(Simalungun,10/2) Komunitas masyarakat adat bukanlah gerombolan kriminal. Mereka adalah bagian dari kita warga negara Indonesia, mereka hanya berjuang untuk mempertahankan tanah peninggalan leluhurnya, ruang hidupnya, tempat tulang belulang leluhurnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang anggota Lamtoras (Thomson Ambarita), “holi-holi ni Ompung nami do na dikarejoi hami”. Ya, mereka bekerja di atas tulang belulang leluhurnya, mengerjakan tanah yang ditinggalkan oleh leluhurnya untuk penghidupan mereka dan wajib mereka jaga untuk generasi penerus mereka kelak seperti yang telah dilakukan oleh leluhurnya kepada mereka.
Hari ini Senin, 10 februari 2020 tibalah saatnya para pejuang tanah adat Sihaporas, Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita menyampaikan pembelaannya (Pleidoi) dihadapan Pengadilan, maka pada kesempatan ini pula saatnya Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita akan membantahkan segala sangkaan, dakwaan dan tuntutan yang sedang mereka hadapi saat ini dihadapan sidang di Pengadilan Negeri Simalungun
16 september 2019, terjadi bentrokan antara masyarakat adat Sihaporas dan PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat Adat (MA) mengadakan aktivitas bercocok tanam di atas tanah leluhurnya yang diklaim PT. TPL sebagai lahan konsesinya. Bentrokan terjadi akibat dan merupakan kebuntuan dialog antara Humas dan security dengan kelompok MA Lamtoras. Kelompok MA Lamtoras tetap melakukan kegiatan bercocok tanam yakni menanam jagunh. Sedangkan Humas dan Security tetap bertahan melarang MA Lamtoras mengerjakan lahan.
Masyarakat Adat Tergusur dari Tanah Leluhurnya
Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita beserta komunitas masyarakat adat yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) yang ada di desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun adalah kepingan kecil dari potret kondisi konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi secara massif dan meluas di berbagai daerah di Indonesia. Terhitung sejak leluhur mereka yang bernama Ompu Mamontang Laut Ambarita, masyarakat adat Lamtoras telah 11 generasi berdiam dalam suasana damai dan tentram di wilayah Sihaporas dan menguasai tanah adat seluas 2.049 hektar yang berada di wilayah tersebut.
Peristiwa Bentrokan Antara Humas Dan Security PT. TPL Dengan Warga Masyarakat Adat Lamtoras
Fakta yang terungkap di persidangan jelas menunjukkan bahwa bentrokan antara masyarakat adat Lamtoras dengan Humas dan Security PT. TPL tidak terjadi begitu saja, tetapi jelas karena ada pemicunya. Pada saat tidak tercapai titik temu dalam dialog, yang dilakukan oleh komunitas masyarakat adat Lamtoras pada saat itu adalah tetap bekerja menanam jagung di lahan, tidak ada terlihat tindakan menyerang atau tanda-tanda akan menyerang pihak Humas dan Security PT. TPL, kecuali hanya konsentrasi dan fokus bekerja menanam jagung. Sementara, pihak Humas dan Security terlihat berusaha menghalangi masyarakat bekerja dengan secara aktif mencoba menarik cangkul beberapa anggota masyarakat yang sedang bekerja. Tindakan (aksi) Humas dan Security menghalang-halangi masyarakat bekerja dengan cara mencoba merampas cangkul inilah yang kemudian menimbulkan respon (reaksi) perlawanan dari anggota masyarakat yang ditarik cangkulnya sehingga terjadi bentrok yang melibatkan anggota-anggota masyarakat adat Lamtoras yang lain dengan Security-Security PT. TPL.
Sangkaan, Dakwaan dan Tuntutan Pidana yang disampaikan penegak hukum (Polisi dan Jaksa) kepada Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita sangat terlihat adanya upaya untuk mengkriminalisasikan para terdakwa. Jika mengacu pada fakta yang terungkap di Persidangan tidak ada keterangan saksi maupun bukti-bukti yang menunjukan bahwa Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita melakukan tindakan penganiayaan sebegaimana yang dituduhkan Jaksa.
Bahwa 8 (delapan) orang saksi yang dihadirkan oleh JPU tidak satu pun yang menyaksikan secara jelas bahwa Jonny Ambarita maupun Thomson Ambarita ada melakukan pemukulan kepada Humas dan Security PT. TPL. Begitu juga dengan bukti rekaman Video yang diajukan Penuntut Umum juga tidak ada terlihat Jonny Ambarita maupun Thomson Ambarita melakukan tidakan penganiayaan.
Bahwa fakta yang terungkap Thomson Ambarita adalah korban dalam peristiwa tersebut mengalami luka dipunggungnya akbiat pukulan benda tumpul (kayu) yang dilakukan oleh Bahara Sibuea (Humas PT. TPL), hal tersebut dibuktikan dengan hasil VISUM REVERTUM yang dikeluarkan oleh RSUD Tuan Rondahaim Pematang Raya dan hasil rekam medik yang dikeluarkan UPDT Puskesmas Pematang Sidamanik dan diperkuat oleh keterangan saksi Melva Simanjunta, Rasmida Ambarita dan Partogian Sinaga. Timpangnya penegakan hukum dapat dilihat tidak seriusnya Kepolisian untuk memproses Laporan Polisi No.: STPL/84/IX/2019, dengan pelapor Thomson Ambarita.
Anehnya lagi dalam dakwaan terhadap Jonny Ambarita, dimana dalam dakwaan Jaksa disebutkan bahwa Jonny Ambarita melakukan pemukulan terhadap Bahara Sibuea dan Haposan Sitorus dengan menggunakan kayu, sementara dalam persidangan terungkap fakta bahwa Jonny Ambarita lah yang berperan untuk meredakan situasi, karena Jonny Ambarita yang menolong dan menyelamatkan Bahara Sibuea saat bentrokan, bahkan memapahnya.
Maka untuk itu dalam kesempatan kami berharap agar Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Simalungun dapat memberikan putusan secara objektif dan seadil-adilnya, penasehat hukum ingin mengingatkan kita semua pada suatu istilah Adagium hukum yang menyebutkan “lebih baik membebaskan 1000 (seribu) orang yang bersalah daripada menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah”
Hormat kami
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU)
Kuasa Hukum Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita