Siaran Pers
JAMSU Minta Perkuat Pengawasan dan Tata Kelola yang Ketat Terhadap Implementasi UU Desa Terbaru kepada Kemendagri

Medan, 22 September 2025 — Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menyampaikan kritik mendalam terhadap Revisi UU Desa yaitu UU No. 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam audiensi yang diterima oleh Ditjen Bina Pemdes Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri), yang berlangsung pada Jum’at, 19 September 2025. Pertemuan ini berlangsung secara daring dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Pemdes) Kemendagri, Murtono, S. STP., M.Si, didampingi oleh Kepala Bagian (Kabag) Perancang Peraturan Perundang-undangan (PUU), Indah Ariyani, S.H., M.P, serta jajaran lainnya.
Dalam pertemuan tersebut, JAMSU menyampaikan policy brief yang telah disampaikan pada bulan Juli 2025 lalu yang berisi analisis kritis atas sejumlah pasal dalam revisi UU Desa. JAMSU merupakan koalisi dari enam organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam pendampingan masyarakat desa di Sumatera Utara, yakni Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Yayasan Bina Keterampilan Desa (Bitra Indonesia), Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Yayasan Ate Keleng (YAK), Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (PETRASA), dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK). Selama lebih dari tiga dekade, keenam lembaga ini telah berkonsentrasi pada isu-isu desa, mulai dari kebijakan, demokrasi, ekonomi, tata kelola, hingga pembangunan infrastruktur berbasis keadilan sosial.
Keterangan ini disampaikan oleh BAKUMSU sebagai perwakilan JAMSU melalui Fatilda Hasibuan selaku Koordinator Studi & Advokasi. Ia menegaskan bahwa UU Desa terbaru justru berpotensi melemahkan demokrasi desa, membuka ruang penyalahgunaan dana desa, serta mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat.
Dalam pemaparannya, JAMSU menyampaikan sejumlah poin krusial yang dikritisi sebagaimana dalam policy brief[1], diantaranya:
- Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun (3 periode) menjadi 8 tahun (2 periode), yang dinilai terlalu lama perperiodiknya dan berpotensi mengurangi mekanisme kontrol masyarakat terhadap Kepala Desa;
- Skema Alokasi Dana Desa yang berubah menjadi minimal 10% dari DAU dan DBH tanpa penguatan tata kelola, berpotensi memperparah praktik korupsi di desa. Tahun 2023 saja, terdapat 28 kasus korupsi dana desa di Sumatera Utara;
- Ketentuan peralihan masa jabatan yang inkonsisten dan berpotensi melanggar asas non-retroaktif, memungkinkan kepala desa menjabat lebih panjang dari seharusnya;
- Penetapan calon tunggal Kepala Desa tanpa proses pemilihan langsung, yang mencederai prinsip demokrasi desa. JAMSU menilai seharusnya mekanisme kotak kosong diterapkan, sebagaimana dalam pemilihan Presiden atau Kepala Daerah;
- Klausul “sesuai peraturan perundang-undangan” yang terlalu umum, membuka ruang subjektivitas aparat penegak hukum, serta membatasi inisiatif desa dalam menyelesaikan konflik lokal;
- Dana konservasi dan rehabilitasi berpotensi menjadi instrumen negara maupun korporasi untuk mengambil alih lahan atau hutan adat atas nama korporasi, dan belum ada aturan teknis yang jelas soal mekanisme pengelolaan dananya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Ditjen Bina Pemdes Kemendagri dan juga Kabag Perundang-undangan menyampaikan bahwa revisi UU Desa ini merupakan inisiatif DPR RI, bukan semata kehendak Pemerintah. Menurut mereka, perpanjangan masa jabatan Kepala Desa hingga delapan tahun dilakukan untuk menjaga stabilitas politik di desa yang dinilai membutuhkan waktu lebih panjang untuk meredakan ketegangan. Pasal 118 yang dipersoalkan JAMSU disebut sebagai mekanisme transisi agar Kepala Desa yang sudah menjabat tetap memiliki kepastian hukum terkait periodisasi.
Soal dana desa, Ditjen Bina Pemdes Kemendagri menekankan bahwa mekanismenya melibatkan tiga kementerian. Penganggaran berada di bawah Kementerian Keuangan RI, pemanfaatan dikelola Kementerian Desa PDT, sementara penatausahaan APBDes menjadi ranah Kemendagri. Oleh karena itu, Kemendagri menilai penting adanya koordinasi lintas kementerian untuk memperkuat tata kelola.
Terkait dana konservasi dan rehabilitasi, Ditjen Bina Pemdes Kemendagri menegaskan bahwa hal ini lahir dari dorongan Komisi II DPR RI untuk melindungi masyarakat desa yang tinggal di kawasan hutan. Pemerintah berharap desa juga dapat menyisihkan sebagian APBDes untuk konservasi, karena dana tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar kawasan hutan. Namun diakui, mekanisme teknis pengelolaan dana ini masih dalam tahap harmonisasi dengan Kementerian Kehutanan RI, sehingga sinkronisasi antar kementerian membutuhkan waktu.
Ditjen Bina Pemdes Kemendagri juga menyinggung soal desa adat yang hingga kini baru dikodifikasi di Papua. Pihaknya menyatakan bahwa upaya kodifikasi desa adat akan terus didorong di wilayah lain termasuk Sumatera Utara agar pengakuan masyarakat adat bisa lebih kuat. Sementara terkait calon tunggal Kepala Desa, Pemerintah berjanji akan menindaklanjuti isu tersebut dalam aturan pelaksana sehingga tetap menjamin prinsip demokrasi di tingkat desa.
Dalam audiensi ini, JAMSU kembali menegaskan rekomendasinya agar pemerintah memperkuat pengawasan dan tata kelola dana desa, menyempurnakan aturan masa jabatan dan mekanisme pemilihan kepala desa dengan partisipasi rakyat yang lebih luas, serta memastikan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat khususnya dalam penetapan kawasan hutan. Atas hal ini, Sekretaris Ditjen Pemdes Kemendagri berkomitmen akan memfasilitasi dengan Kemenhut RI terkait kawasan hutan, dan akan menyaring kembali hal-hal yang menjadi masukan oleh JAMSU sebagai perspektif dari partisipasi masyarakat.
Silahkan akses dokumen policy brief, melalui tautan berikut: https://bit.ly/4jsQYYY
Contact person :
Tommy Sinambela (082385278480)
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Desain oleh : Robby Fibrianto Sirait