Kami, Lembaga Bantuan Hukum Medan (LBH Medan), Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SU), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (KontraS SU), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara (SPI Sumut), Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), Hutan Rakyat Institute (HaRI), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (PUSHAM UNIMED), Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sumatera Utara (KPA SUMUT), Sekretariat Bersama Reforma Agraria Sumatera Utara (SEKBER RA SUMUT), LITERACY COFFEE, Sentra Advokasi Untuk Hak Dasar Rakyat (SAHDAR), Himpunan Mahasiswa Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (HMI UMSU), Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara (HMI FISIP USU) merupakan organisasi masyarakat sipil lintas sektor yang setuju untuk bersama-sama memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada 10 Desember 2018 di Sekretariat LBH Medan, Sumatera Utara.
Peringatan Hari HAM Internasional setiap tahunnya seharusnya menjadi momentum bersama terutama bagi negara untuk merefleksikan pentingnya penegakan HAM untuk masa depan Indonesia bukan hanya menjadi ajang seremonial semata.
Melalui acara ini, kami ingin menyampaikan kembali bahwa pelanggaran HAM masih eksis hingga saat ini dan Negara masih tidak serius dalam melakukan upaya-upaya penegakan HAM. Di Sumatera Utara sendiri, pelanggaran HAM tergolong masih tinggi dan cenderung terjadi peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Kami mencatat beberapa jenis pelanggaran HAM di Sumatera Utara, yang merupakan persoalan yang belum mampu terselesaikan hingga sekarang.
Pertama, konflik agraria, Konflik agraria tetap signifikan dalam mewarnai catatan kelam pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Berdasarkan catatan Hutan Rakyat Institute (HaRI), ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini berkonflik dengan perkebunan maupun perusahaan hutan tanaman industri, dengan luasan mencapai 346.648 hektar. BAKUMSU juga menemukan bahwa terjadi 16 konflik agraria diatas wilayah adat milik masyarakat adat di Sumatera Utara berdasarkan monitoring yang dilakukan sepanjang tahun 2017-2018.
Kedua, praktek kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan Negara. Sepanjang tahun 2018 KontraS Sumut mencatat peningkatan jumlah kekerasan aparat keamanan secara cukup signifikan. Apabila ditahun 2017 lalu terjadi 59 kasus, maka pada tahun ini terdapat 71 kasus. Dalam konteks ini, ada dua persoalan yang mendapatkan catatan khusus dari KontraS Sumatera Utara. Pertama, penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan khususnya polisi dalam rangka melakukan penegakan hukum. Kedua, terkait masih berlangsungnya praktek penyiksaan.
Ketiga ancaman terhadap demokrasi dalam konteks kebebasan berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat. Polemik penggunan pasal karet melalui UU ITE menjadi kata kunci dalam menyampaikan kondisi demokrasi dalam bingkai kebebasan berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat. Seperti kasus yang menimpa Yusroh Hasibuan, seorang aktifis asal Batubara yang bisa jadi contoh bagaimana UU ITE digunakan secara arogan dan sewenang-wenang. Upaya pembungkaman demokrasi juga tercermin dari praktek kekerasan terhadap para jurnalis di Sumatera Utara. Jika pada tahun 2017 terjadi 13 kasus kekerasan, dalam catatan kami, sepanjang tahun 2018 terjadi 9 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Masih eksisnya pelanggaran HAM di Sumatera Utara, harus disikapi dengan sebaik-baiknya. Penting bagi seluruh elemen masyarakat sipil untuk kembali menghimpun kekuatan. Dalam kerangka mendorong keterlibatan aktif Negara terkhusus Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dibawah kepemimpinan Gubernur Baru dalam melaksanakan penegakan HAM.