Judul : Quo Vadis Transisi Demokrasi Indonesia
Pengarang : Tim BAKUMSU
Penerbit : OBOR Indonesia
Tahun Terbit : 2004
Buku ini merupakan kumpulan studi tematis dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan Bakumsu bersama mitra dan Jaringan. Buku ini bukan dalam kerangka menjawab dan menyediakan satu-satunya obat mujarab terhadap problem perang panjang demokrasi (protracted democratic war) yang tengah kita hadapi sebagai bangsa. Buku ini juga sedari awal disadari sangat terbatas otoritasnya untuk membuat sebuah perubahan. Gagasan yang muncul dalam buku ini tentu saja tidak semuanya baru. Tetapi demokratisasi bukanlah soal baru atau tidak, tapi soal konsistensi gagasan. Dan kegalauan quo vadis hadir karena konsistensi gagasan tentang demokrasi itu sendiri mulai ragu-ragu dan disandera oleh sekelompok elit. Buku ini terdiri dari 6 (enam) bagian. Bagian pertama menguraikan persoalan dan jawaban terhadap sebuah pertanyaan mendasar, Quo Vadis Negara Hukum Indonesia oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gusdur menggambarkan betapa bangsa ini belum memiliki budaya hukum, sehingga sebaik apapun struktur dan isi serta pembaharuan hukum yang dilakukan akan terbentur dalam implementasinya. Bagian kedua buku ini bercerita tentang realitas transisi demokrasi Indonesia oleh Arbi Sanit. Tulisan ini menggambarkan dengan jeli mengapa transisi demokrasi Indonesia ‘terpatah’. Proses demokrasi kita terpatah atau tidak berkesinambungan dengan system sebelumnya disebabkan loncatan yang tak lazim dari tahap liberalisasi dan melemahnya rezim otoriter langsung memasuki tahap pemilu dimana terjadi pergantian penguasa tanpa perubahan. Pada bagian ketiga oleh Daniel Sparingga membahas politik militer dalam proses transisi demokrasi. Beliau menguraikan dinamika politik militer yang terjadi dan relevansinya dengan penguatan masyarakat sipil. Bagian keempat buku ini membahas realitas konflik sosial politik di masyarakat motif dan karakteristiknya dan hubungannya dengan konflik politik yang terjadi di tingkat elit oleh Hotman Siahaan dan Mulyana W Kusuma. Bagian kelima buku ini menguraikan secara objektif plus minus dari otonomi daerah merupakan tulisan Bungaran Antonius Simanjuntak. Tulisan ini menguraikan lebih jauh sejauh mana desa dan nilai-nilai lokal mampu berperan dalam perubahan system yang terjadi. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga nilai lokal yang mengancam demokrasi. Sebagai bagian terakhir buku ini membuat semacam refleksi dari perjalanan dan pengalaman kongkrit kerja-kerja penguatan rakyat. Akhirnya buku ini ingin menjelaskan betapa demokrasi sebagai sebuah proses, tidak menjamin apapun. Ia tidak selalu menjanjikan sebuah keberhasilan. Demokrasi cuma menawarkan 2 hal keberhasilan dan kegagalan. Yang kesemuanya tergantung kepada sejauhmana rakyat memberi persetujuan dan dukungannya.