat Oppu Bolus Simamora seluas 2602 ha, masyarakat adat Onan Harbangan seluas 1074 ha.

 

Medan, 3 Mei 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_GBEN