Terhadap Masyarakat Adat Natumingka Mangkir Dari Panggilan, Polda Sumut Harus Lebih Profesional Dan Imparsial Demi Pemenuhan Keadilan Korban

Ditreskrimum Kepolisian Daerah Sumatera Utara saat ini sedang melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana kekerasan terhadap masyarakat adat Natumingka yang dilaporkan tiga bulan yang lalu. Namun, terduga pelaku kekerasan mangkir atas panggilan Polda Sumatera Utara. Adapun pelapor adalah Johansen Simanjuntak, anak kandung dari Jusman Simanjuntak berusia 75 tahun. Sementara dalam laporannya ia melaporkan 3 (tiga) orang pegawai keamanan PT. TPL yang ia kenal, yakni Riko Tampubolon, Agus Duse Damanik dan Roy Kardo Nababan.
Peristiwa kekerasan terjadi pada 18 Mei 2021 menyebabkan belasan masyarakat adat Natumingka mengalami luka-luka akibat lemparan dan pukulan yang diduga dilakukan oleh pihak PT. TPL saat hendak melakukan penanaman paksa di atas tanah yang di klaim masyarakat adat Natumingka sebagai tanah adatnya. Jusman Simanjuntak atau yang disebut Op. Leonardo mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya sehingga dilakukan perawatan secara medis dan mengakibatkan Op. Leonardo terhalang melakukan aktifitasnya sebagaimana seperti biasanya. Hampir 8 (delapan) hari setelah peristiwa kekerasan yang dialami Op. Leonardo tak juga pulih dari sakitnya sehingga anaknya atas nama Johansen Simanjuntak mewakilkannya untuk membuat pengaduan ke SPKT Polda Sumut pada Jumat, 27 Mei 2021 dengan laporan Polisi nomor: LP/B/894/V/2021/SPKT/Polda Sumut bertanggal 27 Mei 2021. Sejauh ini, Ditreskrimum Polda Sumut yang menangani pengaduan tersebut telah melakukan serangkain tindakan penyelidikan, diantaranya melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap 4 (empat) orang saksi korban masyarakat adat Natumingka.
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Sumatera Utara (BAKUMSU) Roy Marsen Simarmata selaku advokat pendamping pelapor mengatakan bahwa seharusnya berdasarkan alat-alat bukti yang kami serahkan tersebut sudah sangat cukup untuk membuat terang tentang tindak pidana yang di lakukan oleh pihak PT. TPL dan dapat segera menetapkan serta menangkap tersangkanya sebagaimana yang dipertegas dalam dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 tentang penetapan tersangka.
“Cukup disayangkan, hampir 3 (tiga) bulan perkara ini berproses di Polda Sumut, kasus ini masih dalam tahap Penyelidikan artinya Ditreskrimum Polda Sumut masih mencari dan menemukan suatu peristiwa tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sebagaimana yag di atur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP. Sementara alat-alat bukti berdasarkan fakta-fakta Yuridis sudah kami serahkan ke Polda Sumut”, tegasnya.
Lambannya penanganan Polda Sumatera Utara atas kasus tersebut terkesan menunjukkan bahwa Masyarakat Adat kerap di diskriminasi dalam mencari keadilan padahal dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa hak memperoleh keadilan setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Sedangkan dalam menjalankan tugasnya Polda Sumut juga wajib menghormati Hak asasi Manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri (PP 2/2003) jo. Pasal 10 huruf a Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. Untuk itu kami berharap Polda Sumut mempercepat proses ini secara profesional dan imparsial.
Hal senada disampaikan oleh Samuel Purba Perwakilan aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak mengatakan Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Security PT .TPL Sektor Habinsaran terhadap Masyarakat Adat Huta Natumingka merupakan peristiwa kelam yang harus diusut sampai tuntas. “Kejadian ini juga mengingatkan kita akan seringnya terjadi peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh karyawan TPL terhadap masyarakat adat yang sedang mempertahankan keberadaan hak atas tanah ulayat mereka, namun para pelaku tindak pernah ditindak, seperti Bahara Sibuea Humas PT.TPL Sektor Aek Nauli yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Resor Simalungun pada tahun 2020 namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari penetapan tersebut” ungkapnya.
Untuk itu, pihaknya menaruh harapan kepada penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk bersikap profesional dalam menangani laporan dari Johansen Simanjuntak Masyarakat Adat Natumingka, karena ini menjadi salah satu momentum bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk mewujudkan transformasi Polri yang berkeadilan. “Untuk kedepannya kita menginginkan kepolisian untuk melihat secara utuh jika adanya laporan. Kita meminta kepada kepolisian untuk tidak menggunakan pasal-pasal pidana terhadap masyarakat adat yang sedang berupaya mempertahankan haknya, karena akar konflik akibat adanya kebijakan yang keliru dan tidak komprehensif, maka menjadi keharusan penyidik kepolisian memiliki kompetensi mengenai konflik tenurial ketika mendapatkan dan menindaklanjuti laporan dari pihak perusahaan”, pungkasnya.
BAKUMSU, AMAN TANO BATAK, ALIANSI GERAK TUTUP TPL