Lompat ke konten
Home » Membakar Lahan, Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Membakar Lahan, Kearifan Lokal Masyarakat Adat

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Demikian bunyi konstitusi Republik Indonesia, pasal 18 B ayat 2.
Hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana disebut di dalam konstitusi yang hingga kini tetap hidup dan berlangsung, salah satu di antaranya membuka ladang dengan cara tradisional yakni membakar.

Pertanyaanya kemudian, apakah membakar lahan tidak merupakan perbuatan kriminal dan bagaimana perlakuan hukum terhadap masyarakat adat yang membakar hutan? Pertanyaaan inilah yang sedang bergulir, setidaknya beberapa minggu terakhir di saat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengajukan uji materiil (judicial review) U-U No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Meskipun uji materiil ini telah dicabut pemohon dengan alasan masih akan mempelajari lebih lanjut terkait klausa pasal-pasal yang diajukan di dalam judicial review, khususnya pasal 69, 88, 99 UU No. 32 Tahun 2009 dan pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999, namun perlu dipahamkan kepada publik terkait kegiatan membakar lahan apakah merupakan kearifan lokal atau perbuatan pidana.

Hal ini sangat penting sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi aparatur penegak hukum yang menganani kasus-kasus berkaitan dengan pembakaran lahan oleh masyarakat adat.

Bahan masukan bagi aparatur hukum ini bagian untuk mendudukkan masalah yang terjadi terkait pembakaran lahan berujung kriminalisasi.

Kriminalisasi masyarakat adat atas pembakaran lahan telah mengakibatkan masyarakat adat tidak memperoleh hak-haknya, khususnya hak-hak kontitusionalnya sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Kondisi ini tentu berbanding lurus dengan hilangnya rasa keadilan masyarakat karena dituduh sebagai pelaku kejahatan padahal mereka hanya menjalankan hak-hak tradisonalnya yang masih tetap hidup.

Pemerintah dan para pengambil kebijakan di negara ini pasti punya alasan yang sangat kuat mengapa masyarakat adat mendapat “pengecualian” terkait membuka lahan dengan cara membakar. Alasannya cukup jelas, karena membakar lahan dalam mengelola perladangan adalah kearifan lokal yang merupakan hak-hak tradisionil.

Pelarangan pembakaran lahan berpotensi mengikis budaya lokal yang sudah diwarisi turun-temurun dan sudah merupakan tradisi masyarakat lokal Indonesia.

Berladang dengan cara berbakar adalah bagian masyarakat hukum adat dalam melakukan aktivitas bertani dan berkebun untuk menopang sumber kehidupan dan keberlanjutan hidup. Karena itu konstitusi harus melindunginya sebagai hak konstitusional.

Konsekuensi dari penghormatan masyarakat hukum adat yang harus dijalankan pemerintah meskipun undang-undang yang khusus mengatur pengakuan dan perlidungan masyarakat adat belum diundangkan oleh pemerintah, sebagai landasan hukum terkait pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisonil tersebut pemerintah sudah mengaturnya di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH.

Terkait pembukaan lahan dengan cara membakar, pasal 69 undang-undang itu mengatur larangan membakar hutan.

Pembakaran lahan merupakan tindak pidana, yang jika sesorang tidak mengindahkan larangan tersebut maka perbuatannya dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana.

Namun pasal 69 ayat 2 UU PPLH meyebutkan; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing masing.

Kearifan lokal yang dimaksud di dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Mengacu pada ketentuan undang-undang ini, selama pembakaran dengan keluasan 2 hektare ke bawah bukanlah perbuatan melanggar undang-undang.

Bertitik tolak dari undang-undang ini, perbuatan masyarakat adat membakar lahan dalam mengelola perladangan adalah hak konstitusi yang harus dilindungi.

Masyarakat adat yang melakukan pembakaran lahan secara tradisionil harus bebas dari tindakan kriminalisasi maupun intimidasi.

Selain itu, aparatur penegak hukum seharusnya memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak-hak ini, sehingga masyarakat adat bisa memanfaatkan hutan atau lahan mereka.

Aparatur penegak hukum harus membangun pemahaman, mengkriminalkan masyarakat adat yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana diperbolehkan dan dikualifikasikan di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang dilindungi konstitusi.

Tindakan mengkiriminalkan masyarakat adat ini juga bentuk diskriminasi terhadap pekerjaan yang dilakukan secara tradisional.
para penegak hukum harus ekstra hati-hati ketika mengusut dan memeriksa tindak pidana pembakaran lahan, dengan melihat kebiasaan yang berlaku di masyarkat.

Upaya penegakan hukum tidak boleh menggunakan kacamata kuda, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang masih mewarisi berbagai kearifan lokal menyangkut tanah dan sumber daya alam.

Hukum sejatinya diciptakan untuk kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana dijelaskan teori utilities (Jeremy Bentham).

(Oleh: Manambus Pasaribu SH MH) Penulis Sekretaris Eksekutif Bakumsu Medan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID