Lompat ke konten

Berita Narasi

Hidup Dalam Bayang-Bayang Kekerasan, Oppung Morris Ambarita: Kami Akan Rebut dan Pertahankan Tanah Sihaporas Sampai Mati

OLEH BERTON PAKPAHAN

“…..Kepada siapa izin diurus kalau itu adalah tanah milik kami”

Rumah Bolon yang digunakan oleh Masyarakat Adat Sihaporas untuk melakukan Ritual. Di spanduk tertulis ucapan selamat dan sukses atas Pesta Adat Patarias Debata Mulajadi Nabolon pada 08-10 Oktober 2022

Pagi menjelang siang Mangitua Ambarita atau lebih dikenal dengan sapaan Oppung Morris Ambarita (66 tahun) duduk di depan Rumah Bolon Sihaporas untuk berbincang-bincang seputar perjuangan Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas. Rumah tersebut berbentuk panggung dengan keseluruhan bahan kayu alam, tidak dicat dan hingga saat ini masih dijadikan sebagai tempat ritual adat masyarakat. Bangunan ini kontras berbeda dengan bangunan lain di sekelilingnya yang sudah mengikuti gaya bangunan modern yang semi permanen. Rumah ini sekaligus sebagai saksi perjuangan Sihaporas dalam menghadapi perampasan perusahaan sekaligus saksi panjang perjalanan dari dulu hingga sekarang.

Oppung Morris Ambarita merupakan salah satu tetua adat yang hingga hari ini aktif berjuang untuk pelepasan lahan dari izin konsesi sebuah perusahaan pulp terbesar bernama PT. TPL. Sihaporas merupakan Nagori yang terletak di Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sampai saat ini mereka terus menjaga hubungan dengan leluhur melalui ritual adat.

Menurut Opung Morris, ritual adat sudah menjadi kesepakatan dengan leluhur mereka sejak dulu. Ini cara agar mereka dapat selamat dari segala hal dalam kehidupan sehari-hari. Total ada 7 ritual adat, yaitu Patarias Debata Mulajadi Nabolon, Raga-raga Nabolak Parsilaonan, Ulaon Habonaron , Pangulu Balang Parorot, Manjuluk, Mombang Boru Sipitu Sundut dan  Manganjab. Tiap ritual dilakukan dalam waktu yang berbeda dan tujuan yang berbeda.

“Bagi kami melakukan ritual dan menghargai leluhur berarti keselamatan. Itu sama dengan kami melakukan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Jelas Opung Morris.

Kepercayaan Masyarakat Sihaporas akan hubungan dengan leluhur membuat mereka dekat dan melekat dengan tanah, hutan, dan tumbuhan.

 Misalnya saat hendak membuka ladang,  Masyarakat Adat Sihaporas harus permisi kepada Opung Huni Alam. Opung Huni Alam adalah penghuni alam sekitar yang tidak terlihat oleh mata yang harus dihormati. Tradisi meminta arahan huni alam supaya masyarakat memiliki sumber penghidupan dari tanah yang hendak dibuka jadi ladang.

Lahan yang telah dibuka juga tidak dapat serta merta ditanami. Sebelum ditanami Masyarakat Adat Sihaporas akan Manjuluk, meminta ke Boras Pati Ni Tano supaya tanah diberkati dengan baik dan subur. Setelah panen akan dilakukan Manganjab.

“Jika mau Manganjab, pantang bagi kami untuk pergi ke ladang selama 3 hari berturut-turut. Kami menyebut pantangan ini sebagai Robu Juma.” Ujar Oppung Morris.

Warga gotong-royong mengolah bumbu makanan khas Sihaporas untuk dikonsumsi bersama

Pantangan dilanjutkan dengan larangan pergi ke hutan selama 3 hari berikutnya, pantangan ini disebut sebagai Robu Harangan. Di hari ke 7 dilakukan Manangsang Robu atau melepaskan pantangan ke hutan.

Saat melepas pantangan ke hutan Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas akan berdoa dan berburu. Berburu bukan semata hanya untuk mendapatkan daging, namun ini merupakan lambang agar penyakit jauh dari tanaman dan manusia.

Upacara adat Sihaporas yang telah berlangsung sejak dulu itu terganggu sejak perusahaan kertas TPL merambah hutan. Upacara adat yang dilakukan di hutan seperti Manangsang Robu harus disesuaikan dengan hutan yang sedikit. Juga, bahan-bahan untuk melakukan upacara adat seperti rudang (tumbuhan) yang diambil dari hutan sudah langka atau punah.

“Rudang itu bagi kami ibarat garam. Saat memasak harus ada garam biar makanan sempurna dan menyatu rasa. Jadi dalam melaksanakan ritual, tidak akan lengkap tanpa rudang,” ujar Oppung Morris. Bagi Masyarakat Sihaporas tanah dan hutan merupakan bagian dari hidupnya. Itu sebabnya mereka menjaganya dengan hati-hati. “Karena kita punya adat untuk mengolah, tidak semena-mena dan sembarangan, alam harus dihargai dan Tuhan harus dimintai berkat.” Tambah Oppung Morris.

Oppung Morris menceritakan, Masyarakat Adat Sihaporas percaya mereka sampai di tempatnya saat ini karena leluhur mereka, Ompung Mamontang Laut Ambarita. Oppung Mamontang Laut tiba di Sihaporas pertama kali sejak tahun 1800-an atau sekitar 200 tahun silam.

Dia berasal dari Samosir dan menyeberangi Danau Toba menuju ke Sipolha tepatnya di Huta Panahatan, sekarang tempat itu sudah bekas kampung. Di tempat itu masih tersisa parit sekeliling kampung sekitar 5 meter sebagai bukti pernah terdapat pemukiman.

Setelah tinggal disana, dia menjelajah dan menemukan tanah belantara yang belum disentuh oleh manusia. Kemudian dia mencari masyarakat sekitar dan pergi ke Sipolha.

Di Sipolha Ompu Mamontang Laut Ambarita bertemu dengan Tuan Sipolha Marga Manik, Raja Siantar Marga Manik dan Raja Tanah Jawa Marga Sinaga. Mereka membuat perjanjian tentang batas wilayah; Batas Barat: Repa dengan batas di Jalan Lintas Tanjung Dolok Tiga Runggu (Pasar Japang), Batas Selatan: Nagori Dolok dengan batas di Aek Malas, Bombongan Begu (kolam), Silandeung, dan Gorat Sitonga, Batas Timur: Gunung Pariama dengan batas di Gereja HKBP, Gunung Pariama, Sihaporas Salasak. Nagasaribu dengan batas di Kobun Gadong dan Sileang Leang, Batas Utara: Bah Bangun dengan batas di Mata Aek Sidua Tulpang dan Aek Sanggar.

Seluruh wilayah yang ada di dalam batas itulah yang dianggap masyarakat Sihaporas sebagai wilayah adat Sihaporas.

 

Memasak Lomang di Buttu Pangaturan

TPL dan Tanah Adat

Wilayah adat Sihaporas merupakan salah satu desa di Simalungun yang di klaim PT. TPL dengan izin konsesi yang diperoleh tahun 1992 melalui KEPMENHUT No. SK.493/Kptsil/1992 jo. KEPMENLHK No.SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020.

Dengan izin konsesi itu TPL mengubah lahan Sihaporas seluas 1500 HA menjadi hutan produksi Eukaliptus. Perusahaan ini juga melarang masyarakat yang tinggal di sekitar wilayahnya melakukan kegiatan di tanah konsesi.

“Sebelum izin tersebut keluar kami bebas berladang dan mengambil kayu, setelah  masuk perusahaan melarang dengan alasan mereka telah mengantongi izin.” Terang Opung Morris.

Menurut Oppung Morris persoalan tanah di Sihaporas sudah terjadi sejak tahun 1913. Saat itu Belanda masih menjajah kemudian meminjam tanah Sihaporas dengan paksa. Tujuannya saat itu untuk menanam pinus dan berjanji mengembalikan tanah jika sudah panen.

Saat Indonesia merdeka tahun 1945 tanah tersebut tidak kembali. Seluruh kekayaan pemerintah Hindia Belanda diambil alih oleh Indonesia dan memasukkannya sebagai hutan negara tanpa ada pemberitahuan ke masyarakat.

“Padahal negara merdeka karena perjuangan masyarakat. Dari Sihaporas sendiri ada 4 orang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang berjuang merebut kemerdekaan–lain lagi yang berjuang tapi tidak mengurus sertifikatnya. Bapakku sendiri ada diantara 4 orang LVRI tersebut.” Terang Oppung Morris.

Menurut Oppung Morris pendahulu Sihaporas berjuang melawan Belanda agar tanah dapat kembali ke masyarakat. Logikanya jika sudah merdeka tentu tanah akan kembali, tapi kenyataannya tanah diambil negara kemudian diberikan menjadi konsesi TPL.

Melihat kejadian tersebut warga kecewa dan berinisiatif menuntut pengembalian tanah dari negara dengan cara mengorganisir diri dengan nama Palito Malam kemudian berganti nama menjadi Lamtoras Sihaporas (Lembaga Adat Keturunan Opung Mamontang Laut Ambarita Sihaporas)

“Akhir tahun 1998, kami menuntut pemerintah melalui surat-suratan dan aksi tapi tidak ada respon.” Terang Oppung Morris.

Dia mengatakan tahun 2000 DPRD Simalungun melakukan survey, warga Sihaporas menunjukkan peninggalan sejarah, bekas kuburan, kolam, bambu, disaksikan oleh BPN, utusan TPL dan utusan Bupati. Setelah itu DPRD Simalungun menyimpulkan tanah itu milik Sihaporas sejak dulu dan mengeluarkan surat rekomendasi pelepasan lahan.

“Rekomendasi tersebut kami bawa ke Bupati Simalungun John Hugo Silalahi. Tapi muncul pernyataan dari  John Hugo Silalahi mengatakan 150 HA saja tanah itu untuk masyarakat Sihaporas. Selebihnya akan menjadi kawasan konsesi perusahaan.” Terang Oppung Morris.

Oppung Morris mengatakan Masyarakat Adat Lamtoras tidak mau. Bagi mereka tanah yang harus dikembalikan adalah 1500 HA bukan 150 HA, karena itu terlalu sedikit. Sihaporas  meyakini warga akan semakin berkembang, banyak yang merantau karena tidak ada tanah sehingga mengembalikan tanah secara utuh adalah jalan keluar.

Bupati John Hugo Silalahi menjawab supaya Sihaporas mengurus sendiri tanah itu ke pusat karena yang menjadikannya sebagai kawasan hutan negara bukan kabupaten melainkan negara. Kabupaten tidak memiliki wewenang memutuskannya.

6 September 2004 Oppung Morris di kriminalisasi oleh polisi dan divonis 1 tahun penuh. Alasannya menduduki lahan tanpa izin. “Bagaimana mau mengurus izin dan kepada siapa diurus kalau itu adalah tanah milik kami.” Terang Oppung Morris.

22 April 2018 warga Sihaporas bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meminta tanah ini kembali. Menteri mengarahkan untuk mendaftar Sihaporas ke Badan Registrasi Wilayah Adat. Hasilnya, saat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 8 Agustus 2019 warga diundang ke Jakarta dan disitu sertifikat adat dari BRWA diserahkan dengan nomor surat keputusan 0113/12/VIII/BRWA-F036.

Setelah sertifikat itu terbit, warga menemui kembali Menteri LHK dengan harapan tanah sudah bebas dikelola. Namun mendapat jawaban yang mengecewakan dan menunjukkan hasil yang sama bahwa izin konsesi harus dicabut dulu dari kampung itu. Sampai detik ini pencabutan izin itu pun belum terealisasikan.

16 September 2019 Thomson Ambarita (43) dan Mario Ambarita (3) dikriminalisasi dan mengalami pemukulan dari Bahara Sibuea. Kemudian 24 September 2019 Thomson dan Jonni Ambarita ditangkap saat hendak bersaksi di Polres Simalungun atas pemukulan tersebut. Kemudian mereka berdua divonis dengan  tuduhan mengelola lahan tanpa izin.

18 Juli 2022 polisi mengepung masyarakat saat berjaga di posko Buttu Pangaturan. Rombongan polisi itu merupakan rombongan Polsek Pematang Sidamanik membawa sekitar 50 orang personel dan 2 mobil kerangkeng dengan dalih pengamanan. Rombongan dipimpin Kapolsek Pematang Sidamanik, AKP Eli Nababan. Tak lama setelah kedatangan Kapolsek beserta rombongannya, menyusul lagi aparat kepolisian sebanyak 22 mobil sekitar pukul 19.00 WIB. Pengepungan ini berujung bentrok masyarakat dengan aparat berjumlah sekitar 400 personel.

Saat itu warga menguasai lokasi Buttu Pangaturan dengan cara mendirikan posko perlawanan, memortal jalan, melakukan penebangan eukaliptus dan mengganti dengan tanaman-tanaman pertanian sebagai cara dan syarat untuk menarik kembali tanah yang di klaim perusahaan.

Menguasai tanah itu merupakan akibat dari kemarahan atas penghinaan dari pekerja TPL bernama Samuel Sinaga. Di pertengahan April 2022 seorang warga Sihaporas hendak mengantar bibit ke lokasi posko 1 (beberapa ratus meter di belakang Buttu Pangaturan). Dia dicegat dan dihina oleh Samuel Sinaga dengan mengatakan bahwa tanah itu bukan tanah leluhur Warga Sihaporas.

Perkataan itu sangat menciderai harga diri Masyarakat Adat Sihaporas sebagai pemilik sah tanah. Mereka kemudian merebut kembali dan memortal jalan ke areal konsesi dan pembibitan TPL.

Oppung Morris menerangkan meskipun diteror dengan menghadirkan ratusan aparat dengan peralatan lengkap tapi mereka tetap kukuh menolak dan meminta aparat dan TPL meninggalkan lokasi. Alasannya karena TPL sudah terlalu lama menikmati, berkuasa dan menjajah diatas tanah Sihaporas.

Akhirnya aparat memotong portal dengan paksa dan mengarahkan gergaji mesin ke salah satu perempuan adat. Masyarakat marah melihatnya dan melempari pihak lawan sehingga terjadi bentrok. Oppung Morris mengatakan saat kejadian mendapat telepon dari kawan-kawan meminta untuk merapat ke lokasi konflik.

“Saat itu di telepon kawan meminta kami untuk segera merapat ke lokasi dan mengatakan sudah menghancurkan 2 mobil polisi. Saya terkejut mendengarnya tapi apa boleh buat, apapun yang terjadi kami sudah siap. Dipenjara lagi sudah siap karena itu merupakan risiko yang harus dihadapi. Rentetan kejadian dari penghinaan, teror dan kriminalisasi dari perusahaan hingga aparat negara sudah biasa kami alami.” Ujarnya sambil menghela nafas.

 

Plang perusahaan yang memberitahukan lokasi sebagai wilayah konsesi perusahaan di lahan masyarakat Sihaporas

Sihaporas Sebagai sebuah Entitas: Konflik dan Situasi Kini

Bila jeli membaca kasus Sihaporas, penderitaan yang disebabkan oleh TPL ini sudah tidak terhitung, selain kriminalisasi, perampasan lahan dan penghilangan hutan sebagai sumber ritual diatas, faktanya Sihaporas mengalami penolakan dari sekelompok masyarakat dan Pemerintah kabupaten. Penolakan-penolakan ini beredar luas di masyarakat, media massa hingga konfrontasi langsung dilapangan.

Seperti Parhuna Maujana Simalungun (PMS) melalui Sarmedi Purba (Mistar.id, 08/08/2022) mengklaim tanah di Simalungun tidak mengenal konsep masyarakat adat. Mereka menolak keberadaan Lamtoras Sihaporas sebagai entitas adat. Bagi PMS, tanah di Simalungun merupakan milik kerajaan, otomatis setelah Indonesia merdeka tanah berubah kepemilikan menjadi tanah negara.

Kedua, pada 19 Januari 2023 kelompok masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Sipolha Sihaporas melakukan aksi di lokasi pembibitan perusahaan dengan menuduh kelompok Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas sebagai begal sejarah dan menuduh tidak ada masyarakat adat di Sihaporas. Mereka juga menyampaikan supaya Lamtoras keluar dari tanah Sihaporas.

Menurut keterangan salah satu anggota komunitas Lamtoras, Jonny Ambarita, kelompok tersebut mengklaim wilayah adat yang saat ini dikuasai Lamtoras Sihaporas sebagai milik kelompok Aliansi Sipolha-Sihaporas, bukan milik masyarakat adat Lamtoras Sihaporas.

Kemudian Pemkab Simalungun tidak memiliki kemauan politik untuk membuat dan mengesahkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat. Pemkab terkesan tutup mata dan abai melihat keberadaan masyarakat adat di Simalungun.

Menurut salah satu Staf Studi dan Kampanye Bakumsu, Prihartini Simbolon, mengatakan selama Sihaporas tidak diakui dan permintaan pengembalian tanah  tidak diakomodasi sebagai wilayah adat maka penolakan dari sekelompok masyarakat dan kriminalisasi dari perusahaan akan semakin masif.

 

Lahan padi di Buttu Pangaturan tempat konflik pernah terjadi. Lahan ini dikelola secara kolektif oleh masyarakat.

Janji dan Harapan Jika Tanah Kembali

“TPL telah meluluhlantakkan semua sejak pertama kali hadir, oleh sebab itu kami berniat merebut dan mengembalikan wilayah seperti semula.” Tegas Oppung Morris.

 Masyarakat Adat Sihaporas bercita-cita jika perjuangan membuahkan hasil maka setengah dari tanah yang diperjuangkan harus dikembalikan menjadi hutan. Bagi mereka Hutan memiliki banyak arti disamping sebagai sumber kebutuhan ritual, juga supaya hewan-hewan memiliki sumber makanan alami dan tidak mengganggu tanaman masyarakat.

“Itu alasan kami untuk rebut dan pertahankan tanah Sihaporas sampai mati. Begitu juga bila tidak kembali sepanjang hidupku, saya sudah tidak takut sebab generasi sudah siap melanjutkan estafet perlawanan ini.” Imbuhnya sambil menghela nafas.

Percakapan itu berakhir dengan tatap matanya yang tajam memandang langit. Kemudian dia menyapa anak-anak yang berkeliaran di halaman Rumah Bolon lalu bergegas pamit meninggalkan halaman rumah.

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID