Lompat ke konten
Home » HENTIKAN PERAMPASAN WILAYAH ADAT DAN KRIMINALISASI TERHADAP (AKTIVIS) MASYARAKAT ADAT DI TAPANULI DAN SEGERA TERBITKAN PERATURAN DAERAH PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT BATAK DI KAWASAN DANAU TOBA

HENTIKAN PERAMPASAN WILAYAH ADAT DAN KRIMINALISASI TERHADAP (AKTIVIS) MASYARAKAT ADAT DI TAPANULI DAN SEGERA TERBITKAN PERATURAN DAERAH PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT BATAK DI KAWASAN DANAU TOBA

Agustus tahun ini, genaplah usia kemerdekaan NKRI 72 tahun.  Kemerdekaan yang bertujuan untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya masyarakat adat di seluruh nusantara. Namun sayang, dalam proses kemerdekaan yang sudah melewati tujuh decade ini, masyarakat adat di nusantara khususnya di Tapanuli dan Kawasan Danau Toba masih sering mengalami ketidakadilan dan penindasan.  Atas nama hukum negara, wilayah adat kami terus di rampas. Negara dengan sewenang-wenang mengklaim wilayah adat kami sebagai kawasan hutan Negara. Negara tanpa persetujuan dari masyarakat adat memberikan izin sewenang-wenang kepada para pemilik modal. Kami menjadi kelompok masyarakat  yang selalu terancam tergusur dari tanah kami sendiri.

 

Perjuangan kami bukanlah tindakan kriminal, kami berangkat dari konstitusi Negara ini, yang menjamin kehidupan semua warga Negara tanpa kecuali. Mahkamah konstitusi melalui putusan MK No.35/tahun 2012, telah menegaskan bahwa Hutan Adat Bukanlah Hutan Negara. Namun sayang, dalam proses perjuangan kami, penguasaha bersama dengan aparat kerap melakukan kriminalisasi terhadap kami.

Kami, masyarakat adat yang ada di Kawasan Danau Toba, mendukung Program Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK khususnya terkait pengakuan dan perlindungan hak masyaraka ada, yang akan diwujudnyatakan dalam bentuk Undang-Undang dan juga penyelesaian masalah-masalah tanah adat.

Kami juga mengapresiasi kebijakan pemerintah pusat yang telah mengeluarkan 5172 hektar tanah adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dari konsesi PT Toba Pulp Lestari di akhir Desember 2016 lalu. Namun kami melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pusat tersebut kurang direspon baik oleh pemerintah di daerah. Terbukti dengan keengganan pemerintah di kabupaten mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di daerah. 

 

Hari ini, Kamis, 8 Juni 2017, kami mendorong dan mendesak, antara lain:

1.       Agar Pemerintah Pusat segera menindaklanjuti proses pengembalian wilayah adat kami dari kawasan hutan Negara, sebagaimana diamanatkan konstitusi.

2.       Pemerintah Pusat segera menerbitkan Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat.

3.       Pemerintah Pusat menegaskan kepada pihak-pihak terkait segera menghentikan upaya-upaya intimidasi, pengusiran, dan ancaman kepada masyarakat adat di Kawasan Danau Toba dengan alasan berada di Kawasan Hutan.

4.       Pemerintah Daerah mendukung dan memfasilitasi masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan, Bukan malah sebaliknya melakukan intimidasi dan pelarangan melakukan kegiatan di wilayah adat masyarakat.

5.       Meminta Pihak Kepolisian menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang “Melayani, Melindungi, dan Mengayomi” dengan tidak hanya menjadi alat bagi perusahaan melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah adatnya.

6.       Pemerintah Pusat dan Daerah mencabut segala izin perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dan perampas tanah adat yang ada di Kawasan Danau Toba, seperti PT Toba Pulp Lestari, PT Aquafarm, PT Alegrindo, dll

7.       Pemerintah Daerah segera mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

8.       Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan pembangunan di kawasan Danau Toba yang bersinggungan dengan wilayah adat dan pengelolaan SDA yang terkait dengan kehidupan masyarakat adat, harus menerapkan prinsip Free, Prior and Inform Concent (FPIC).

Demikian pernyataan sikap ini kami buat.

Forum Masyarakat Adat Tano Batak

Serikat Tani Tobasa, Masyarakat Adat Pomparan Guru DatuSumalanggak Sitorus – Lumban sitorus, Masyarakat Adat SIbisa, Masyarakat Adat Ajibata, Horja Bius Hutagurgur, Gerakan Muda-Mudi Sirait Uruk, Masyarakat Adat Matio, Masyarakat Adat Tunggko Nisolu, Masyarakat Adat Sigapiton, Serikat Tani Tapanuli Utara, Masyarakat Adat Pomparan Op Bolus Simanjuntak, Pomparan Op Ronggur Simanjuntak, Masyarakat Adat Onan Harbangan Nagasaribu, Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria, Masyarakat Adat Pomparan Ama Raja Medang Simamora, Masyarakat Adat Ranggitgit, Masyarakat Adat Pardomuan Nauli, Masyarakat Adat Tor Nauli,  Masyarakat Adat Bius Hutaginjang, Masyarakat Adat Pomparan Op Bonggok, Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS), Masyarakat adat Golat Simbolon Lumban Juara, Masyarakat Adat Golat Naibaho Siagian, Masyarakat AdaT Pomparan Op Parlanggu Bosi Situmorang, Masyarakat Adat Bius Na 90 Na 40 Limbong, KSPPM, AMAN Tano Batak, Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu)-Medan, Petrasa-Sidikalang, Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih-Parongil, Perwati DPC Tobasa, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU), Hutan Rakyat Institute (HaRI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID