Sumatera Utara (Sumut) berada dalam situasi paradoks. Proses demokrasi (politik elektoral) memang bergulir dengan baik, namun dominasi kekuatan modal dan makelar dalam praktik birokrasi pemerintahan daerah juga masih belum bisa teratasi. Pembuatan dan pelaksanaan kebijakan daerah justru dikendalikan elit oligarkis yang mempunyai jaringan patronase dengan elit politik formal (gubernur, bupati/walikota).
Sumut juga sedang menghadapi krisis ekologi. Ini ditandai dengan eksploitasi SDA di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, energi masih menjadi penyumbang perampasan tanah dan degradasi lingkungan. Sumut dihadapkan pada tantangan baru yang tidak kalah ambsiusnya lagi yakni pemberlakuan Masteplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Kawasan Nasional Industri Pariwisata Danau Toba).
Ironis, di tengah gencarnya arus modal tersebut, aspek-aspek yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat justru terpinggirkan. Salah satunya tampak pada implementasi putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang sangat lambat. Proses pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum di level provinsi dan kabupaten lewat peraturan daerah (perda) sebagaimana diamanatkan oleh putusan tersebut belum terwujud hingga saat ini. Agenda nasional reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) juga belum direspon secara konkrit di daerah. Alhasil, respon pemerintah daerah yang lambat dan prosedur yang berbelit-belit berdampak pada terhambatnya realisasi RAPS, khususnya pengembalian hutan adat kepada 11 komunitas adat yang telah diusulkan penyelesaiannya kepada KLHK oleh BAKUMSU, KSPPM dan AMAN Tano Batak.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Sumut selalu diwarnai rangkaian kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya (human rights defenders) di areal perkebunan dan eks HGU perkebunan tanah maupun kawasan hutan. Sepanjang 2017 BAKUMSU mencatat korban kekerasan dan kriminalisasi sebanyak 114 orang sementara itu terdapat 24 kasus konflik tanah yang muncul ke permukaan dengan luas lahan mencapai ± 27.500 ha dan melibatkan ± 4.000 KK. Pola pendekatan birokrasi daerah yang menempatkan diri sebagai perpanjangan tangan negara sebagai penguasa absolut SDA dan praktek penegakan hukum yang masih cenderung menempatkan diri sebagai satuan pengamanan korporasi, menjadi penyumbang angka konflik agraria, kekerasan dan kriminalisasi.
BAKUMSU memandang bahwa pilkada serentak gubernur dan bupati/walikota di 8 daerah di Sumut merupakan momentum penting dalam rangka memastikan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan perbaikan tata kelola SDA dan penyelesaian konflik agaria. Sebagai sebuah organisasi yang fokus terhadap penguatan masyarakat sipil dan hak asasi manusia (HAM), BAKUMSU menyampaikan sikap sebagai berikut:
- Penyelenggaraan pilkada
- Menghimbau lembaga penyelenggara pilkada untuk profesional dan memberikan sosialiasi maksimal kepada pemilih terutama terkait visi misi dan rekam jejak para calon kepala daerah. Informasi yang disajikan secara objektif akan bersumbangsih pada pencerdasan politik rakyat yang memastikan lahirnya pemerintahan yang bersih.
- Menolak ijon politik yakni pemberian uang kepada konstituen dengan tujuan mendapatkan suara, maupun utang politik atas dukugan korporasi. Praktek ini terbukti menjadi sumber dari korupsi yang melibatkan kepala daerah.
- Menolak mobilisasi isu SARA sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik.
- Tata kelola sumber daya alam, penyelesaian konflik SDA dan tata kelola pemerintahan
- Calon kepala daerah supaya memprioritaskan penyelesaian konflik SDA dan lingkungan hidup dengan formulasi dan implementasi kebijakan daerah yang mengakui dan melindungi masyarakat dan hak komunal atas di kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Implematasi putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan realisasi agenda nasional reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) harus ditempatkan dalam kerangka penataan kembali relasi antara negara dan rakyat sebagai subjek.
- Calon kepala daerah supaya berkomitmen dalam pencegahan konflik SDA dan lingkungan hidup dengan memastikan politik perizinan yang berbasis HAM dan kelestarian lingkungan dan peninjauan kembali izin korporasi, khususnya yang mengelola SDA, yang tidak memiliki rekam jejak pelanggaran HAM dan pengrusakan lingkungan.
- Calon kepala daerah supaya memastikan pengelolaan kawasan strategis nasional khususnya kawasan industri pariwisata Danau Toba berbasis masyarakat adat dan lokal.
- Calon kepala daerah supaya memiliki komitmen politik terhadap realisasi tata kelola pemerintahan yang transparan, bebas dari korupsi. Selain itu, memastikan keterlibatan masyarakat sipil dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik.
Medan, 24 Maret 2018