Laporan Utama Soerak Juni 2025
Potret Amburadul Tata Kawasan Hutan di Sumatera Utara
Selama puluhan tahun, pemerintah Indonesia keliru menerapkan aturan kehutanannya sendiri. Izin pengelolaan hutan untuk perusahaan besar seharusnya hanya diberikan untuk tanah yang status hukumnya sudah pasti. Namun, izin tersebut justru dengan mudah dikeluarkan hanya berdasarkan ‘peta penunjukan’—sebuah peta arahan yang statusnya belum final dan belum disetujui semua pihak di lapangan.

Menurut undang-undang, peta ini hanyalah petunjuk awal dan bukan bukti kepemilikan yang sah. Status hukum tertinggi baru tercapai setelah melalui empat tahap pengecekan lapangan yang rumit dan diakhiri dengan penetapan resmi status hutan. Sayangnya, hingga kini proses tersebut baru tuntas di sebagian kecil wilayah Indonesia.
Celah antara tahap “penunjukan” dan “penetapan resmi” inilah yang menciptakan wilayah tanpa kepastian hukum, yang secara terstruktur lebih menguntungkan perusahaan dan merugikan masyarakat. Di atas tanah yang sama, negara bisa memberikan izin kepada perusahaan, sementara masyarakat, seperti masyarakat adat, telah hidup di sana secara turun-temurun. Kekeliruan dalam logika ini pada akhirnya membuat masyarakat adat seolah-olah menjadi ‘penjahat’ di tanah mereka sendiri.
Tanyakan itu pada Sorbatua Siallagan. Perjuangannya mempertahankan tanah warisan leluhurnya justru membawanya ke balik jeruji besi. Tetua adat Ompu Umbak Siallagan itu sempat divonis dua tahun penjara karena dianggap menempati lahan yang izinnya diberikan kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sebuah ironi yang ia gambarkan sebagai sesuatu yang “pahit”. Baginya, ini bukan sekadar konflik tanah, melainkan perampasan tempat tinggal dan sumber kehidupan yang sudah dimulai sejak ia masih muda. “Zaman Soeharto, 1984. Orang-orang TPL datang merampas tanah kami,” kenangnya.
Sorbatua, yang hanya ingin memastikan anak-cucunya masih memiliki tanah untuk hidup, dipaksa melihat perjuangannya sebagai tindakan kriminal. Dalam situasi inilah ia merasa kemerdekaan yang dirayakan setiap Agustus tak pernah benar-benar sampai kepadanya. “Aku belum merasa merdeka,” katanya, “meskipun katanya Indonesia sudah merdeka.”
Jutaan Hektare di Area Abu-Abu
Secara resmi, luas kawasan hutan di Sumatra Utara adalah 3,31 juta hektare, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6609/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021. Masalahnya, status ini baru sebatas penunjukan awal dan belum sah secara hukum. Kenyataannya, hanya sekitar separuhnya (1,55 juta hektare) yang statusnya sudah ditetapkan secara final. Artinya, nyaris setengah dari seluruh hutan di provinsi ini belum memiliki kepastian hukum.
Fakta bahwa sebagian besar hutan di Sumatra Utara masih dalam tahap penunjukan—puluhan tahun setelah Undang-Undang Kehutanan disahkan—menunjukkan adanya pembiaran yang terus-menerus dari pemerintah. Kegagalan untuk menyelesaikan proses penetapan resmi ini melahirkan “wilayah abu-abu” hukum.
Pemberian izin pengelolaan hutan kepada perusahaan yang hanya berdasarkan peta arahan lama (seperti Tata Guna Hutan Kesepakatan atau TGHK) sebenarnya bertentangan langsung dengan tujuan utama Undang-Undang Kehutanan. Padahal, undang-undang itu dibuat justru untuk memberi kepastian hukum.
Ketika negara lalai menyelesaikan penetapan resmi kawasan hutan, hak atas tanah masyarakat adat menjadi taruhannya. Perusahaan seperti Toba Pulp Lestari (TPL) bisa dengan leluasa mendapat izin di atas lahan yang statusnya menggantung dan sering kali mengabaikan hak masyarakat yang telah hidup di sana turun-temurun. Disengaja atau tidak, kekosongan hukum ini seolah memberi karpet merah bagi perusahaan untuk mengambil alih lahan. Akibatnya, ketidakadilan terkait masalah tanah pun semakin dalam.
TPL: Ganti Baju, Cuci Tangan
Akar PT Toba Pulp Lestari (TPL) menancap kuat pada era Orde Baru, saat perusahaan itu masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU). Berdiri pada 1982, wilayah izin pengelolaannya langsung membengkak dalam waktu singkat. Dari 86.000 hektare pada 1984, luasnya melonjak hampir dua kali lipat menjadi 150.000 hektare hanya dua tahun kemudian. Puncaknya, pada 1 Juni 1992, Menteri Kehutanan memberi karpet merah yang lebih lebar. Melalui sebuah Surat Keputusan (SK) resmi, wilayah operasional IIU meroket hingga 269.060 hektare, mencakup wilayah Tapanuli, Dairi, hingga Simalungun.
Namun, perlawanan sengit dari masyarakat akhirnya memaksa perusahaan berhenti beroperasi. Setelah sempat mati suri, ia bangkit dari kubur pada 2003 dengan jubah baru: PT Toba Pulp Lestari.
Aksi ganti nama ini bukan sekadar siasat pemasaran. Menurut Direktur Bakumsu (Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara), Juniaty Aritonang, ini adalah strategi klasik perusahaan untuk “cuci tangan” dari dosa lingkungan dan konflik sosial masa lalu—sebuah pola untuk lari dari tanggung jawab. Kini, TPL resmi menguasai area kerja seluas hampir 168.000 hektare di 12 kabupaten, meskipun ada data lain yang menyebut angka yang lebih besar, yaitu sekitar 188.000 hektare.
Jubahnya boleh baru, tapi jejak ekspansi Orde Baru itu masih lekat hingga sekarang.
Legalitas di Atas Peta Usang
Landasan hukum operasi TPL ternyata keropos. Sejak era Inti Indorayon Utama hingga kini, izin pengelolaannya berpatokan pada peta usang dari tahun 1980-an: Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Peta ini sebenarnya tidak lebih dari sekadar arahan awal, bukan sebuah penetapan final yang telah dicek di lapangan sesuai amanat undang-undang. Ketergantungan pada peta arahan ini menjadi “dosa asal” yang terus menghantui keabsahan hukum TPL.
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Budi Mulyanto, menyebut praktik seperti ini sebagai biang keladi konflik. “Menerbitkan izin hanya berdasarkan peta penunjukan,” katanya, “sama saja dengan sengaja menciptakan ketidakpastian hukum.” Celah dari warisan pengelolaan hutan yang kacau inilah yang dieksploitasi. Perusahaan leluasa mengklaim hak atas lahan yang statusnya abu-abu, membiarkan konflik di lapangan terus membara.
Pelanggaran di Lapangan: TPL Beroperasi di Area Terlarang
Di lapangan, TPL terbukti menabrak aturan. Laporan investigasi dari gabungan organisasi masyarakat sipil—seperti KSPPM, AMAN Tano Batak, Bakumsu, hingga WALHI—berulang kali menemukan hamparan eukaliptus TPL tumbuh subur di area terlarang. Salah satunya adalah Hutan Lindung (HL), yaitu kawasan yang harus dilindungi dan haram hukumnya bagi perkebunan kayu seperti milik TPL. Temuan WALHI Sumatra Utara, misalnya, sangat telak: citra satelit menunjukkan sedikitnya 4.000 hektare hutan di Bentang Alam Tele, yang masuk zona lindung, telah luluh lantak.
Rocky Pasaribu, Direktur KSPPM, menyatakan bahwa hingga saat ini, tidak ada informasi tentang tata batas konsesi perusahaan dengan wilayah adat yang tumpang tindih di setiap sektor. Ketika mereka diizinkan pada tahun 1992, seharusnya mereka pertama kali membuat berita acara tata batas. Namun, hingga saat ini, tidak ada masyarakat yang telah menyatakan bahwa mereka melakukan berita acara tata batas. Perusahaan ini sedang bermasalah tentang tata batas.
Pelanggaran tak berhenti di sana. Pohon-pohon TPL juga tertanam di lahan non-hutan yang seharusnya tak tersentuh izin kehutanan—secara teknis disebut Areal Penggunaan Lain (APL). KSPPM, AMAN Tano Batak, dan Jikalahari menyimpulkan, setidaknya 28 persen—atau sekitar 52.600 hektare—izin TPL diduga kuat ilegal karena tumpang-tindih dengan kawasan terlarang.
Lalu datanglah ‘sapu jagat’ bernama Undang-Undang Cipta Kerja. Alih-alih ditindak, pelanggaran TPL di masa lalu justru seperti diputihkan oleh aturan ini. Izin yang terbit sebelum UU Cipta Kerja disahkan bisa tetap berlaku dan disesuaikan dengan aturan baru yang lebih longgar. Akhirnya, dosa-dosa lama TPL berpotensi terampuni.
Audit untuk Siapa?
Di tengah kepungan tudingan, PT Toba Pulp Lestari menyodorkan tameng: hasil audit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2022-2023. Perusahaan ini berkukuh seluruh operasinya bersih dan sesuai aturan. Menurut mereka, audit itu menyimpulkan TPL “mematuhi seluruh regulasi” dan “tidak ditemukan pelanggaran”. Di atas kertas, mereka juga memoles citra: dari total izinnya, klaimnya, hanya 46.000 hektare yang menjadi kebun eukaliptus, sementara sisanya untuk kawasan perlindungan (konservasi).
Namun, laporan audit yang digembar-gemborkan TPL itu tak pernah dibuka ke publik. Dokumen itu raib dari tatapan publik. Laporan tahunan KLHK memang penuh puja-puji capaian nasional, tapi sunyi senyap soal hasil audit spesifik TPL.
Juni Aritonang menyebut perusahaan berlindung di balik audit, sementara lembaga negara yang mengaudit membungkam hasilnya dari publik. Logikanya sederhana: jika audit itu memang bersih, mengapa tidak dibuka saja untuk membungkam semua tudingan? Diamnya pemerintah justru memantik curiga bahwa audit itu tak lebih dari formalitas—sebuah alat pembelaan bagi perusahaan.
Negara Melindungi Siapa?
Melihat segudang persoalan yang ditimbulkan oleh PT TPL, respons dari pemerintah daerah hingga pusat di Jakarta sering kali miring ke arah perusahaan. Aduan masyarakat adat ke KLHK mental di tengah jalan; mediasi mandek, dialog buntu. Pemerintah provinsi sibuk membahas penyesuaian aturan, tapi bungkam soal penyelesaian konflik. DPRD Sumatera Utara didesak untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, namun prosesnya sangat lambat dan belum membuahkan hasil konkret.
Sikap ambigu dan pembiaran yang ditunjukkan oleh negara ini, justru melanggengkan konflik dengan gagal memberikan kejelasan hukum atau perlindungan bagi pihak yang lebih rentan—yaitu masyarakat adat. Ini menunjukkan kegagalan fundamental dalam tata kelola di mana negara, yang secara konstitusional diamanatkan untuk menjadi penengah yang tidak memihak dan pelindung hak-hak warganya, justru menjadi fasilitator korporasi melalui kelambanan atau dukungan implisitnya.
Tutup TLP: Seruan dari Tanah Batak
“Tutup TPL” bergema di Tapanuli Utara pada tanggal 27 Juni 2025. Seruan ini kembali dikumandangkan oleh masyarakat adat di sekitar kawasan Danau Toba sejak ditangkapnya Sorbatua Siallagan karena dituduh melakukan pendudukan atas kawasan hutan Negara. Klaim atas hutan Negara menjadi polemik belum lagi bagaimana Negara masih melanggengkan keberadaan perusahaan bubur kayu ini masih beroperasi di tengah banyaknya konflik yang terjadi antara masyarakat adat dan Negara.
Seruan “Tutup TPL” kembali terdengar di Tanah Batak. Masyarakat adat di sekitar Danau Toba sudah lama menentang kehadiran Toba Pulp Lestari (TPL). Ephorus HKBP, Victor Tinambunan pun akhirnya angkat bicara terkait keberadaan perusahaan ini. Menurutnya, Danau Toba lama kelamaan menjadi tong sampah selama bertahun-tahun. Sekarang, banyak hutan tutupan yang dulunya berfungsi untuk menahan laju air hujan dan memberikan kekuatan untuk wilayah di atas Danau Toba, kini mulai hilang. Hutan di sekitar kawasan Danau Toba sudah berubah menjadi hutan industri dengan tujuan bukan untuk memberikan kelestarian tapi perdagangan. Hal ini menjadi babak baru dalam perjuangan masyarakat adat. Yang mana dalam perjalanannya sempat kehilangan peran lembaga keagamaan. Namun saat ini banyak gereja-gereja mulai menyuarakan suara kenabiannya kembali untuk keutuhan ciptaan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Bukan hanya gereja-gereja, tetapi juga akademisi mulai membentuk forum untuk menyelamatkan keberadaan Danau Toba dan melindungi Masyarakat Adat dari kekerasan yang dilakukan oleh Negara dan perusahaan.
Menurut Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) ada 62 kasus kekerasan yang terjadi kepada Pembela Hak Asasi Manusia dari tahun 2023-2024. 19 kasus diantaranya, masyarakat adat menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang mendapatkan kekerasan dari pihak Negara dan perusahaan. Sorbatua Siallagan dan Jonny Ambarita termasuk dalamnya. Pejuang adat yang mempertahankan tanah leluhur mereka dikriminalisasi.
Tetua adat Sorbatua Siallagan, diculik pada 23 Maret 2024 dari jalan Parapat-Siantar saat sedang membeli pupuk oleh orang yang tidak dikenal. Keluarga mengetahui keberadaan Sorbatua dan siapa yang menculiknya setelah sore hari. Diketahui yang menculik Sorbatua adalah Kepolisian Daerah Sumatra Utara (Polda Sumut). Sorbatua Siallagan dinyatakan bersalah atas tuduhan menduduki dan membakar wilayah hutan Negara yang diancam dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Pada, 14 Agustus 2024, Majelis Hakim PN Simalungun memutuskan Sorbatua Siallagan bersalah dan dijatuhi hukuman 2 tahun tahanan dengan denda 1 M subsider 6 bulan kurungan. Salah satu hal menarik selama persidangan Sorbatua adalah ketika Agung Corry Laia salah satu hakim membuat keputusan yang berbeda atau dissenting opinion yang menyatakan bahwa Sorbatua Siallagan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian dia memutuskan Sorbatua Siallagan harus dibebaskan. Di Pengadilan Tinggi Medan, Sorbatua Siallagan dinyatakan tidak bersalah atas segala tuntutan. Tapi tak semulus itu perjuangannya. Jaksa Penuntut Umum Simalungun mengajukan kasasi. 16 Juni 2025, Mahkamah Agung menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum. Sorbatua Siallagan bebas dari segala tuntutan.
Jonny Ambarita, seorang pejuang adat, bersama 4 pejuang lainnya, diculik pada pukul 3 pagi pada 22 Juli 2024. Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita dan Parando Tamba diculik dan ditahan oleh pihak kepolisian resort Simalungun. Mereka berempat didakwa atas berbagai tuduhan . Pada tahun 2024, Giovani Ambarita, Parando Tamba dan Jonny Ambarita dituduh melakukan penganiayaan kepada seorang pekerja PT Toba Pulp Lestari, dan pada tahun 2022, Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita dituduh melakukan penyanderaan terhadap seorang pekerja TPL dan merusak aset yang dimiliki oleh pihak kepolisian.
Mereka mendapatkan kekerasan dan diculik pada dini hari. Beberapa dari mereka termasuk Nurinda Napitu, istri Jonny Ambarita serta 2 anaknya yang masih berusia 8 dan 10 tahun juga menjadi korban kekerasan. Mereka menjadi korban kekerasan fisik dan verbal. Sebelumnya penculikan keempat masyarakat adat ini digugat melalui persidangan praperadilan untuk membuktikan sah atau tidaknya penangkapan mereka. Akan tetapi, gugatan ditolak oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Persidangan yang dipimpin oleh Anggreana E. Roria Sormin, hakim tunggal menyatakan bahwa pihak kepolisian sudah melakukan penangkapan keempat pejuang adat tersebut sesuai dengan prosedur dan tidak ada kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Putusan PN Simalungun juga memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak menjadi bahan pertimbangan mereka dalam mengambil keputusan. Pada 2 Juli 2025, kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Simalungun dan Kuasa Hukum Jonny Ambarita ditolak oleh Mahkamah Agung RI. Maka, putusan MA menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Medan yang menjatuhkan hukuman pidana kepada Jonny Ambarita selama 1 tahun.
Janpatar Simamora, dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen menyampaikan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat sepanjang memenuhi dua syarat utama yaitu pertama, sepanjang kesatuan Masyarakat Hukum Adat itu masih hidup dan kedua, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Republik Indonesia. Sepanjang kedua syarat dimaksud masih terpenuhi, maka keberadaan masyarakat hukum adat wajib diakui dan dihormati sekalipun belum ada aturan yang menentukan teknis pengakuan dan penghormatannya.
Harapannya sama dengan seluruh masyarakat adat lainnya. Kasusnya selesai dan ada secercah kemenangan walaupun itu kecil untuk masyarakat adat berupa pengakuan dan perlindungan atas keberadaan masyarakat adat.
Masih Ada dan Berlipat Ganda
Seruan “Tutup TPL” telah menjadi kesadaran bersama bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan Danau Toba harus segera diselesaikan. Toba Pulp Lestari perusahaan industri kertas ini berkontribusi merusak ekosistem lingkungan di kawasan Danau Toba. Perusahaan tidak memiliki etika yang baik untuk memperbaiki managementnya, dan malah membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan. Disisi lain, dalih ‘konsesi’ seakan-akan melegalkan perusahaan untuk dapat melakukan kekerasan dengan bantuan pihak aparat untuk menggusur, merusak tanaman masyarakat dan melakukan kekerasan kepada masyarakat adat yang melawan untuk mempertahankan tanah leluhurnya. Selain itu alasan ‘konsesi’ juga menjadi sebuah oase bagi investasi. Siapa yang mengusik investasi dapat dihanguskan. Padahal kehadiran sebuah investasi maupun perusahaan harus sesuai dengan prinsip yang berlaku pula.
Kehadiran sebuah bisnis harus menaati prinsip FPIC yakni prinsip Free, Prior, Inform and Consent. Tidak boleh satu pun orang dalam kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan informasi dan bebas untuk menentukan kemana arah alam mereka diperuntukkan. Masyarakat adat punya hak untuk memilih dan menentukan bagaimana wilayah mereka akan dikelola. Semua bisnis dan pelaku usaha harus mematuhinya. Baik bisnis maupun pelaku usaha harus menghormati, melindungi dan memulihkan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat adat yang ada di sekitar lokasi bisnis. Tak ujug-ujug sebuah perusahaan hadir tanpa tanggung jawab. Tanggung jawab perusahaan adalah menghormati hak asasi manusia dinyatakan dengan pernyataan komitmen. Komitmen ini pun mesti bisa diakses secara publik oleh kalangan umum.
Dalam pertemuan forum akademisi untuk lingkungan yang diadakan oleh organisasi non-pemerintah di Sumatera Utara pada 12 Juni 2025, Dr. Majda El Muhtaj menyatakan bahwa sebagai entitas bisnis, TPL harus melakukan audit HAM atau uji tuntas Hak Asasi Manusia. Perusahaan harus melakukan proses on going dan iterative, yang berarti mereka harus melakukan proses terus menerus dan memastikan bahwa mereka partisipatif. Sampai hari ini, Pemerintah Pusat maupun Daerah seakan-akan tutup mata dengan kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Belum ada kebijakan yang dapat dilaksanakan untuk pemenuhan hak atas keberadaan masyarakat adat, dan tidak ada etika yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus ini. Hal ini menyebabkan masyarakat adat mengalami kriminalisasi dan semakin massif terjadi terutama di Sumatera Utara.
Dari generasi ke generasi Masyarakat Adat telah menjaga kelestarian lingkungan dengan menghormati alam, membantu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan bentang alam yang masih asri. Sampai hari ini penghormatan masyarakat adat dengan alam ditandai dengan budaya dan tradisi mereka dalam pelestarian lingkungan. Misalnya saja masyarakat adat di sekitaran Danau Toba setiap ingin memotong satu pohon harus menanam kembali 10 pohon untuk menggantikan fungsinya. Bahkan beberapa masyarakat adat tidak diperbolehkan memotong pohon jika ingin memakai untuk kayu bakar ranting-ranting pohon yang sudah berguguran atau pohon yang sudah tidak produktif baru bisa ditebang. Hal ini mengikat dan menjadi panduan bagi setiap masyarakat adat.