Lompat ke konten

Siaran Pers

Ranperda Pemanfaatan Perhutanan Sosial Di Sumatera Utara Dipercepat, Ranperda Masyarakat Adat Sumatera Utara Mangkrak Sejak 2017?

(Medan, 06/03/2025). Dalam pemberitaan di laman HarianSIB.com pada berita yang berjudul “Bapemperda DPRD Sumut Bahas Ranperda Pengelolaan Perhutanan Sosial di Simalungun”. Dalam berita disebutkan bahwa pada Senin, 24 Februari 2025, DPRD Sumut melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) melakukan kunjungan kerja dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemanfaatan Perhutanan Sosial di Sumut khususnya di Simalungun. Diketahui Ranperda ini merupakan inisiatif dari Komisi B DPRD Sumut dari tahun 2021 (tiga tahun lalu).

Langkah Bapemperda DPRD Sumut ini sebenarnya menimbulkan tanda tanya karena ‘inisiatif’ ini muncul di tengah-tengah maraknya konflik klaim atas kawasan hutan di Simalungun yang berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat adat oleh pihak PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Misalnya saja yang terjadi terhadap Tetua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, yaitu Sorbatua Siallagan di desa Dolok Parmonangan, dan empat orang komunitas masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas di desa Sihaporas, Simalungun.

Tak hanya itu, catatan BAKUMSU sepanjang tahun 2024 di Sumut setidaknya ada lima konflik wilayah adat (hutan maupun tanah) yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat adat berkonflik dengan berbagai pihak, diantaranya masyarakat lokal, perusahaan swasta, dan BUMN.  Negara menerbitkan hak atas tanah di Wilayah Adat,  baik, SHGB, SHGU, izin konsesi, dan sebagainya.

Gerak cepat Bapemperda dalam pembahasan Ranperda Pemanfaatan Perhutanan Sosial di Sumut berbanding terbalik dengan respon Bapemperda terhadap Pembahasan Ranperda tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat (Ranperda Masyarakat Adat) Sumatera Utara. Ranperda Masyarakat Adat di Sumut sejak tahun 2017 telah diperjuangkan oleh Koalisi Percepatan Ranperda Masyarakat Adat Sumut untuk disahkan oleh DPRD Sumut, namun hingga saat ini belum juga disahkan, masih mandek pada tahap pembahasan. Pihak DPRD Sumut berdalih, Ranperda Masyarakat Adat Sumut belum dapat disahkan karena belum disahkannya Rancangan UU Masyarakat Adat oleh DPR RI.

Alasan ini dinilai cenderung sebagai alasan politis saja dan menunjukkan ketidakseriusan DPRD Sumut untuk melanjutkan pembahasan dan pengesahan Ranperda ini, sebab tidak ada aturan yang melarang bagi DPRD Sumut untuk mengesahkan Ranperda tersebut, justru UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jelas mengakui otonomi daerah dan memiliki kewenangan untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat melalui Perda.

UU ini lah yang menjadi salah satu dasar bagi delapan provinsi lain di Indonesia yang telah mengesahkan Perda Masyarakat Adat diantaranya Perda Provinsi Riau No. 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perda Provinsi Kalimantan Selatan No. 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Perda Provinsi Papua No. 5 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua.

Ranperda tentang Pemanfaatan Perhutanan Sosial di Sumut ini dinilai sebagai upaya untuk menghambat disahkannya Perda Masyarakat Hukum Adat Sumut. Pengesahan Ranperda Perhutanan sosial ini juga dinilai akan mengesampingkan hak Masyarakat Adat di desa Dolok Parmonangan dan desa Sihaporas (yang terletak di Kabupaten Simalungun) yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka yang diklaim oleh PT. TPL masuk dalam  izin konsesinya.

Patut dikhawatirkan penyelesaian konflik tanah komunitas adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan dengan PT TPL akan diselesaikan dengan mekanisme perhutanan sosial[1], sehingga hutan adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan akan menjadi hutan negara, karena perhutanan sosial diberikan di atas hutan negara, sedangkan hutan adat bukan hutan negara sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.

Kekhawatiran penyelesaian konflik dengan mekanisme perhutanan sosial ini pernah terjadi saat Rapat Dengar Pendapat yang diadakan oleh Komisi A dan B DPRD Sumut pada (09/07/24) lalu. Secara frontal Kadis LHK Provinsi Sumut menawarkan skema perhutanan sosial kepada masyarakat adat keturunan Ompu Umbak Siallagan untuk penyelesaian konflik antara mereka dengan pihak PT. TPL (yang tidak hadir dalam RDP tersebut) di desa Dolok Parmonangan Kab. Simalungun. Jelas penawaran itu ditolak oleh masyarakat adat yang mempertahankan hutan adatnya.

Memasukan hutan adat ke dalam skema perhutanan sosial berpotensi menimbulkan beberapa bentuk pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam skema perhutanan sosial, masyarakat hanya diberikan hak kelola sementara (dengan izin yang bisa dicabut), bukan hak milik penuh. Padahal masyarakat adat memiliki hak turun-temurun atas hutan adat, intervensi ini berisiko menghilangkan sistem pengelolaan berbasis adat, yang sudah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan. Dengan masuknya ke dalam skema perhutanan sosial, hak ini bisa berubah menjadi sekadar izin pengelolaan yang harus diperbarui atau bahkan bisa dicabut oleh negara. Hal serupa juga dapat dirasakan oleh masyarakat lokal yang mengelola kawasan hutan dengan salah satu skema perhutanan sosial tersebut.

Untuk itu, kami, Koalisi Percepatan Ranperda Masyarakat Adat Sumut,

  1. Mendesak DPRD Sumut untuk segera mengesahkan Ranperda tentang Pengakuan & Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Sumatera Utara yang telah dibahas sejak tahun 2017, dan tidak menjadikan Ranperda Masyarakat Adat ini sebagai alat politik yang terus ditunda dengan alasan belum disahkannya UU Masyarakat Hukum Adat di DPR RI;

 

  1. Menolak segala bentuk diskriminasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di Sumut, termasuk kasus yang menimpa Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan dan empat masyarakat adat Lamtoras di Kab. Simalungun, serta menuntut penghentian tindakan represif aparat terhadap masyarakat adat;

 

  1. Menolak Ranperda Pemanfaatan Perhutanan Sosial di Sumut jika mengabaikan hak-hak masyarakat adat, terutama masyarakat adat keturunan Ompu Umbak Siallagan di desa Dolok Parmonangan dan masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di desa Sihaporas yang sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari klaim perusahaan seperti PT. TPL;

 

  1. Menuntut DPRD Sumut untuk bersikap transparan dalam setiap proses pembahasan Ranperda Masyarakat Adat, memastikan partisipasi penuh masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil dalam setiap tahapan pembahasan, serta menghindari praktik legislasi yang berpihak pada kepentingan korporasi.

 

Contact Person :

Riama (0813-6019-7618)

Tommy (0823-8527-8480)

[1] Perhutanan sosial memiliki lima skema yaitu,  hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat, hal ini tertuang dalam Permen-LHK No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Penguatan Hukum dan HAM Untuk Mencapai Keadilan Sosial dan Ekologi

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

id_IDID