Lompat ke konten

MUSDA II AMAN Daerah Taput Angkat Tema Perlawanan M. H Manullang terhadap Ekspansi Agraria di Tapanuli

Senin (03/07/2023) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Tapanuli Utara (Taput) melaksanakan Musyawarah daerah (Musda) di Pansurbatu Adiankoting Tapanuli Utara untuk pergantian Pengurus Daerah. Dalam kesempatan tersebut AMAN mengadakan seminar mengangkat tema Perjalanan Masyarakat Adat di Tapanuli dan Memori Sejarah Perjuangan Tuan M. H. Manullang Melawan Ekspansi Agraria di Tano Batak pada tahun 1900-an. 

Seminar ini dimoderatori oleh Lenny Sirait dengan narasumbernya adalah Dr. Phil. Ichwan Azhari, Abdon Nababan, Pdt. Nelson Siregar dan Jhontoni Tarihoran. Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang atau lebih dikenal dengan sapaan Tuan Manullang lahir pada tanggal 20 Desember 1887 di Tarutung. Beliau merupakan tokoh batak dan pejuang agraria yang menentang kolonial Belanda di tanah Batak yang hendak merampas Tanah Batak untuk dijadikan perkebunan. 

Jhontoni sebagai Ketua Pengurus Harian AMAN Tano Batak menyatakan bahwa  tujuan pengangkatan tema ini supaya masyarakat adat dapat memaknai ulang perlawanan Tuan Manullang pada masa lalu untuk dikontekskan pada perlawanan mereka saat ini yang tanahnya hendak dirampas. 

“Pada masa penjajahan Belanda tanah yang tidak bisa dibuktikan dengan surat kepemilikan dan kosong dianggap sebagai tanah negara (tertuang dalam Undang-undang Agraria 1870-red). Sampai sekarang pun sama dengan yang dialami masyarakat adat dimana tanah mereka hendak dirampas oleh negara karena dianggap tidak ada bukti kepemilikan. Masyarakat tentu harus berjuang melawan pola-pola yang merampas ini dengan meneladani perjuangan Tuan Manullang 100 tahun yang lalu. Dulu Tuan Manullang mengkampanyekan ke masyarakat untuk mengelola tanah sendiri supaya tidak direbut Belanda,” tambah Jhontoni.

Ichwan mengatakan Pansurbatu adalah satu benteng penting pertahanan agraria dalam sejarah Indonesia. Seandainya tidak ada perjuangan Tuan Manullang kita tidak akan melihat Tanah Batak dengan bentuk yang seperti sekarang. Kita akan melihat tempat ini mirip dengan Kampung Melayu yang dikepung oleh kebun karet milik perkebunan. Warga disini akan menjadi buruh kebun seperti di Deli dan Asahan.

“Kawasan tanah Batak masih punya tanah adat dan seandainya Tuan Manullang tidak berjuang mempertahankan Pansurbatu maka seluruh tanah Batak sama nasibnya dengan tanah Deli dan pantai Deli yang sudah tidak memiliki tanah,” tegas Ichwan. 

Ichwan menambah untuk kasus Indonesia, peristiwa Pansurbatu adalah peristiwa yang monumental. Gagalnya Belanda menjadikan wilayah ini menjadi perkebunan telah menyelamatkan Tanah Batak dan menjadi sumber inspirasi yang sangat panjang dalam perjuangan agraria. Pada masa Kolonial Belanda sebenarnya sudah keluar surat izin Pansurbatu akan jatuh ke tangan pengusaha perkebunan, namun mengalami perlawanan dari Tuan Manullang.

“Kalau kita lihat argumen-argumen Tuan Manullang baik di pengadilan dan di surat kabar, Tuan Manullang adalah orang yang sangat hebat. Dia menguasai literatur, dia menguasai undang-undang bahkan di dalam tulisan dia mengatakan bahwa Belanda dijajah oleh bangsa asing. Kalau Belanda ingin menjadi bangsa yang bermartabat harus keluar dari Tanah Batak karena mereka sudah merasakan bagaimana dijajah bangsa lain,” terang Ichwan.

Abdon menambahkan apa yang kita lakukan hari ini sebenarnya adalah untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Tuan Manullang. Ini adalah sejarah perjuangan yang berlanjut. Kita harus punya generasi baru generasi pejuang baru yang lebih mampu menghadapi situasi baru kita. Jangan sampai makin tinggi sekolahnya makin jauh dari adatnya. 

“Perlawanan terhadap perampasan tanah juga masih berlaku sekarang. Sekarang konflik tanah masih terjadi dimana-mana, kerusakan lingkungan masih terus berlanjut kemudian perubahan iklim di seluruh dunia mengalami perubahan radikal,” tambah Abdon.

Nelson mengatakan tanah merupakan sumber akses terhadap ekonomi dan mempertahankannya menunjukkan bahwa kita sebenarnya adalah anak ni raja. Orang Batak tidak mengenal konsep menjual tanah, yang ada adalah tanah gadai dimana suatu waktu bila sudah ada uang maka bisa diambil lagi. Bila ada yang menjual tanah maka itu adalah budak dan harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku di kampung tersebut. Intinya adalah masyarakat mempunyai nilai yang mempunyai adat yang mempunyai harga diri dan martabat yang sebenarnya disebut harus memiliki tanah.

“Malapetaka akan muncul bila banyak perusahaan muncul disini dan kita akan menjadi orang yang tidak memiliki tanah seperti di Deli yang hanya menjadi penonton saja. Tanah itu sakral. Tidak ada tanah yang tidak bertuan di Tapanuli, sebelum NKRI kita semua punya tanah, ada tanah pribadi, ada tanah ripe-ripe dan ada tanah hatopan. Ini mestinya jangan dihilangkan, sebab dari tanah kita datang dan ke tanah kita kembali,” tutup Nelson. (be)

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID