Lompat ke konten

Melihat Lebih Dekat Kondisi Agraria Dan Perjuangan Masyarakat Adat (Sebuah Catatan Perjalanan)

Oleh: Juni Aritonang

Tanoon badia do dirohanami 2x

Bait di atas merupakan sepenggal lagu yang kerap dinyanyikan oleh komunitas masyarakat adat di Tano batak setiap kali melakukan acara. Bukan tanpa makna bait tersebut dilantunkan. Yang bermaknakan‘Tanah ini adalah suci dihati kami’.

Demikian juga halnya dengan masyarakat adat Dumagat dari Rizal di Philipina yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Iringan lagu-lagu juang dan tarian menyambut kedatangan kami. Mengenakan pakaian adat sambil menyematkan pita merah dilengan sebagai tanda hormat kepada tetamu yang datang. Perjuangan mereka ingin mendapatkan hak atas tanah yang dirampas oleh perusahaan raksasa guna pembangunan DAM hingga hari ini belum menemukan titik terang. Meski masyarakat adat dijanjikan akan mendapatkan ganti untung.

Sama halnya dengan komunitas adat Ayta, Magalang Town, Pampanga Province, yang berjuang untuk mendapatkan hak atas tanahnya lewat membentuk sebuah organisasi perempuan. Disini kami bertemu dengan Ka Loida P Rivera, dia seorang pemimpin organisasi petani perempuan SAMAKAT. Dibawah kepemimpinanannya masyarakat berhasil mendapatkan hak atas tanah dari yang dulunya petani tak bertanah menjadi pemilik tanah. Perjuangannya tentu tidak mudah, banyak menghadapi rintangan terutama berhadapan dengan militer. Setelah  12 tahun lamanya berjuang akhirnya mereka mendapatkan hak atas tanahnya. Lewat pemberian sertifikat tanah. “Perjuangan tidak mudah tapi jika petani bersatu maka kedaulatan lebih mudah dicapai,” ujar  Ka Loida.

Bagi masyarakat adat arti tanah begitu kuat. Hal ini bukan hanya dalam artian demi keberlangsungan hidup mereka tetapi juga proses mewarisi kekayaan budaya dan kearifan lokal dari para leluhur. Bahkan terkadang tanah bisa diartikan merupakan bagian dari tubuh masyarakat adat itu sendiri. Pentingnya arti tanah tidak hanya berlaku untuk masyarakat adat tetapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat. Baik di perkotaan, masyarakat sangat membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan fasilitas publik. Sementara di perdesaan, kebutuhan tanah lebih meningkat lagi sebab para pekerja di sektor agraris membutuhkan lahan untuk bekerja.

Jika ditelisik lebih jauh dari hasil pengamatan dan bincang-bincang bahwa sesungguhnya program reforma agraria di Pilipina sudah berjalan bahkan lebih berhasil dari Indonesia. Salah satu bentuk keberhasilannya negara ini mampu menjaga kelestarian hak-hak agraria masyarakat adat. Sudah ada pengakuan dari negara terkait hak-hak agraria bagi masyarakat adat.Tidak hanya masyarakat adat, reforma agraria dibawah Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP) atau seperti UUPA tergolong berhasil. Program kompherensif Reforma Agraria berhasil merombak struktur kepemilikan tanah di Filipina pada tahun 1987-2000an. Philipina sendiri telah memiliki UU Indigenous Peoples Right Act-IPRA yang disahkan tahun 1997. Artinya secara regulasi Philipina tergolong respons terhadap hak-hak masyarakat adat. Hanya dalam tempo 10 tahun sejak masyarakat adat masuk konstitusi pada tahun 1987, negara ini telah mengeluarkan UU tentang pengakuan hak masyarakat adat. Bagaimana dengan di Indonesia?

Sejalan dengan hal tersebut, negara ini juga memiliki tiga lembaga setingkat kementerian yang mengurusi soal reforma agraria. Yakni Department Agrarian Reform (DAR) yang mengurusi land dan access reform bagi masyarakat; ada National Council for Indigeneous People (NCIP) yang mengurusi hak-hak masyarakat adat; ada Department of Environment and Natural Resource (DENR), yang mengurusi usaha-usaha ekstraktif di kawasan perhutanan atau pertambangan.

Meski dianggap NCIP adalah sebuah bukti keberhasilan perlindungan hak-hak masyarakat adat, terutama hak agrarianya dan merupakan hasil perjuangan bersama masyarakat adat, namun sebagian komunitas adat ada yang tidak mempercayai NCIP tersebut, karena dianggap bentukan pemerintah. Demikian juga CARP tidak didukung oleh sebagian komunitas adat. Hal ini disebabkan karena lebih mementingkan para elit politik baik dari perencanaan hingga implementasi program minim komunitas adat dilibatkan. Artinya mereka tidak percaya dengan program-program yang direncanakan dan dijalankan oleh pemerintah.

Apa yang bisa dipetik dari perjalanan ini bahwa arah reforma agraria Indonesia setidaknya harus melihat model CARP Filipina yang mengakomodir hak-hak agraria masyarakat adat. Meski lain lubuk lain ikannya. Hendaknya pepatah ini relevan digunakan. Karena, jika mengakomodir hak-hak agraria adat serta mampu menjaganya, otomatis kita akan turut memelihara kebudayaan dan kearifan lokal yang beranekarupa tersebut. dan hubungan antara manusia dan tanah sebagai tempat dimana mereka berpijak akan terjaga dengan baik karena, masyarakat yang hidup didalam wilayahnya pasti memiliki kepedulian untuk menjaga alam dan melestarikannya jika dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Berbeda halnya dengan Indonesia yang memang sejak awal kemerdekaan melalui UUD 45 sudah mengakui hak-hak masyarakat adat. Bahkan, Indonesia juga mengakui hak-hak agraria masyarakat adat secara tegas sejak diterbitkannya UU Pembaruan Agraria tahun 1960. Juga telah ada putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Dengan keputusan ini artinya masyarakat adat memiliki bagian dalam hutan yang sebelumnya diklaim sebagai hutan negara. Bahkan terakhir ada RUU Masyarakat Adat. RUU ini sendiri mengalami kemandegan bahkan telah sekian tahun masuk dalam legislasi nasional. Dari semua peraturan-peraturan tersebut belum ada langkah tegas dari pemerintah untuk mengimplementasikannya. Pe er besar bagi masyarakat sipil bersama dengan berbagai komunitas adat yang tersebar di berbagai wilayah untuk terus mengkonsolidasikan dirinya agar terwujud pengakuan dan penghormatan atas masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID