Plt. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Provinsi Sumatera Utara, Zubaidi berjanji akan menindaklanjuti tuntutan Forum Masyarakat Pencinta Lingkungan (Formatpetaihi) tentang peninjauan izin dan operasional PT. Dairi Prima Mineral di Dairi dan Pakpak Bharat. Hal ini disampaikan dalam diskusi bersama Formatpetalihi, BAKUMSU, PDPK dan WALHI Sumut di kantor dinas ESDM Sumatera Utara, Medan, Selasa (22/5). Formatpetalihi yang merupakan forum masyarakat dari 13 desa di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat menjadi korban kerusakan lingkungan dan konflik pertanahan akibat keberadaan PT. Dairi Prima Mineral (PT. DPM) sejak 2008. Desa tersebut yakni Lae Rembong, Lae Ambat, Lae Panginuman, Sumbari, Bonian, Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan, Palipi, Markelang, Lae Haporas, Lae Lubung dan Sinar Pagi.
Selain mendesak kepala ESDM untuk segera meninjau ulang keberadaan PT DPM, tuntutan lainnya adalah realisasi hak kelola rakyat atas hutan mengingat adanya kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang merupakan pemerintah pusat. Ketua Formatpetalihi, Sami Sitorus menyampaikan bahwa mereka sangat bergantung pada tanaman pertanian dan kehutanan (agroforestry). Keberadaan pertambangan di kawasan hutan yang secara turun-temurun berfungsi sebagai penyangga ekosistem terutama sumber daya air sudah mereka rasakan dengan berkurangnya produksi hasil pertanian. Selain itu, terdapat beberapa kasus penyakit kulit yang diduga akibat aliran sungai yang tercemar limbah logam. Sitorus juga khawatir dengan potensi hilangnya mata pencaharian karena perubahan pola hidup masyarakat menjadi buruh-buruh industri tambang.
Sebelumnya, Koalisi Advokasi Tambang dan Penyelamatan Hutan Dairi-Pakpak Bharat yang terdiri dari BAKUMSU WALHI Sumut, PDPK dan HARI dalam kertas posisinya menyimpulkan bahwa pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha pertambangan tertutup kepada PT DPM sangat bertentangan dengan fakta keberadaan masyarakat yang telah melakukan kegiatan budidaya tanaman pertanian dan kehutanan jauh sebelum kedatangan perusahaan tambang. Hal ini berpotensi akan semakin menghilangkan sumber pendapatan masyarakat dari sektor agroforestry sehingga jelas bertolak belakang dengan upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memulihkan hutan rakyat dan peningkatan ketahanan serta kedaulatan pangan dengan mencetak sawah.Selain itu, terdapat fakta bahwa masyarakat merasa tertipu dan dirugikan pasca transisi kepemilikan lahan maupun ganti rugi. Fakta tersebut juga mendapat pengabaian dari perusahaan dan pemerintah atas keberadaan masyarakat di kawasan hutan. Hal ini memicu konflik karena adanya klaim atas tanah baik antar keluarga maupun komunitas adat/marga.