Lompat ke konten
Home » Menelisik Jalan Sunyi Permasalahan Agraria

Menelisik Jalan Sunyi Permasalahan Agraria

Oleh: Rianda Purba*

 

24 September lalu merupakan hari bersejarah bagi Indonesia, yang mana hari ini adalah hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Kemudian melalui Keppres No. 169 tahun 1963, hari lahirnya UUPA Presiden Soekarno menetapkan 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Akan tetapi, di negara agraris seperti Indonesia, Petani adalah golongan penduduk yang umumnya memiliki keterbatasan terhadap alat produksinya, yaitu tanah[1]. Bahkan petani-petani di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara kerap menjadi pihak yang tidak diuntungkan dan menjadi korban dalam kasus-kasus konflik agraria.

Setiap tahunnya, Sumatera Utara kerap menjadi propinsi yang memiliki kasus konflik agraria yang tinggi. KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat, sepanjang tahun 2017 lalu, ada 59 kasus konflik agraria di Sumut. Berada pada urutan nomor 2 terbanyak se Indonesia setelah Jawa Timur dengan angka 60 kasus. HaRI (Hutan Rakyat Institute) sejak 2014 telah melakukan beberapa riset agraria dan mengumpulkan data, bahwa lokasi-lokasi terjadinya konflik-konflik agraria di Sumatera Utara memiliki akar sejarah yang panjang, hal ini terjadi khususnya di daerah timur propinsi Sumatera Utara. Dan sejak 2014 sampai saat ini, HaRI mencatat bahwa ada 149 kelompok masyarakat masih berkonflik dengan luasan mencapai 346,648 hektar. Dari 149, perkebunan menjadi yang paling besar yakni mencapai 118, kelompok-kelompok masyarakat tani masih berkonflik dengan perkebunan, 90 konflik terjadi antara masyarakat dengan perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di antara Kelompok-kelompok masyarakat tani tersebut, ada beberapa dari mereka adalah korban akibat peristiwa politik pada tahun 1965, pemerintahan totaliter orde baru kemudian banyak membungkam berbagai gerakan-gerakan tani dan aksi penggarapan, bahkan melayangkan cap komunis bagi orang-orang yang berusaha menggarap tanah-tanah perkebunan.

Di Sumatera Utara, berdasarkan data HGU Kementerian ATR/BPN tahun 2006, ada 381 HGU (Hak Guna Usaha Perkebunan) dengan total luas 1.825.308,62 Ha yang tersebar di 13 kabupaten di Sumatera Utara. Sekitar 80 % dari luas HGU tersebut berada di wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara.Rata-rata, perkebunan-perkebunan tersebut adalah sudah ada sejak era kolonial Belanda yang sebagian menjadi BUMN dan sebagian lagi adalah perusahaan swasta. Keseluruhan perusahaan perkebunan itu sudah ada sejak saat Pemerintah kolonial membuat Undang-Undang agraria kolonial. Konflik-konflik agraria di Sumatera Utara pun selalu melibatkan petani dengan perkebunan.

Sejarah Panjang Konflik Agraria di Sumatera Utara

Ketika berbicara konflik agraria, salah satu pakar agraria, Gunawan Wiradi mengatakan harus memahami dan mempelajari sejarah. Mengapa konflik agraria terjadi. Oleh karena itu, era kolonialisasi Belanda memiliki sumbangsih besar yang menjadi penyebab permasalahan agraria di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Undang-undang agraria kolonial (agrariche wet) tahun 1870 menjadi awal mula perampasan lahan secara besar-besaran oleh Pemerintah Kolonial di daerah jajahannya, Hindia Belanda. Undang-undang tersebut melahirkan pernyataan domein (Domein Veerklarring) yang melabeli tanah-tanah yang dianggap terlantar dan tak bertuan untuk konsesi-konsesi perkebunan. Lahirnya undang-undang tersebut adalah proses melegalkan perampasan tanah, pembukaan hutan secara masif, dan menjadi gerbong kapitalisme global yang menjarah bumi Nusantara dengan masuknya modal melalui investasi-investasi perkebunan berskala besar terkhusus di Sumatera Timur dan Jawa.

Masuknya investasi skala besar tersebut membutuhkan buruh murah dari jawa untuk perkebunan, dan membutuhkan lahan pertanian padi untuk kebutuhan pangan. Pemerintah kolonial kemudian mendatangkan petani petani padi handal dari Jawa dan Tapanuli. Kemudian, era penjajahan Jepang mengubah secara total sistem perkebunan, dari yang semula adalah komoditas global seperti tembakau, karet, kelapa sawit, kelapa, dan lain sebagainya menjadi tanaman-tanaman pangan. Pada saat itu, Jepang membutuhkan pasokan bahan pangan sebagai logistik perang Asia-Pasifik.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, terdapat landasan agraria yang sangat mendasar, yakni salah satu pasal dalam UUD 45 pasal 33, tentang falsafah tata kelola sumberdaya alam: bumi dan air berserta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, spirit konstitusi ini belum diikuti dengan undang undang yang memastikan bahwa pengelolaan kekayaan alam dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, tetapi kemakmuran segelintir pengusaha plus birokrat rente.

Momen kemerdekaan Indonesia tersebut diikuti dengan aksi-aksi penggarapan tanah-tanah perkebunan oleh buruh-buruh perkebunan dan petani. Aksi masifnya penggarapan-penggarapan lahan perkebunan tersebut membuat mereka dicap sebagai penggarap liar. Tidak hanya itu, aksi pelucutan kekuasaan raja-raja di Sumatera Timur juga terjadi, gerakan anti swapraja di beberapa lokasi, Simalungun, Langkat pada Februari 1946. Gerakan-gerakan tersebut adalah segala bentuk upaya untuk menghapuskan apa yang mereka sebut sebagai sisa sisa “feodalisme”. Gerakan ini adalah fenomena nasional yang terjadi secara serentak diberbagai daerah di Indonesia yang dimotori oleh kelas bawah dan menengah, yang pada saat itu terlibat dalam perjuangan di garis depan melawan penjajah, termasuk petani dan buruh.

Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1954, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 8 tahun 1954, tentang pendaftaran pendudukan tanah. Di Sumatera Utara, Pemerintah membuat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) atau biasa disebut dengan KR.P.T. Kartu tersebut dibagikan kepada masyarakat yang menduduki dan menggarap tanah suguhan maupun tidak suguhan. Pada tahun 1960 Pemerintah Republik Indonesia mensahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).Undang undang ini mereformasi sistem hukum kolonial, tetapi tidak sepenuhnya mengubah secara mendasar warisan registrasi tanah yang telah diciptakan pemerintah kolonial. Roh UUPA adalah reforma agraria yakni redistribusi tanah kepada petani. Secara ringkas, UUPA memiliki beberapa buah pokok pikiran, yaitu menggantikan undang undang agraria kolonial, mengambil alih tanah dan konsesi milik asing di Indonesia (nasionalisasi perkebunan), memperbaharui distribusi tanah yang tidak adil dan legalitasnya, memperbaharui dan merencanakan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam, dan mengakhiri secara gradual sistem penguasaan tanah yang feodalistik. Adanya program reforma agraria, Menteri Agraria mengeluarkan surat surat kepada petani penggarap sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap landreform, seperti Surat Keterangan Tanah (SKT), Surat Garap, dan lain sebagainya.

Namun, peristiwa politik pada tahun 1965 memberikan pengaruh besar terhadap tidak terlaksananya agenda reforma agraria di Indonesia. Kemudian diikuti dengan pengambilan kembali lahan-lahan perusahaan perkebunan yang sebelumnya telah diredistribusi melalui SKT, mentiadakan kementerian agraria dan mengganti dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), lahirnya UU sektoral kehutanan dan pertambangan yang memfasilitasi investasi lokal dan asing di wilayah hutan. Roh undang-undang tersebut tidak jauh berbeda dengan agraris wet, sama-sama memfasilitasi investasi. Melalui UU sektoral kehutanan mengklaim 70 % wilayah Indonesia sebagai kawasan hutan, yang menunjuk hutan-hutan milik petani-petani di dataran tinggi Sumatera Utara seperti di Tobasa, Taput, dan Humbang Hasundutan tersebut sebagai kawasan hutan Negara. Bahkan, banyak huta, nagori, atau kuta dan wilayah pemukiman masyarakat lainnya masuk dalam kawasan hutan negara.Di kawasan hutan, kemudian pada tahun 1983, Negara memberikan konsesi kepada perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT. IIU (Inti Indorayon Utama) yang sekarang berubah nama menjadi PT. TPL (Toba Pulp Lestari). Dan untuk wilayah yang bukan hutan, pada tahun 1981, Pemerintah orde baru menyusun program nasional yaitu Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yang merupakan program sertifikasi tanah.

Jatuhnya pemerintahan orde baru kemudian memunculkan kembali kelompok-kelompok petani yang selama orde baru dibungkam. Kelompok-kelompok petani penggarap kerap mendapat hadangan bahkan intimidasi dari perkebunan yang biasa menggunakan jasa aparat negara dan preman untuk menertibkan lahan pertanian dan perumahan di atas tanah-tanah garapan. Beberapa kebijakan terkait agraria lahir pada era Megawati, seperti TAP/MPR No. IX  tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan sumberdaya alam. Tetapi ruh dari peraturan tersebut sama sekali belum memiliki nubuat untuk merubah struktur agraria yang timpang. Alih-alih melaksanakan reforma agraria, justru peraturan tersebut semakin memfasilitasi agenda-agenda agraria dan sumberdaya alam untuk kepentingan investasi.

 

Reforma Agraria Jokowi-JK

Reforma Agraria, sebuah janji yang tercantum dalam nawacitanya Pemerintahan Jokowi-JK mengkehendaki bahwa akan ada 9 juta hektar tanah sebagai objek reforma agraria. Program tersebut bernama TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) seluas 9 Juta hektar (Ha), tanah objek  reforma agraria dibagi ke dalam 2 kelompok, yang mana 4,5 juta Ha adalah legalisasi aset dimana 3,9 juta Ha sebagai objek legalisasi dan 0,6 juta Ha merupakan legalisasi dari tanah-tanah transmigrasi. Sementara itu, 4,5 juta Ha adalah redistribusi lahan, yang mana 4,1 juta Ha berasal dari pelepasan kawasan hutan dan 0,4 juta Ha berasal dari HGU habis dan tanah terlantar. Hal ini diterjemahkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah. Pada tanggal 11-13 Mei 2016, Kantor Staf Presiden (KSP) bersama beberapa organisasi masyarakat sipil terlibat dalam mendorong penyusunan dokumen Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria (Stranas PRA) di Istana Negara Cipanas.

Tetapi, sampai sejauh ini, yang Pemerintah lakukan masih sebatas legalisasi asset, yang mana hanya sekedar memberi sertifikat gratis bagi rakyat yang memiliki tanah, dari yang kepemilikan kecil sampai besar sama-sama dilegalisasi dengan sertifikat. Pemerintah selalu mengklaim, bahwa bagi-bagi sertifikat tersebut dengan programnya PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Langsung) adalah bagian dari reforma agraria dimana dalam seremonialnya, Presidenlah yang selalu membagikan sertifikat-sertifikat tanah tersebut kepada rakyat. Alih-alih mengubah struktur agraria yang timpang, hal tersebut justru semakin melegalkan ketimpangan. Sedangkan redistribusi lahan belum banyak dilakukan. Bahkan sampai akhir 2017 lalu KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) baru melepaskan 707.346 Ha kawasan hutan untuk menjadi objek TORA, sementara yang bisa ditindaklanjuti untuk redistribusi dan legalisasi aset hanya seluas 165.248 Ha. Reforma Agraria Jokowi-JK belum dan bahkan tidak mengkehendaki penyelesaian-penyelesaian konflik agraria. Parahnya, hanya memberikan sertifikat melalui PTSL yang diklaim sebagai agenda reforma agraria, di Sumatera Utara justru redistribusi lahan sama sekali belum dilakukan.

PemerintahanJokowi-JK tampak masih kurang maksimal dalam mengimplementasikan Reforma Agraria. Sejak ReformaAgraria menjadi prioritas nasional, berikut beberapa capaian Pemerintah;dari target legalisasi tanah transmigrasi 0,6 juta hektar, hanya tercapai 32.820 hektar atau 5,47%;Dari target 3,9 juta hektar legalisasi aset (sertifikasi) baru tercapai 655.605 hektar atau 16,9%;Dari target redistribusi tanah 0,4 juta hektar dari tanah terlantar dan eks-HGU baru tercapai 188.295 hektar atau 47%; danDari target 4,1 juta hektar redistribusi dari pelepasan kawasan hutan, telah dicapai 0 hektar.

Selain itu, kita masih belum mengetahui, apa dan bagaimana yang disebut tanah-tanah terlantar, apakah bekas-bekas HGU perkebunan yang belum dan tidak diperpanjang atau lain sebagainya. Jika HGU-HGU terlantar menjadi objek reforma agraria, di beberapa eks-HGU perkebunan milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yangberada di sekitar Medan, masih ada yang belum jelas status dan peruntukannya bisa menjadi objek redistribusi lahan, karena sudah beralih menjadi pemukiman dan lahan pertanian masyarakat, dan tidak sedikit juga beralih menjadi objek berdirinya real estate. Hal tersebut juga menjadi permasalahan dan memperumit konflik agraria, tak hanya antara petani dengan perkebunan atau negara, tetapi juga antara petani dengan kelompok masyarakat lainnya

 

Perpres 86 2018 tentang Reforma Agraria, antara Jawaban dan Pertanyaan

Semangat reforma agraria yang muncul sejak 4 tahun lalu, tetapi jika ditelisik dari era pemerintahan sebelumnya, maka rezim Jokowi-JK yang cenderung menggunakan diksi reforma agraria, walaupun dalam prakteknya, yang sudah berjalan belum menggambarkan reforma agraria sejati, yakni merombak struktur ketimpangan agraria dan melakukan redistribusi lahan kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan tanah. Alih-alih menredistribusi tanah, apalagi merombak ketimpangan, justru Pemerintah hanya melakukan pendaftaran tanah. Di penghujung masa jabatannya, Pemerintah Jokowi-JK menerbitkan perpres reforma agraria. Apakah ini baik atau buruk untuk pelaksanaan reforma agraria, atau hanya kepentingan politis semata untuk meraup suara rakyat kecil?

Tentu, hadirnya Perpres ini bisa menjadi peluang bagi masyarakat sipil. Peluang tersebut adalah bahwa masyarakat sipil dapat mengajukan atau mengusulkan objek TORA dari tanah-tanah yang terlantar, HGU yang telah habis, 20 % tanah dari pemegang HGU, kawasan hutan yang sudah ditetapkan menjadi kawasan non hutan atau areal penggunaan lain dan tanah terlantar di luar kawasan hutan, tanah timbul, dan lain sebagainya. Terutama, bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil yang selama ini sudah menduduki dan menguasai lahan-lahan eks-HGU, peraturan ini kemudian menjadi dasar bagi perlindungan penguasaan lahan yang selama ini sudah diduduki. Tidak hanya sampai di situ, Perpres ini juga dapat menjadi dasar hukum bagi penyelesaian sengketa dan konflik agraria.

Akan tetapi, menurut hemat penulis, terdapat titik lemah pada Perpres ini, yaitu kelembagaan. Kelembagaan yang diatur dalam Perpres ini masih masih dikoordinir oleh menteri koordintor perekonomian. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa Menko perekonomian tidak punya bargaining position yang tegas untuk menyelesaikan egosektoral antar kementerian antara lain kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, kementerian agraria tata ruang, kementerian pesisir, kelautan, kementerian desa dan lain sebagainya. Kemudian dalam kelembagaan juga tidak melibatkan elemen masyarakat sipil dalam gugus tugas, baik gugus tugas pusat, propinsi, dan kabupaten. Karena tidak melibatkan masyarakat sipil dalam gugus tugas, tentu Pemerintah daerah selaku pimpinan gugus tugas harus memiliki political will atau kehendak politik untuk melaksanakan nubuat perpres ini dan menyelesaikan konflik-konflik agraria di daerah. Selain itu, Perpres 86 ini tidak mengkehendaki Masyarakat Adat sebagai Subjek redistribusi tanah. Seperti di sekitaran Kota Medan, di lahan HGU PTPN II dan HGU PTPN II Medan yang selama ini adalah objek konflik agraria yang tak kunjung selesai dan menjadi areal perebutan antara kelompok-kelompok masyarakat penggarap, pengusaha real estate, dan bahkan mapia tanah. Pada satu sisi, peraturan ini akan menjadi peluang bagi kelompok-kelompok tani, dan kelompok penggarap yang sudah mengelola, menduduki lahan dengan Eks-HGU PTPN II, dan masih berkonflik dengan Perkebunan untuk mendapat penyelesaian dan hak atas tanah. Akan tetapi, Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang selama ini masih berjuang untuk memperoleh wilayah adatnya dari penguasaan PTPN II akan semakin sulit untuk mengakses tanah adatnya. Sebagai pemangku, justru masyarakat adat Rakyat Penunggu tidak menjadi subjek redistribusi. Hal sebaliknya, peraturan ini malah mengkehendaki badan hukum sebagai salah satu subjek yang bisa memperoleh redistribusi tanah. Tentu ini akan menjadi peluang bagi pemilik modal untuk mengakses redistribusi tanah melalui badan hukum untuk mengembangkan bisnisnya dan mengakumulasi keuntungannya dengan membangun kawasan bisnis, perbelanjaan, real estate dan lain sebagainya.

Tetapi, pelaksanaannya tidak berbeda dengan sebelum-sebelumnya, hilang begitu saja dan mengulang apa yang sudah pernah terjadi. Gerakan-gerakan reforma agraria masih dalam nubuat pemikiran masing-masing, siapa kelompok yang paling benar, atau apakah pemerintah paling benar, dan rakyat harus mengikutinya, serta manakah yang paling benar dan paling sejati. Tentu, Ini bisa terwujud jika nubuat tersebut berasal dari rakyat, khususnya petani ataupun masyarakat adat, dilaksanakannya studi-studi agraria yang masif selama beberapa tahun, dan adanya kehendak politik seorang pemimpin dan reformasi birokrasi. Kesemua hal tersebut dilakukan mulai dari level desa, kabupaten, propinsi, dan nasional. Tanpa kesemua hal tersebut, nubuat reforma agraria sejati hanya dalam angan dan menjadi sesuatu yang utopis, dan kaum tani  dan masyarakat adat akan terus menantinya.**

*Penulis bekerja di HARI Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID