Oleh : Karmel Simatupang
Keberhasilan pengembangan Geopark Kaldera Toba (GKT) adalah juru kunci menyongsong pariwisata Danau Toba mendunia. Demikian ditegaskan berulangkali oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya dalam beberapa kesempatan: agar pariwisata Danau Toba cepat berkelas internasional, ‘geopark supervolcano’ harus dikebut hingga menjadi anggota UNESCO Global Geopark (UGG). Dengan geopark global, Kawasan Destinasi Toba memiliki standar dan branding secara internasional.
Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kabupaten Toba Samosir (1/3/2016), sebenarnya telah mengisyaratkan pula keharusan Danau Toba punya branding internasional. Itu adalah keunikan sekaligus histori dahsyat terciptanya panorama Danau Toba. Oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, itu menyebutnya memiliki potensi besar jadi kawasan geopark termasyhur dunia, namun perlu pengelolaan profesional.
Branding atau pencitraan sangat terkait dengan persepsi. Ia kemudian menciptakan identitas (brand identity). Branding dalam era teknologi informasi dan strategi marketing pariwisata saat ini sangat efektif meningkatkan citra. Karenanya, branding Kawasan Danau Toba yang sangat kuat dan hanya satu-satunya, itu adalah “The supervolcano”, yang dikenal sebagai kaldera kuarter terbesar dunia, dan letusan paling dahsyat dalam sejarah planet ini. Branding supervolcano geopark, itu jadi semakin melekat, karena menawarkan nilai-nilai originalitas warisan alam geologi, hayati dan keunikan budaya masyarakat lokal sekitar Danau Toba.
Itu sebabnya, pengembangan kawasan geopark disebut juga sebagai model pembangunan berkelanjutan, karena meninggalkan pola pembangunan ekstraktif, sebaliknya mempromosikan pendekatan konservatif ketiga komponen; geo, bio dan kultur suatu daerah. Karena itu pula, konsep geopark akhirnya didukung penuh Unesco, dan setiap negara berlomba-lomba ingin menjadi bagian Jaringan Geopark Global tersebut.
Perjalanan GKT ke UGG
Setelah tertunda masuk anggota UGG September 2015 lalu, pihak UGG memberikan 5 rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Inti kelima rekomendasi itu adalah, perlunya program pendidikan terpadu di 4 geoarea GKT, perbaikan panel edukasi geosite agar mudah dipahami pengunjung, strategi promosi dan pemasaran tertulis, pengembangan strategi wisata budaya, serta kegiatan geopark harus terjadi di setiap geosite-geoarea GKT. Unesco kemudian memberikan waktu minimal 2 tahun untuk bisa mengusulkan kembali GKT menjadi bagian anggota UGG, dengan catatan telah memenuhi kelima rekomendasi tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia melalui Komite Nasional Indonesia untuk Unesco (KNIU) sudah mengirim kembali dokumen usulan (dossier) GKT ke UGG, 29 November 2017 yang lalu. Namun, sekali lagi, rekomendasi Unesco harus segera dituntaskan. Sebab kita harus mewaspadai, jika GKT pada akhirnya tidak diterima kembali karena belum matang sebagai bagian dari UGG. Di sisi lain, sebagaimana diuraikan di atas, GKT menjadi anggota UGG adalah sebuah pertarungan amat penting untuk akselerasi pengembangan destinasi pariwisata Toba berkelas internasional.
Pada titik inilah sinergitas, kolaborasi, kordinasi dan komitmen para pemangku kepentingan dituntut kembali. Pengembangan Kawasan GKT selama ini, harus diakui, memang terkesan cukup lamban. Salah satu yang mendasar adalah masih enggan nya Pemerintah Provinsi maupun Pemkab di Kawasan GKT memberikan dukungan anggaran konkrit. Tidak ada alokasi dana khusus dari Pemerintah untuk mengaktivasi geosite-geosite GKT maupun mempersiapkan masyarakat mengelolanya. Alhasil, pengaktifan kegiatan geopark di lapangan sangat sulit. Pun kepada Badan Pelaksana Geopark Kaldera Toba (BPGKT) sebagai institusi pengelola GKT yang dibentuk Pemprov Sumut melalui Pergub No. 34 Tahun 2015.
