Lompat ke konten

Berita Narasi

Meski Digempur Hukum dan Politik Rusak, Masyarakat Lamtoras Tetap Berjuang Mereklamasi Tanah Mereka.

Oleh: Sondang William Gabriel Manalu

Mau dipenjara lagi pun, kami akan tetap perjuangkan hak kami, tanah kami…

Rumah Bolon Lamtoras (Foto : Bakumsu/ Sondang William Gabriel Manalu)

Hari Minggu, hari yang pada umumnya menjadi hari libur bagi banyak orang. Namun tidak bagi Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas. Hari Minggu menjadi hari dimana Masyarakat Adat Lamtoras dapat meninggalkan ladang mereka dan berkumpul untuk mengadakan rapat, membahas mengenai bagaimana perjuangan mereka untuk merebut hak mereka.

Hak Masyarakat Adat Lamtoras yang dibahas pada rapat tersebut berupa Tanah Adat seluas 1500 Ha telah di klaim PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL) dengan izin konsesi yang diperoleh tahun 1992 melalui KEPMENHUT No. SK.493/Kptsil/1992 jo. KEPMENLHK No.SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020.

Dengan izin konsesi tersebut PT TPL mengubah lahan Sihaporas seluas 1500 HA menjadi hutan produksi Eukaliptus. Perusahaan ini juga melarang masyarakat yang tinggal di sekitar wilayahnya melakukan kegiatan di tanah konsesi.

Siang itu, saya menuju tempat rapat menggunakan mobil pickup Oppung Morris Ambarita (67).  Sembari menyupir, Oppung Moris menjawab pertanyaan saya mengenai agenda rapat yang akan diadakan. “Hari ini mau membahas caleg mana yang akan kita pilih, dan cara mereklamasi tanah kita,” ujarnya.

Perhatian saya teralihkan seketika, melihat jalan yang sangat hancur menuju lokasi. Terdapat banyak lobang dengan kubangan air besar di sepanjang jalan. Sontak saya bertanya kepada Opung Morris, “Ini jalan yang karena dilewati mobil berat PT. TPL nya pung ?” kemudian Opung Morris menjawab “ tidak ada mobil TPL lewat sini,”.

Penampakan Jalan lalu lintas di Sihaporas yang rusak dan tidak ada perbaikan. (Foto : Bakumsu / Sondang William Gabriel Manalu)

Saya kembali menanyakan mengenai bantuan TPL untuk memperbaiki jalan di desa ini. Dengan lugas Oppung Morris menjawab “Dang Adong I”. Tidak puas dengan jawaban tersebut, saya kembali menanyakan apakah memang TPL tidak ada sama sekali memberikan keuntungan apapun terhadap masyarakat desa. Dan Oppung Moris menjelaskan bahwa terdapat konflik horizontal di daerah ini. Dan pemberian PT TPL yang awalnya selalu ditolak, menjadi di terima bagi sebagian masyarakat yang berkonflik, dan justru mengakibatkan konflik horizontal semakin memanas.

Tidak Asal Pilih, Masyarakat Lamtoras Memilih Siapa yang Bisa Membantunya

Setelah percakapan yang cukup panjang di mobil, sampailah kami di tempat rapat. Benar saja pembahasan rapat di saat itu langsung membahas mengenai siapa caleg yang akan dipilih dan cara memenangkan caleg yang di usung. Abdon Nababan menjadi Caleg DPD Sumut yang mereka usung. Dengan target 7000 suara dari Masyarakat Adat Lamtoras, mereka mulai menelpon sanak keluarga baik keluarga dekat dan jauh yang tinggal di Sumatera Utara untuk memilih Abdon Nababan.

Risnan Ambarita, selaku Koordinator pemenangan Abdon Nababan di Sihaporas juga turut mengajak masyarakat Lamtoras untuk berjuang memenangakan Abdon Nababan. Dirinya menyebutkan bahwa tanggal terakhir pendataan suara ada pada tanggal 30 Januari 2024. Pada rapat tersebut Risnan langsung menerima laporan dari masyarakat mengenai berapa orang sudah ditelpon dan diajak, namun sangat disayangkan laporan tersebut masih minim diberikan oleh masyarakat Lamtoras. Beberapa masyarakat masih segan untuk mengampanyekan Abdon Nababan jika tidak ada uangnya. 

Dalam rapat tersebut Opung Morris tampak berkali-berkali mengingatkan masyarakat Lamtoras untuk mengatakan bahwa tidak ada uang-uang pemberian dari Caleg DPD ini kepada sanak keluarganya. “Sukkun Ma tu akka tondongta, dang adong hepengnai, na usungan ta do I,” ujar Oppung Morris. Hal ini ditegaskan Oppung Moris dikarenakan masih banyak masyarakat umum yang masih mengharapkan uang jika diajak untuk memilih sala satu calon legislatif.

Situasi saat rapat mengenai pemilu dan reklamasi tanah adat (Foto : Bakumsu/ Sondang William Gabriel Manalu)

Oppung Morris juga menegaskan bahwa gerakan untuk memenangkan Abdon Nababan ini merupakan gerakan bersama. “kitanya yang mengusung si Abdon ini menjadi calon legislatif, jadi kalau masalah uang pulsa atau kopi dari kita jugalah itu berkorban,” ujar Oppung Morris.

Untuk Caleg DPR RI hingga DPRD Kabupaten, masyarakat Lamtoras telah memiliki beberapa tawaran dan opsi calon dari berbagai Partai. Opsi tersebut pun didapatkan setelah adanya dialog langsung antara masyarakat Lamtoras dengan para calon legislatif dalam menyelesaikan konflik.

Menurut keterangan Opung Morris terdapat beberapa caleg yang mendatangi rumah-rumah warga dan menawarkan uang, namun karena telah menjadi kesepakatan bersama, uang tawaran dari caleg tersebut pun ditolak. “Pertimbangan kita memilih, ya caleg itu berguna untuk menyuarakan apa yang kita alami. Kalau ujungnya tidak ikut menyuarakan untuk apa dipilih?,” tegas Oppung Morris.

Aksi Reklamasi

Pembahasan rapat terkait pilihan politik telah usai. Rapat pun dilanjutkan untuk membahas aksi reklamasi lahan yang akan dilakukan oleh masyarakat adat Lamtoras. Rapat berlangsung panas dan penuh dengan perdebatan. Salah satu yang dibahas adalah bagaimana mereka memperbaiki posko-posko yang ada di lahan. “Biar gerakan ini tidak dianggap main-main saja. Kalau kita tidak serius, nanti dikira TPL itu kita juga tidak jelas menuntut tanah kita,” begitu kata Opung Morris saat dirapat.

Untuk merenovasi posko-posko di ladang yang sudah tidak layak pakai, digunakanlah cara arisan. Setiap warga mengumpulkan 50 ribu per minggu nya untuk merenovasi posko. Pemetaan posko yang sudah tidak layak juga dilakukan. Karena menggunakan cara arisan, perdebatan sengit terjadi mengenai jadwal menarik arisan. Namun perdebatan itu berakhir dengan konklusi bahwa posko masyarakat yang paling buruklah yang akan diperbaiki terlebih dahulu.

Posko tersebut digunakan sebagai patok lahan. Bahwa lahan tersebut sudah digunakan oleh masyarakat dan sekalian memberikan tanda untuk melarang PT TPL menanam kembali Eucaliptusnya.

Tanaman eucalyptus PT TPL yang merenggut tanah adat

Di saat yang lain terjadi diskusi dengan Op. Morris. Tercetus dari saya bahwa aksi reklamasi ini sebenarnya sangat rentan dengan kriminalisasi. Hal ini disebabkan tanah-tanah tersebut masih masuk hutan konsesi milik PT.TPL. Merespon hal tersebut Op.Morris mengatakan bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan hukum. Sudah lama mereka menantikan agar tanah mereka kembali namun sampai saat ini tidak 1 hektar pun tanah tersebut mereka dapatkan secara legal.

“Pemerintah saling melempar kewenangan. Akhir-akhir ini sebenarnya dari pusat sudah mengarahkan agar pemerintah daerah segera membuat tim penyelidikan. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah daerah” Ujarnya. Dirinya juga mengatakan bahwa sudah banyak Menteri yang datang langsung ke Sihaporas termasuk Menteri KLHK tetapi hingga saat ini masyarakat adat Lamtoras masih kesulitan untuk mengakses tanah mereka sendiri.

Op Morris juga mengatakan dalam aksi reklamasi lahan ini, awalnya mereka memotongi eucalyptus milik TPL dan diubah menjadi lahan. Namun saat ini mereka tidak lagi menebangi pohon milih PT TPL tersebut. Mereka lebih memilih untuk menunggu PT TPL panen dan kemudian mempersilahkan PT.TPL untuk mengambil hasil panennya, namun tidak memberikan lagi akses untuk menanam pohon eucalyptus tersebut. “kita yang capek nebangi pohon mereka, bagus mereka yang nebang sendiri,” ujarnya.

Tidak Takut Lagi di Kriminalisasi

Di saat yang lain saya sempat berdiskusi dengan salah satu Masyarakat Adat Lamtoras, Thomson Ambarita. Dirinya merupakan korban kriminalisasi pada saat keributan yang terjadi pada tanggl 16 September 20219. Dirinya divonis hakim dengan tuduhan mengelola lahan tanpa izin. Sudah 6 bulan dirinya mendekam di Penjara. Menurutnya saat dirinya dipenjara tidak semenyeramkan apa yang dipikirakannya.

“Yah sama tahanan lain saya cukup dihargai, kata mereka saya merupakan seorang pejuang,” begitu ujar Thomson sembari tertawa. Dirinya juga bercerita bahwa selama di penjara, para sipir tidak ada yang berani menyentuh atau menyakiti dirinya. “Saya bahkan berteman dengan banyak orang besar di sana,” candanya.

Tak lupa dia menceritakan banyak bantuan dari para kenalan jaringan. “saya beberapa kali dipanggil sipir, katanya ada yang mau jumpa sama saya. Jujur saya takut awalnya. Takutnya TPL yang datang,” ujarnya. Thomson mengatakan bahwa ternyata dia dipanggil sipir untuk memberikan titipan dari kepala kepolisian dari daerah lain yang merupakan kenalan dari jaringan. “bahkan saya dikasih uang saku dan rokok sama sipirnya,” ujarnya.

Thomson cukup bersyukur karena dirinya benar-benar dibantu oleh semua jaringan selama dipenjara, mulai dari kebutuhannya hingga penjagaan agar dirinya tidak di rundung oleh tahanan lain. “Saya bahkan sudah menjadi kepala kebersihan disana, jadi saya punya anggota juga” tawanya.

Terkait TPL, Thomson mengaku ada di datangi pihak dari TPL. Dirinya ditawari 10 Milliar, dan pembebasan dari TPL. Uang 10 milliar tersebut dikatakan TPL silahkan digunakan untuk membangun kampung tetapi jangan lagi berdemonstrasi dan sudahi pergerakan. Thomson pun menolak uang tersebut secara mentah-mentah. Menurut keterangan dari Thomson pihak TPL sedikit kesal dan segera meninggalkan dirinya.

Yang tak luput terdapat kejadian yang cukup lucu pada saat pihak TPL meninggalkan dirinya. Thomson mengatakan, karena pihak TPL sedikit kesal mereka buru-buru langsung ke mobil. Saat hendak pergi justru tanpa sengaja TPL menabrak palang parkir. “mereka buru-buru langsung pergi eh rupanya menyenggol plang akhirnya mobil mereka lecet. Mungkin itu karma mereka lah” tawanya.

Atas semua kisah yang dicurahkan oleh Thomson dirinya mengaku tidak lagi takut di kriminalisasi. “ya kalau pun dipenjara lagi hanya gini saja. Jadi tidak mematahkan semangat untuk berjuanglah,” ujarnya.

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID