JAMSU Dorong Pengawasan Ketat UU Desa Terbaru dalam Audiensi dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) RI

Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menyampaikan kritik mendalam terhadap implementasi UU No. 3 Tahun 2024 tentang Desa dalam audiensi bersama Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) RI, yang berlangsung pada Selasa, 21 Mei 2025. Pertemuan berlangsung pukul 10.00 WIB dengan Direktur Advokasi dan Kerjasama, Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan (Ditjen PDP) Kemendes PDT RI, Dr. Dwi Rudi H. S.Sos, M.Si.
Dalam pertemuan tersebut, JAMSU menyerahkan policy brief yang berisi analisis kritis atas sejumlah pasal dalam revisi UU Desa. JAMSU merupakan koalisi dari enam organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam pendampingan masyarakat desa di Sumatera Utara, yakni Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Yayasan Bina Keterampilan Desa (Bitra Indonesia), Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Yayasan Ate Keleng (YAK), Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (PETRASA), dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK). Selama lebih dari tiga dekade, keenam lembaga ini telah berkonsentrasi pada isu isu desa, mulai dari kebijakan, demokrasi, ekonomi, tata kelola, hingga pembangunan infrastruktur berbasis keadilan sosial.
Keterangan ini disampaikan oleh Juniaty Aritonang, Sekretaris Eksekutif BAKUMSU, yang mewakili JAMSU dalam audiensi tersebut. Ia menegaskan bahwa arah kebijakan yang tertuang dalam revisi UU Desa menimbulkan keresahan nyata di tingkat akar rumput, terutama terkait potensi ketimpangan dan konflik sosial di desa. “Pengaturan dana konservasi dan rehabilitasi dalam UU ini sangat problematik karena tidak dibarengi dengan kerangka pengawasan yang jelas. Di Sumatera Utara, banyak desa berada di wilayah konflik agraria dan kawasan hutan,” ujar Juniaty. Ia menambahkan bahwa tanpa kejelasan mekanisme dan perlindungan hak, dana tersebut justru dapat menjadi alat legitimasi penguasaan wilayah oleh pihak luar serta memperbesar risiko kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya.
JAMSU menyoroti bahwa revisi UU Desa ini juga memperbesar kewenangan kepala desa tanpa penguatan akuntabilitas. Perpanjangan masa jabatan menjadi delapan tahun dan kemungkinan adanya calon tunggal tanpa pemilihan dinilai dapat melemahkan demokrasi lokal. Hal ini berpotensi membuka ruang bagi praktik kekuasaan yang tidak terkendali di tingkat desa, apalagi jika tidak dibarengi dengan pengawasan efektif dari masyarakat dan lembaga negara.
Lebih jauh, JAMSU mengungkapkan bahwa hingga tahun 2024, sedikitnya terdapat enam kasus korupsi dana desa di Sumatera Utara yang melibatkan kepala desa. Dalam konteks desa-desa yang berada di tengah konflik agraria, seperti di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Toba, Samosir, Deli Serdang, Karo, dan Dairi, kebijakan ini justru berpotensi memperumit keadaan. JAMSU juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap desa adat yang sampai saat ini belum mendapat legitimasi dalam regulasi daerah, yang berdampak pada eksklusi masyarakat adat dari skema pembangunan dan konservasi desa.
JAMSU juga menyampaikan kekhawatiran atas keberadaan program Koperasi Merah Putih yang didorong pemerintah pusat. Di desa-desa dampingan anggota JAMSU, telah lama berkembang koperasi berbasis komunitas seperti Credit Union (CU) yang tumbuh dari partisipasi warga. Sebagaimana disampaikan Lesma Peranginangin dari YAK organisasi yang sudah puluhan tahun mendampingi masyarakat pedesaan juga menyoroti program pemerintahan Koperasi Merah Putih. Menurutnya jika program Koperasi Merah Putih dijalankan secara terpusat dan top-down, tanpa menghormati inisiatif ekonomi lokal yang telah eksis dan berhasil, maka akan menimbulkan konflik kelembagaan di tingkat desa dan mematikan semangat ekonomi rakyat yang mandiri dan berbasis solidaritas.
Menanggapi berbagai masukan tersebut, Ditjen PDP menyampaikan terkait Revisi UU Desa terburu-buru pengesahannya sarat dengan unsur politik. Dikatakan unsur politis dalam revisi UU Desa adalah hal yang wajar karena kondisi politik nasional yang sedang meningkat. dinamika serupa pada era Presiden SBY juga terjadi, di mana unsur politik turut memengaruhi proses legislasi.
Terkait soal masa jabatan Kepala Desa menjadi 8 tahun satu periode menurutnya bukan hal baru, dan disebut sebagai bentuk variasi sesuai kondisi lokal. Dengan dua periode, Kepala Desa bisa menjabat hingga 16 tahun. Soal korupsi dana desa, Rudy menyatakan bahwa korupsi dana desa terjadi karena pendanaan yang semakin besar, dan Kepala Desa adalah manusia yang bisa saja tergoda. Dulu, menurut mereka, Kepala Desa tidak korupsi karena anggaran yang kecil.
Kemudian ia merespon mengenai dana konservasi, dengan mengatakan bahwa dana konservasi muncul sebagai respons terhadap desa-desa dalam kawasan konservasi yang tidak dapat menggunakan dana desa untuk pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu, diberikan kompensasi terbatas kepada desa-desa tertentu.
Terakhir terkait Koperasi Merah Putih dan konflik dengan Credit Union (CU), Rudy menyampaikan Program Koperasi Merah Putih disebut sebagai inisiatif Presiden Prabowo. Jika ada CU, dapat bergabung dan menjadi bagian dari holding usaha desa. “Ini adalah bagian dari konsolidasi ekonomi desa. Pilihannya,” , adalah “bergabung atau bersaing”. Mengingat sudah ada 17.000 BUMDes berbadan hukum, dan menurut Presiden Prabowo harus digabungkan agar usaha desa semakin besar” Ujarnya .
Dalam audiensi tersebut JAMSU menyampaikan tuntutan berikut:
1. Menolak justifikasi politik dalam revisi UU Desa karena normalisasi unsur politik sebagai pembenar revisi UU Desa hanya memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap demokrasi desa yang murni dan partisipatif;
2. Mendorong dialog lebih terbuka terkait arah kebijakan UU Desa terbaru, khususnya dalam hal masa jabatan Kepala Desa, sistem calon tunggal, dan distribusi kewenangan. JAMSU berharap agar ada evaluasi dari Pemerintah untuk memastikan bahwa semangat demokrasi dan akuntabilitas tetap terjaga;
3. Kemendes PDT RI harus memperkuat mekanisme pengawasan dan transparansi dana desa, melalui pelibatan aktif masyarakat, akademisi, dan tokoh lokal dalam pemantauan implementasi dana Desa serta pemberdayaan kapasitas kelembagaan desa;
4. Mendesak pelibatan penuh masyarakat sipil dan komunitas terdampak dalam proses penyusunan peraturan turunan dari Pasal 5A terkait dana konservasi, serta menjamin bahwa prinsip keadilan ekologis, pengakuan wilayah adat, dan mekanisme pengawasan berbasis komunitas dijadikan bagian integral dalam regulasi pelaksanaannya;
5. Memastikan penguatan peran BPD melalui pelatihan, pengawasan independen, dan insentif yang adil, sehingga relasi antara Kepala Desa dan BPD dapat berjalan sinergis, bukan konfrontatif;
6. Mendorong integrasi koperasi rakyat dalam program Koperasi Merah Putih secara sukarela dan dialogis. Serta menekankan pentingnya penghormatan terhadap inisiatif ekonomi warga yang telah tumbuh mandiri. Program pemerintah seharusnya memperkuat bukan menggantikan struktur koperasi yang sudah ada.
Melalui audiensi ini, JAMSU menegaskan pentingnya membangun kebijakan desa yang berpihak pada rakyat, berbasis keadilan sosial, dan menjunjung tinggi demokrasi partisipatif. JAMSU berharap pemerintah membuka ruang kolaboratif dengan masyarakat sipil dalam proses implementasi UU Desa terbaru, demi memastikan desa tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi subjek pembangunan yang berdaulat dan mandiri.
Silahkan akses dokumen policy brief, melalui tautan berikut: https://bit.ly/4jsQYYY
Contact person :
TommySinambela (082385278480