Presiden Jokowi baru 4 bulan menjabat, beragam kebijakan telah diputuskan.Namun bukan pujian yang di dapat malah beragam masalah justru muncul silih berganti. Sebut saja misal kebijakan pemilihan menteri-menteri kabinet. Meski acara menggandeng KPK untuk memeriksa jejak rekam para calon awalnya terasa begitu menggebrak namun Jokowi akhirnya tak kuat menahan kekuatan luar yang berada disekelilingnya. Jika sejak awal ‘pemilik kekuatan’ sudah mendikte Presiden maka bisa dimengerti pada kebijakan-kebijakan lain pun pasti akan berlaku rumus yang sama. Benar saja, beberpaa kebijakan setelahnya memang syarat dengan campur tangan’ seperti pemilihan Jaksa Agung, pemilihan Kapolri, hingga rencana menggandeng Proton sebagai proyek mobil nasional dan melupakan mobil SMK. Kontras dengan apa yang terjadi saat baru 100 hari menjabat sebagai Gubernur DKI. Gebrakan Gubernur Jokowi yang turun langsung kebawah (blusukan) diluar ‘kebiasaan’ pejabat sebelumnya langsung disambut sukacita oleh seluruh rakyat negeri. Tampaknya RI bukan DKI, sebagai Presiden lebih dibutuhkan political will yang kuat untuk mempertahankan komitmen awal sebagai Janji Presdien, bukan malah melanjutkan model blusukan yang kini tidak lagi mendapat simpati.
Salah satu masalah krusial yang saat ini justru masih mengganjal dalam kekuasaan Jokowi adalah masalah penegakan hukum. Semakin melemahnya komitmen penegak hukum dalam penegakan hukum justru dipicu oleh kebijakan Presiden sendiri. Masih kita ingat, Presiden mengajukan calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) kepada DPR untuk mendapat persetujuan.Sebelum uji kelayakan oleh DPR, BG kemudian tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Hasil uji kelayakan DPR justru menyatakan BG layak sebagai Kapolri dan merekomendasi kepada Presiden untuk dilantik. Namun Presiden justru menunda pelantikan BG yang berarti Presiden memperhatikan sinyal dari KPK. Keputusan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dan keputusan Presiden yang tidak melantik BG inilah yang kemudian menyeret konflik antara KPK dan POLRI. KPK dan POLRI akhirnya saling sandera. Jika KPK bisa menetapkan BG sebagai tersangka maka POLRI kemudian menetapkan pimpinan KPK juga sebagai tersangka. Komisioner KPKseperti BW, AS kemudian ditetapkan sebagai tersangka sementara satu komisioner lainnya APP sedang dalam proses. Presiden kemudian mengeluarkan Keppres mengganti 3 pimpinan KPK dan mengangkat 3 pimpinan KPK yang baru.
Sukses menjadikan komisoner KPK sebagai tersangka ternyata menjadi model baru bagi POLRI untuk melakukan hal serupa terhadap ‘lawan-lawan’ politik lain. Polisi dengan cepat kemudian memeriksa beberapa mantan petinggi yang telah dilaporkan oleh beberapa pihak terkait pencemaran nama baik diantaranya Deni Indrayana (mantan wamenkumham) dan Yunus Husein (mantan kepala PPATK). Situasi ini tentu menjadi peringatan bagi para pengkritik POLRI, sebab mereka sewaktu-waktu dapat saja berurusan dengan polisi. Jarum jam sejarah seolah kembali kebelakang, tanpa KPK yang eksis maka penegakan hukum kembali bersandar pada POLRI dan JAKSA yang sudah ‘ditentukan’ oleh Partai Politik. Para politisi kembali kepada selera awal melakukan kolaborasi dengan para penegak hukum untuk kepentingan kekuasaan. Apa yang sesungguhnya terjadi pada penegakan hukum era pemerintahan Jokowi? Melorotnya penegakan hukum pada era Jokowi-JK saat ini terjadi karena adanya hubung kait erat dengan gagalnya pembangunan kelembagaan (nilai) pada tahap awal, gagalnya transformasi karakter (pendidikan politik rakyat), hingga lemahnya kepemimpinan politik nasional.
Pembangunan Kelembagaan
Sejak dilantik, Jokowi-JKsebagaimana diprediksi banyak pihak akan menerima warisan kelembagaan politik maupun hukum yang tidak begitu ‘baik’ dari SBY. Lembaga-lembaga yang ada seperti eksekutif (kementrian/birokrasi), legislatif, yudikatif (MA,MK), kepolisian, kejaksaan maupun lembaga lainnya, umumnya masih bermasalah dalam hal kepemimpinan, sumberdaya, nilai, program maupun birokrasi internal. Secara teoritik akademisi pelembagaan menyebut bahwa tanpa variabel kepemimpinan yang unggul, sumberdaya yang cukup, komitmen pada nilai-nilai luhur, program yang sesuai dengan kebutuhan serta organisasi internal yang mendukung maka dipastikan pembangunan lembaga lembaga tersebut akan berhenti (Esman, 1964). Bukan kemajuan (progress) yang di dapat justru kemuduran (regress) yang akan dituai.
Dalam lapangan penegakan hukum praktis sebagaimana SBY, Jokowi pun hanya akan bertumpu pada KPK semata, sebab lembaga seperti Kehakiman, Kejaksaan maupun Kepolisian masih belum kelihatan menggembirakan perubahannya. Proteksi internal ketiga lembaga tersebut menjadi gerakan tersendiri yang menghambat penegakan hukum di Indonesia. Ketiga lembaga penegakan hukum tersebut masih cukup kuat untuk ditembus angin perubahan. Berdasarkan gambaran itu, dalam ranah penegakan hukum maka tugas utama Presiden adalah memperkuat kelembagaan yang ada yaitu dengan memperkuat kepemimpinan, sumberdaya, nilai, program maupun birokrasi lembaga baik di Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian. Idealnya, jika kelembagaan yang kuat sudah terbangun tentu akan menjadi pendorong yang kuat bagi memuluskan kebijakan Presiden dalam mewujudkan pembangunan Nasional yang berparadigma ‘revolusi mental’ yang telah dituangkan dalam konsep Nawacita Presiden. Untuk maksud tersebut Jokowi mesti bertindak melakukan perencanaan, penataan, bimbingan pada lembaga-lembaga yang menjadi sasaran (setidaknya yang berada pada wilayah kewenangan Presiden). Tujuannya agar terwujud perubahan nilai, fungsi, teknologi maupun sosial serta adanya dukungan dalam lingkungan tersebut.
Prasyarat Demokrasi yang tak Terpenuhi
Sekalipun Indonesia dikatakan sebagai salah satu negera pelaksana demokrasi yang terbesar di dunia, namun tidak semua prasyarat pemerintahan demokrasi terpenuhi di dalamnya. Bagi kita demokrasi baru dilakukan sekedar‘ritual politik’ belaka.Demokrasi belum menghasilkan dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat. Organisasi Ahli Hukum Internasional (international commission of jurists) pada konferensi di Bangkok tahun 1965, merumuskan bahwa syarat bagi suatu negara hukum/pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law sebagai berikut: 1. Adanya proteksi konstitusional; 2. Pengadilan yang bebas dan tidak memihak; 3. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; 4. Pemilihan umum yang bebas; 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan 6. Pendidikan civil (kewarganegaraan).
Indonesia sebagaiman negara anggota lainnya, terus berjuang untuk mewujudkan ke enam syarat tersebut. Sejumlah aturan main (undang-undang) dikeluarkan sebagai alas pelaksanaannya. Namun meski aturan main kerap dibuat dan kemudian dirubah dari waktu ke waktu, persoalan politik kerap muncul dan hasilnya (dampak) tetap belum signifikan. Persoalan utamanya adalah mental manusia pelakunya. Sebab aturan yang baik selalu gagal dilapangan manakala SDM pelaksananya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk berbuat bagi rakyat. Sangat disadari saat ini, bahwa pembangunan demokrasi di Indonesia selama ini (70 tahun) belum menyentuh pembangunan mental manusia yang sesungguhnya. Padahal pembangunan mental manusia menjadi satu-satunya syarat bagi berlakunya semua prasyarat bagi berlangsungnya pemerintahan yang demokratis tersebut.
Bukti tidak adanya fokus terhadap pembangunan mental manusia Indonesia kelihatan dari sisi kualitas SDM manusia Indonesia yang terus-menerus tergerus dalam degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan malah melahirkan generasi berkarakter unggulan, yang terjadi justru generasi yang terlibat narkoba, sex bebas, pornografi, KKN, perusak lingkungan dan tak bertanggung jawab. Beralasan jika Bung Karno sudah teriak sebelum Indonesia merdeka, bahwa pembangunan mental karakter anak-anak bangsa adalah hal yang utama. Sebab tanpa pembangunan karakter (mental) suatu negara akan rubuh (a nation without faith can not stand). Pernyataan ini juga sejurus dengan lagu kebangsaan yang menegaskan pentingnya pembangunan jiwa (karakter) terlebih dahulu baru kemudian pembangunan badan (fisik). Sangat mustahil kita mendirikan demokrasi pada masyarakat yang cacat mental. Setidaknya kondisi demikian sudah dapat dibaca oleh Jokowi saat ini. Itu sebabnya semboyan ‘revolusi mental’ pada saat kampanye kemarin benar-benar bagi sebahagian kalangan seperti angin segar bagi masa depan Indonesia dalam percaturan global.
Hasil Pemilu 2014 yang Buruk
Pemilu Legislatif 2014 dan Presiden telah selesai dilaksanakan. Namun proses pelaksanaan dan hasil yang di dapat sangat tidak menggembirakan. Beberapa hal yang dapat kita ukur tentang hasil pemilu lalu yang buruk sebagai berikut:
- Supremasi Parpol. Hasil Pemilu 2014 ternyata belum menghasilkan harapan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia belum mendapatkan tokoh-tokoh politik ataupun parpol yang bermental negarawan. Parpol masih menjadikan kemenangan politik sebagai kemenangan kelompok belaka. Akibatnya mereka menginginkan mengatur semua jabatan penting negeri ini sesuai dengan kepentingan mereka. Kekayaan, Kedudukan maupun Kesenangan masih merupakan kejaran yang utama. Akibatnya Jokowi yang tanpa partai menjadi lemah dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Dominasi Megawati, Surya Paloh, Jusup Kalla masih sangat kental mengontrol setiap laku kebijakan Presiden. Jika situasi ini berlanjut maka dipastikan Presiden akan kehilangan supremasinya. Sebaliknya pemilik partai politiklah yang memiliki supremasi.
- Presiden Lemah. Mengapa Jokowi tetap memasukkan menteri yang telah ‘diberi tanda terlarang’ oleh KPK?, Mengapa Jokowi tidak mengajukan Calon Kapolri yang sesuai dengan keinginannya? Mengapa Jokowi tidak melanjutkan proyek SMK malah mengundang masuk Proton? Tampaknya, saat ini semua orang percaya bahwa Jokowi memang tidak punya kuasa alias lemah meski sebagai Presiden. Setidaknya ada 3 kelemahan Jokowi yang dapat diurai dari berbagai sisi. Pertama, bukan sebagai pimpinan atau pemilik partai politik. Sudah mahfum dinegeri ini ‘orang kuat’ umumnya mendirikan sendiri partai politiknya. Jadi, partai itu adalah hak milik seseorang mirip perusahaan. Jangan harap ada demokrasi pada partai politik sebab semua keputusan ada ditangan pemilik. Sebut misalnya Megawati pemilik PDIP, Demokrat dimiliki SBY, Hanura dimiliki Wiranto, Gerindra dimiliki Prabowo maupun Nasdem dimiliki oleh SP. Jokowi sama sekali tidak memiliki partai bahkan bisa dikatakan hanyalah sebagai penumpang di dalam partai. Kedua, dari sisi pendanaan juga dapat dikatakan Jokowi terlemah. Meski pengusaha namun kalibernya masih tengah-bawah. Dalam jajaran pengusaha yang berpolitik dia belum sekelas SP, Prabowo, JK, ARB, HR, Hary Tanusudibyo, maupun Sofyan Wanandi. Wajar saja untuk menjadi Presiden ditengah masyarakat yang pragmatis saat ini Jokowi ‘meminjam uang’ dari para pengusaha tersebut. Menjadi wajar jika sebagai Presiden berbagai kebijakannya akan dipengaruhi oleh ‘para cukong’ yang sudah setor untuk biaya Kampanye Presiden kemarin. Lihat saja penampilannya yang cenderung terhimpit ditengah para pengusaha dan cukong-cukong. Ketiga, dari pergaulan politik dan militer, banyak kalangan analis menempatkan Jokowi juga ‘pendatang baru’ ditengah pergaulan politik dan militer. Dia tak begitu banyak punya teman dari para petinggi militer maupun para pemilik partai.Jika Presiden lemah maka Presiden sulit untuk menata sistem ketatanegaraan termasuk sistem penegakan hukum di dalamnya. Jangankan menata penegakan hukum yang kuat Presiden justru tersandera sendiri oleh kekuatan politik yang berada di sekitarnya. Dalam penegakan hukum, hal utama yang menjadi syarat tegaknya hukum adalah adanya para penegak hukum yang bermoral. Dalam rekruitmen jabatan publik, pertimbangan moral haruslah selalu dikedepankan, terutama dalam semangat meritokrasi guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan operasional (good and functional governance). Moral sebagai ajaran kesusilaan dan moralitas sebagai tata aturan moral merupakan esensi utama hukum dan juga politik. Ajaran moral dan moralitas adalah sumber utama (jus gentium) dari hukum dan politik. Tanpa moralitas, hukum semata sebagai alat legitimasi penguasa untuk menekan lawannya, dan politik tanpa ajaran moral adalah kesesatan tertua dan terkejam didunia (Fuller, 1958).Lon Fuller di jurnal Harvard Law Review berpendapat bahwa hukum yang tidak berjangkar pada nilai moral dan moralitas pastilah tersesat dalam kebenaran semu, semisal rezim Hitler di Jerman dan fasisme Mussolini di Italia.Sudah pasti Presiden sulit menerapkan agenda revolusi mental, sebab revolusi mental itu justru akan bertentangan dengan kepentingan politik kelompok.
- Generasi yang Lemah (gagalnya tranformasi/pendidikan karakter). Tanpa kita sadari Pemilu semakin lama semakin lemah dalam menghasilkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat. Pemilu terbukti hanya menghasilkan kesan yang buruk bagi generasi-generasi muda. Bahkan generasi muda semakin hari semakin lemah karakternya. Saat ini sudah menjadi mahfum jika anak-anak muda sama sekali tidak tertarik kepada politik. Menurut mereka, politik dan pemilu hanya menghasilkan hingar bingar, sandiwara, perebutan kekuasaan dan kesemuan belaka. Andaikan pun ada anak muda yang memilih politik, mereka justru sadarbahwa mereka sedang masuk dan bergumul dalam ‘lumpur’ politik uang. Tidak ada pembelajaran akan nilai-nilai luhur yang mereka dapat dari para politisi. Akibatnya generasi muda tidak memiliki kepercayaan pada sistem politik yang ada (apatis). Pada sebahagian generasi muda lainnya, justru banyak menghamburkan waktunya bagi kegiatan-kegiatan senang-senang, hura-hura yang justru semakin jauh dari nilai-nilai budaya luhur. Para pemimpin yang sibuk dengan dunia kekuasaan mereka belaka, pada akhirnya luput memperhatikan dunia anak muda yang justru terjun pada dunia narkoba. Sadar atau tidak, Pemilu semakin lama semakin tidak berdampak pada lahirnya generasi unggulan. Pemilu justru, meninggalkan generasi muda yang lemah di belakang mereka.
Penutup
Tidak mudah berharap adanya sistem peradilan yang bebas dari intervensi politik ketika kita tidak melakukan apapun bagi pembangunan mental manusia. Tanpa membangun mental, harapan lahirnya peradilan yang berpihak pada kebenaran hanyalah merupakan impian disiang bolong. Sebab sesuatu yang tidak kita tanam bagaimana mungkin kita harapkan hasilnya? Sebelum berharap terbangunnya penegak-penegak hukum yang adil yang merupakan pengejewantahan dari ‘wakil tuhan’ di muka bumi maka kita mestinya terlebih dahulu melaksanakan agenda revolusi mental. Sampai hari ini justru kita belum melihat adanya konsep yang jelas dan utuh tentang pembangunan revolusi mental tersebut. Setuju atau tidak mungkin dari sana kita mulai. Tidak ada bangsa ataupun peradaban yang besar tanpa dibangun diatas suatu pondasi nilai-nilai luhur yang kokoh. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya, Nusantara Jaya!.
Ditulis oleh : Dadang Darmawan
Disampaikan pada Diskusi Tematik Penegakan Hukum dalam Pusaran Politik tgl 26 Maret 2015 di Unika St.Thomas diselenggarakan oleh BAKUMSU dan Fak.Hukum Unika St.Thomas Medan