Janji Politik Minus Kepentingan Rakyat

Satu tahun terakhir berita dipenuhi oleh berita pemilu untuk pergantian presiden/wakil presiden dan juga anggota DPR dari pusat hingga daerah periode 2024-2029. Hari H telah ditentukan oleh Komisi pemilihan umum (KPU) yaitu pada 14 Februari 2024. Satu isu yang paling banyak mendapat perhatian menuju pemilu tentu adalah pergantian presiden periode 2024-2029. Menuju hari H, orang-orang sibuk menebak siapa yang akan naik dan menang, partai sibuk menentukan koalisi, tokoh-tokoh sibuk melakukan konsolidasi dan menentukan sikap memihak ke siapa.
Media-media banyak memberitakan perihal pemilu calon presiden-wakil presiden. Kepada Masyarakat dipertontonkan dagelan politik yang tidak mencerdaskan berupa pertarungan dan tarik menarik serta perubahan koalisi, adanya penghianatan dalam koalisi, tinggi rendahnya hasil survey bagi para calon, percobaan-percobaan gonta-ganti pasangan calon melalui survey, adanya perubahan batas usia calon presiden/wakil presiden di mahkamah konstitusi yang belakangan diduga sarat kepentingan kelompok tertentu–akibat dari keputusan ini ketua MK yang memutus perubahan batas usia calon dipecat dan dinilai melanggar kode etik–serta tarik-menarik tokoh dan pengusaha untuk menjadi bagian dari pemenangan dan penggalangan suara.
Dagelan ini berlanjut pada deklarasi dan pendaftaran di KPU dilakukan oleh para calon. Nampaknya setelah resmi mendaftar, pemberitaan menunjukkan ambisi pasangan calon dan elit pendukung bagaimana memenangkan pemilu. Mereka sibuk pamer kelebihan calon yang didukung dan menjatuhkan calon lain melalui kekurangannya. Ambisi mereka dapat dilihat melalui debat paslon dan debat tim pendukung dalam kanal-kanal televisi, podcast, youtube dan media sosial lainnya. Pendaftaran para calon membuka mata kita pada fakta masyarakat diarahkan untuk menerima tontonan ini sebagai fakta politik yang mesti diikuti. Masyarakat hanya menonton dan dibimbing seperti penggembala membimbing bebek masuk ke dalam kandang.
Kondisi ini telah menghilangkan harapan rakyat untuk mendapat keadilan karena para calon dan timnya hanya fokus pada bagaimana memenangkan pemilu, bukan fokus pada isu-isu di lapangan yang sering menyebabkan penderitaan bagi rakyat karena Pembangunan. Dalam pembicaraan di media mereka mengabaikan bagaimana Masyarakat Adat dan Petani sering kehilangan tanahnya karena konsesi, dan klaim-klaim negara atas wilayah adat dan desa dan pembangunan nasional yang arogan memaksa masyarakat kehilangan tanahnya, mereka juga hanya menggunakan isu agraria, desa dan ekologi (lingkungan) dalam visi-misi dan rencana program pada sebatas istilah tanpa menunjukkan definisi dan keberpihakan yang utuh kepada subjek rentan ini. Sejauh ini, melalui data yang berseliweran di media-media kritis menunjukkan bahwa ruang hidup kelompok-kelompok ini selalu dikeruk dari tahun ke tahun namun tidak mendapatkan apapun dari proyek/pembangunan tersebut. Begitu juga prediksinya bawa ruang-ruang hidup yang dipenuhi sumber daya akan dikeruk oleh siapapun di masa depan dengan persetujuan dari presiden–dan jajarannya dalam pemerintahan–yang memenangkan pemilu.
Secara mengejutkan, dalam visi-misi dan rencana program capres-cawapres bila jeli membacanya memang sangat populis dan sangat dekat dengan rakyat, dan bisa menyihir pembacanya. Mereka menggunakan isu yang sering disuarakan oleh kelompok-kelompok aktivis seperti reforma agraria, petani, Masyarakat adat, ekologi, dan desa. Namun tidak ada poin yang menjelaskan bahwa Pembangunan kedepannya akan konsen atas persetujuan setiap warga di lokasi proyek dilakukan, perspektif lingkungan masih hanya jualan semata karena dukungan pada pertanian yang mereka tunjukkan misalnya masih mengarah pada industri pertanian kapitalistik, mengesampingkan sistem pertanian tradisional dengan tidak ada satupun calon yang membicarakannya, tidak ada poin akan membuat regulasi nasional yang memihak masyarakat adat, lingkungan, petani, masyarakat sekitar tambang dan pedesaan (baik desa kebun, desa hutan dan desa tambang). Padahal kelompok ini merupakan pemilik sumber daya dan paling rentan terhadap kekerasan yang disebabkan oleh ulah pengusaha dan pemerintah. Desa dan masyarakat adat sebagai entitas paling sering diobok-obok supra desa pun dipandang sebagai bagian dari negara yang mesti ikut rencana Pembangunan dari atas (top down). Dengan demikian mereka menjadi objek yang akan kehilangan ruang hidupnya tanpa ada keterlibatan penuh untuk mengelola sumber-sumber kekayaan yang mereka miliki.
Nampaknya visi-misi para calon yang cenderung berpihak (pura-pura berpihak) memang digunakan sebagai alat menggalang suara dari rakyat. Sumber daya yang dimiliki masyarakat secara tidak langsung telah dimasukkan sebagai objek visi misi yang akan di keruk kedepan dan dengan terpaksa disetujui melalui pemilu yang akan diikuti. Pendapat ini bukan tanpa alasan, karena faktanya para calon yang diusung oleh partai politik memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok elit kaya dan pengusaha besar pemegang konsesi yang luas. Kemudian tim-tim yang masuk dalam pemenangan para calon adalah para pengusaha, purnawirawan yang memiliki pengaruh, politikus pengusaha, politikus yang memiliki kedekatan dengan pengusaha dan juga tokoh-tokoh non partai yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan agama.
Kelompok-kelompok ini biasanya setelah berhasil memenangkan calonnya akan mendapat jatah jabatan ataupun proyek pembangunan kedepannya sebagai pemegang tender, buat yang kalah pemilu tetap akan menang karena bisa berkoalisi kembali dengan pemenang pemilu. Dengan demikian, Bisakah janji-janji surga melalui visi misi capres-cawapres direalisasikan mengingat tokoh-tokoh di belakang para calon adalah musuh utama dari subjek yang suaranya hendak digalang tersebut? Lantas masih perlukah ikut menjadi bagian dari demokrasi dan pemilu yang palsu ini? Apakah dalam pemilu kali ini rakyat masih akan tetap kalah?
Jawabnya ada di sanubari para pembaca.
BAKUMSU
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,
Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156
Desain oleh : Robby Fibrianto Sirait