Padahal, institusi pengelola, adalah poin yang sangat penting dalam penilain Unesco. Sebagaimana konsepsi geopark itu sendiri adalah soal manajemen kawasan bernilai internasional, institusi pengelola mau tidak mau haruslah kuat, independen dan memiliki kemampuan dalam mengakses informasi termasuk finansial. Institusi yang kuat akan menjamin pengelolaan GKT dapat berkelanjutan dan berhasil. Selain itu, personilnya haruslah orang-orang yang visioner, punya kapabilitas dan motiviasi yang sangat kuat mengembangkan kawasan.
Seperti artikel saya yang pernah dimuat di salah satu Surat Kabar di Medan (11/7/2015), berjudul, ‘Menimbang Inisiatif Geopark Kaldera Toba’; harus diakui pula, bahwa perlunya lokalisasi geopark. Bukan hanya karena istilah geopark itu adalah berasal dari Eropa, konsep ini juga punya kendala tersendiri untuk dikembangkan pada negara berkembang, khususnya Indonesia dan lebih khusus lagi di Kawasan Danau Toba. Sebab, geopark sangat memerlukan insitiatif dari warganya, sementara masyarakat lokal Kawasan Danau Toba umumnya tidak terlalu mau ambil bagian, jika pemerintah tidak memberi supporting.
Kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat sekeliling Danau Toba masih dibawah garis kemiskinan. Kegiatan pariwisata, dalam hidup mereka belum menjadi kontribusi utama penopang ekonomi keluarga. Meski esensi geopark bukan hanya semata pariwisata, namun lebih kepada konservasi Kawasan Danau Toba yang sampai kini masih terancam dari aktivitas ekonomi cenderung merusak. Kawasan Danau Toba memerlukan konsep geopark, dengan semangat pemulihan dan pembangunan berkelanjutan.
Kembali ke penuntasan rekomendasi Unesco. Ada 2 hal yang paling pokok perlu segera dituntaskan, yakni penataan ke-16 geosite utama GKT dan penyiapan masyarakat lokalnya sebagai pelaku manajemen geopark terutama di sekitar geosite. Ke-16 geosite GKT ini terdiri atas situs-situs geologi, hayati dan budaya setempat yang tersebar di 7 Kabupaten Kawasan Danau Toba. Sedang program edukasi dan strategi marketing GKT saat ini sudah mulai berjalan.
Seiring dengan telah dikirimnya dossier GKT, komitmen para pihak terutama dari sisi Pemerintah Provsu dan Pemda 7 Kabupaten haruslah jelas dan konkret. Penilaian pihak Unesco dengan melakukan kunjungan lapangan ke GKT akan dilangsungkan antara Mei hingga Agustus 2018. Jadi, sebelum deadline tersebut, rekomendasi Unesco untuk GKT harus sudah tuntas di lapangan.
Kemudian, sebagaimana telah hadirnya institusi Badan Otorita Pengelola Pariwisata Danau Toba atau disingkat BODT, pengembangan GKT lebih jauh, sesungguhnya harus lebih cepat teratasi. Pasalnya, BODT yang dibentuk melalui Keppres No.49, Tahun 2016 ini, juga memiliki visi untuk menjadikan destinasi Toba supervolcano kelas dunia. Dengan kata lain, berhasil tidaknya GKT ini menjadi indikator utama BODT tersebut. Akhirnya, dukungan dan sinergitas penuh multipihak kepada pengembangan geopark menjadi lokomotif pariwisata Danau Toba mendunia.
Penulis adalah Pengurus BPGKT, Anggota Pendiri Perhimpunan Jendela Toba, dan Staf Pengajar di FE Universitas Methodist Indonesia (UMI-Medan).
*Tulisan ini telah dimuat pada SOERAK edisi 46