Lompat ke konten
Home » Keluarkan Seluruh Tanah Adat Dari Konsesi TPL Dan Hentikan Segala Bentuk Intimidasi, Kekerasan Dan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat

Keluarkan Seluruh Tanah Adat Dari Konsesi TPL Dan Hentikan Segala Bentuk Intimidasi, Kekerasan Dan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat

Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang menaruh perhatian serius terhadap pengembangan kawasan Danau Toba, merupakan momentum dan titik balik penting untuk melakukan restorasi terhadap kehancuran sosial dan ekologi di kawasan Danau Toba. Dalam 3 dekade terakhir, kawasan ini menjadi lokasi konsesi industri ekstraktif, PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang selama ini mendapat sorotan keras bukan hanya dari masyarakat lokal, tapi juga dari dunia internasional, karena kehancuran kehidupan sosial, lingkungan dan tutupan hutan yang parah disekitar kawasan itu. Sumatera Utara, khususnya kabupaten-kabupaten di Kawasan Danau Toba atau lebih dikenal dengan Tanah Batak merupakan daerah penyumbang angka konflik kehutanan, pertanahan, dan persoalan kerusakan lingkungan sepanjang tahun akibat kehadiran TPL. Sesuai data yang dicatat oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, BAKUMSU, dan HaRI, yang sudah dilaporkan  sebelumnya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat 11 kasus komunitas masyarakat adat yang hingga saat ini sedang berkonflik akibat pemberian konsesi kepada TPL dengan luasan tanah sekitar 25.000 hektar. Di dalam 11 Komunitas Masyarakat  Adat  yang berjumlah  4.000 Kepala Keluarga atau sekitar 15.955 Jiwa tersebut adalah Pandumaan dan Sipituhuta, Nagahulambu,  Turunan Ama Raja Medang Simamora-Aek Lung, masyarakat Matio, Turunan Op. Ronggur Simanjuntak/Op Bolus Simanjuntak, Turunan Op. Pagar Batu/Op. Diharbangan Pardede dan Raja Pangumban Bosi, Tukko Nisolu, Sirambe-Nagasaribu, dan Sihas Dolok I-Simataniari-Sionomhudon (Sionom Hudon Utara-Sionom Hudon Timur I dan II). Dari perhitungan valuasi ekonomi yang dilakukan bersama masyarakat, potensi kerugian masyarakat yang ditimbulkan oleh konflik tenurial di tanah seluas 25.000 hektar tersebut diperkirakan sebesar Rp 132 Milyar per tahun. Kasus- kasus ini mendesak untuk diselesaikan karena ekskalasi konflik yang tinggi dimana hingga saat ini masih berlangsung intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat tersebut. Disamping itu, perekonomian mereka menjadi terganggu akibat sumber mata pencahariannya dikuasai oleh TPL. Dalam hal ini perempuan merupakan pihak yang paling rentan menjadi korban, baik mengalami kekerasan maupun dalam mengatasi keterpurukan ekonomi keluarga. Kami mengapresiasi sikap pemerintah di level pusat dan daerah menyangkut keberadaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Di level nasional, pernyataan  Presiden Joko Widodo mempertimbangkan mengevaluasi keberadaan TPL. Menko Maritim Luhut Panjaitan  menyatakan kehadiran TPL hanya memberikan nilai tambah 2 kali, tetapi kerusakan yang ditimbulkan 16 kali. Di level provinsi, desakan untuk mengaudit dan mengevaluasi serta mencabut izin TPL oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara semakin menguat. Sementara Kabupaten Humbang Hasundutan,  Pemkab, Polres, Kejari yang dihadiri 17 perusahaan mitra TPL, telah membangun kesepakatan untuk melarang truk logging mitra TPL melintas di wilayah Kabupaten Humbahas.  Demikian halnya dengan berbagai bentuk penolakan terhadap operasional TPL dari masyarakat dan organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, maka kami menyampaikan sikap sebagai berikut:

  1. Meminta Pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mengeluarkan seluruh wilayah adat yang berada di areal konsesi PT TPL, terutama di 11 wilayah komunitas adat di Tanah Batak. Selanjutnya memastikan wilayah adat tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat melalui proses yang melibatkan komunitas masyarakat adat di dalamnya, sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan MK No. 35-PUU/2012, bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat
  1. Hentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi pada saat memperjuangkan hak-haknya dan memberikan sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang melakukan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Sesuai dengan amanat Presiden Joko Widodo, bahwa tidak akan ada lagi kriminalisasi terhadap masyarakat adat, maka Kepolisian harus menghentikan semua proses hukum terhadap masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan kehadiran TPL.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID