Lompat ke konten
Home » Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Toleransi Pemajuan HAM dan Pembangunan Berkeadilan Mengajukan Amicus Curiae

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Toleransi Pemajuan HAM dan Pembangunan Berkeadilan Mengajukan Amicus Curiae

KOALISI MASYARAKAT SIPIL PEDULI TOLERANSI PEMAJUAN HAM DAN PEMBANGUNAN BERKEADILAN MENGAJUKAN AMICUS CURIAE TERHADAP KEPUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN ATAS DUGAAN PENODAAN AGAMA TERHADAP MEILIANA

Medan, 26 September 2018

 

Amicus curiae (amicus brief) ini diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Toleransi, Pemajuan HAM dan Pembanguan yang Berkeadilan yang terdiri dari Perhimpuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Yayasan LKiS, SETARA Institute, LBH PERS, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Yayasan Bitra Indonesia, Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Negeri Medan (PUSHAM UNIMED), FITRA SUMUT, Yayasan Ete Keleng (YAK), Hutan Rakyat Institut (HaRI), Solidaritas Perempuan, Human Rights Watch Group (HRWG), Organisasi Advokat Indonesia (OAI), Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), Temu Kebangsaan, Suluh Muda Indonesia, Youth Proactive, PBHI Sumatera Utara.

 

Selain lembaga atau organisasi masyarakat sipil Amicus Curiae ini juga diajukan oleh para Individu warga negara Indonesia antara lain : Abdul Aziz Saleh, S.H, Astro Rizky Ramdhani, S.H., Aswan A Rachman, S.H, Dedy Ali Ahmad, S.H.,  I Wayan Suardana, S.H., Imam Joko Nugroho, S.H.  Irfan Fahmi Elkindy, S.H.  Jales Purba, S.H., Joyce Fatima Sorta, S.H., Julius Ibrani, S.H., Kahar Muamalsyah, S.H.,  Mikhail Retno Hamonongan Manik, S.H.,  Nasrul Saftiar Dongoran, S.H. , Siska Barimbing S.H.

 

Pihak yang berkepentingan yang mengajukan Amicus Curiae pada kasus Meilinana adalah Para organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat. Komunitas masyarakat dan individu-individu yang selama ini bekerja dan berjuang untuk mencipatkan kondisi yang lebih baik bagi pemajuan hak asasi manusia, penegakan hukum, toleransi dan perlindungan kelompok rentan di Indonesia. Secara lebih detail informasi para pihak yang berkepntingan dapat ditelusuri pada website masing-masing lembaga atau dari pemberitaan yang menggambarkan kerja-kerja dan aktivitas para pihak yang mengajukan Amicus Curiae.

 

 

Sikap toleransi telah membentuk tradisi ‘kerukunan’ dalam masyarakat Indonesia. Tradisi ini menjadi watak dari masyarakat Indonesia yang berbeda-beda namun tetap bersatu. Toleransi ditunjukkan dengan sikap-sikap dari masyarakat untuk tidak menonjolkan dan mempersoalkan perbedaan tetapi lebih berupaya mencari persamaan. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Mukti Ali, mantan Menteri Agama tahun 1971-1978 yang menyatakan “kerukunan hidup beragama adalah kondisi sosial di mana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik, dalam keadaan rukun dan damai.” Hasbullah Bakri mengartikan kerukunan beragama dalam pengertian praktis sebagai ko-eksistensi secara damai antara satu atau lebih golongan agama dalam kehidupan beragama. Sementara Amir Syarifuddin mengatakan “kerukunan hidup antar-umat beragama adalah suatu cara untuk mempertemukan, atau mengatur hubungan luar antara orang-orang berlainan agama dalam proses bermasyarakat….”. Bahrul Hayat menyebut setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam konsep kerukunan, yaitu: prinsip mengaku (to accept), menghargai (to respect) agama lain, dan bekerjasama (to cooperate).

 

Sehubungan dengan analisis terkait toleransi di atas, kami berpendapat bahwa Meliana hanya mengeluhkan suara azan yang akhir-akhir ini lebih keras dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.  Meliana tidak pernah menyatakan bahwa azan dihapus atau ditiadakan. Meliana tetap berupaya untuk menjaga dan memelihara kerukunan, termasuk kerukunan antar agama. Hal ini dapat kita lihat selama bertahun-tahun, yang hidup dan tinggal dekat sebuah masjid di Tanjung Balai, Medan, seperti banyak kalangan non-muslim lainnya, pada dasarnya tidak mempersoalkan suara azan dan selama ini bisa menerimanya.

 

Perbuatan yang dilakukan oleh Meiliana adalah bagian dari pelaksanaan hak menyampaikan pendapat dan berekspresi terkait dengan volume pengeras suara azan yang lebih keras dibandingkan sebelumnya. Kriminalisasi terhadap Meiliana menjadi preseden buruk bagi negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi Kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang dilindungi instrument hak asasi manusia yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan Konstitusi Bangsa Indonesia.

 

Pada kasus Meilana Jaminan atas hak kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dan berekspresi kemudian dikaitkan dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka konteks pembatasannya seharusnya dapat dilakukan secara obyektif dengan mengacu pada 19 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik. Secara jelas penggunaan Pasal 156 a dan Pasal 156 KUHP yang dipergunakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaanya tidak bisa digunakan untuk melakukan pembatasan jaminan atas hak kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dan berekspresi khususnya pada kasus Meiliana.

 

Seperti yang terjadi pada banyak kasus penondaan agama, tekanan massa yang kontraporduktif untuk mewujudkan keadilan ditengah masyarakat selalu terjadi. Proses peradilan tidak lagi mengedepankan prinsip fairtrial. Hakim yang harusya dalam posisi keadaan merdeka dan berbas dari pengaruh kekuasaaan lainnya. Namun faktanya, Hakim tidak lagi mempertimbangkan keseluruhan hukum dalam penanganan kasus Meliana dan kurang berani untuk mengungkap seluruh fakta-fakta hukum yang telah diungkap dalam Pembuktian Persidangan. Hal ini mengakibatkan Majelis Hakim menjadi tidak berani mengungkap kebenaran materiil perkara dan cenderung mengikuti tekanan masa yang kontraproduktif dalam mendukung upaya pemajuan hak asasi manusia. Hakim pada pertimbangan-pertimbangannya tidak memandang hukum secara keseluruhan dan lebih bersifat “menyenangkan” massa. Sehingga, Hakim menjadi kehilangan Wibawa sebagai penentu keadilan bagi para pencari keadilan, dan Hakim tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara keadilan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.

 

Kondisi ketidakadilan ditengah masyarakat berdampak buruk pada proses pembangunan yang berkelanjutan. Sebagai bagian dari masyarakat internasional dan anggota PBB, Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintahan tingkat daerah dan aparatur penegak hukum berkomitmen mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) secara global pada tahun 2030. Salah satu point penting dalam TPB adalah mendorong akses keadilan untuk semua lapisan masyarakat dengan mempromosikan dan melaksanakan kebijakan yang tidak bersifat diskriminatif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kriminalisasi terhadap Meiliana merupakan langkah mundur pemerintah dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

 

Salah satu tantangan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan yang berkelanjutan adalah “ekstrimisme” dengan kekerasan. Salah satu ciri ekstrimisme adalah memperlihatkan intoleransi terhadap semua pandangan selain pandangan dogmatis mereka sendiri dan mengekspresikannya dalam kemarahan, prilaku agresif dan pidato kebencian. Kondisi seperti ini tidak hanya mengancam pada rusaknya tatanan demokrasi di Indonesia namun namun juga merusak sendi perdamaiaan. Berdasarkan laporan Global Peace Index yang dikeluarkan oleh Intitue for economic and peace di tahun 2018, posisi Indonesia turun 2 point dibanding tahun sebelumnya, hal ini disebabkan banyaknya tindakan terorisme yang didukung kondisi yang kondusif akibat ekstrimisme dan kekerasan sectarian. Kekerasan yang terjadi pada suatu daerah atau wilayah bersifat kontra-produktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan situasi yang damai yang positif dan toleran didalam sebuah masyarakat penting bagi semua pihak untuk membangun budaya toleransi dan dialog sebagai lapisan dasar/pilar paling bawah yang kokoh. Pengadilan Tinggi Medan yang saat ini akan melakukan pemeriksaan dan memutus perkara Meiliana harus memberikan putusan dan pertimbangan yang selaras dengan prinsip dan cita-cita yang mewujudkan TPB yakni melaksanakan kebijakan yang tidak bersifat diskriminatif

 

Berdasarkan uraian diatas, untuk mewujudkan situasi yang damai yang positif dan toleran dengan tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, Kami memberikan rekomendasi kepada Pengadilan Tinggi Medan up Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat banding atas nama Terdakwa, sebagai berikut :

 

  • Majelis hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara atas Terdakwa Meiliana harus mempertimbangkan berbagai aspek baik dari sudut pandang toleransi, hak asasi manusia, proses fair trial dan semangat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan;

 

  • Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini harus melihat kembali esensi dari konsep toleransi sebagai “suatu kesediaan untuk membiarkan hal-hal yang tidak disetujui”, Pernyataan atau keluhan yang disampaikan oleh Meiliana adalah volumenya bukan pada Azan tidak terlihat maksud dan tujun agar Azan ditiadakan, mengngat Meiliana sudah bertahun-tahun tinggal dan bergaul bersama penduduk disana.

 

  • Apa yang dilakukan oleh Meiliana merupakan bagian dari pelaksanaan haknya sebagai manusia untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi, hak tersebut dijamin dalam Konstitusi dan UUD 1945. Penggunaan Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP seringkali dipergunakan sebagai upaya pembatasan hak menyampaikan pendapat dan berekspresi. Majelis Hakim Perlu melihat kembali apakah ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip pembatasan hak menyampaikan pendapat dan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 20 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga tidak menimbulkan preseden buruk dalam upaya pemajuan hak asasi manusia.

 

  • Seperti pada banyak kasus penodaan agama lainya, tekanan masa menjadi salah satu pendorong penghukuman terhadap orang-orang yang terdiskriminasi karena dianggap melawan kelompok mayoritas, momentum pemeriksaan ulang pada tingkat banding harus dijadikan momentum bagi hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tidak hanya melihat pada perbuatan Terdakwa namun juga pada proses peradilan sejak Penyelidikan hingga penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri Medan. Sesuai kewenangannya sebagai Judex Factie, Majelis Hakim pada pengadilan Tinggi dapat melakukan pemeriksaan fakta dan proses hukum yang sudah berjalan. Prinsip Fair Trial harus menjadi pegangan hakim dalam memeriksa, mengadili perkara pada tingkat banding.

 

Pengadilan Tinggi Medan yang saat ini akan melakukan pemeriksaan dan memutus perkara Meiliana harus memberikan putusan dan pertimbangan yang selaras dengan prinsip dan cita-cita yang mewujudkan TPB yakni melaksanakan kebijakan yang tidak bersifat diskriminatif dan tidak memberikan kondisi yang kondusif akibat ekstrimisme dan kekerasan sektarian

 

  • Saat ini pemerintah sedang Pengadilan Tinggi Medan yang saat ini akan melakukan pemeriksaan dan memutus perkara Meiliana harus memberikan putusan dan pertimbangan yang selaras dengan prinsip dan cita-cita yang mewujudkan TPB yakni melaksanakan kebijakan yang tidak bersifat diskriminatif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID