(Medan, 28 Agustus 2020), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) kembali melayangkan surat keberatan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk menghentikan pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Adapun ini adalah kedua kalinya surat disampaikan sebelum itu juga sudah melakukan pelayangan surat kepada Presiden Republik Indonesia.
Surat keberatan tersebut juga disertai dengan kertas posisi yang merupakan catatan kritis Bakumsu terhadap hadirnya RUU Cipta Kerja. Hadirnya RUU Cipta Kerja masih menuai banyak persepsi. Akan tetapi, tidak ada yang bisa diperdebatkan bila kehadiran sebuah peraturan perundang-undangan mulai dari prosedurnya sampai esensinya sudah merugikan masyarakat. Dalam kertas posisi tersebut, Bakumsu memaparkan beberapa poin mengapa RUU Cipta Kerja mesti ditolak.
Mulai dari metode legislasi yang digunakan Pemerintah untuk membuat produk RUU Cipta Kerja tidak biasa. Metode omnibus law yang dilakukan untuk menyederhanakan Undang-Undang tidak dikenal dalam konstruksi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentag Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adanya inkosistensi deregulasi memangkas aturan tetapi malah menciptakan 516 peraturan pelaksana baru. Wacana menyederhanakan malah tidak sejalan dengan yang terkandung dalam RUU Cipta Kerja. Untuk mencapai keseimbangan untuk dapat berjalan Omnibus law yang digadang-gadang oleh Pemerintah memerlukan 516 peraturan pelaksana baru yang akan dilahirkan RUU Cipta Kerja.
Minimnya partisipasi publik, undang-undang yang dilahirkan tanpa partisipasi dari masyarakat hanya akan menjadi undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga negara. Dimana masyarakat adat, petani, nelayan dan buruh juga akan terus menjadi korban. Karena keberadaan RUU Cipta Kerja juga sebuah penyelewengan amanah pengelolaan agraria dalam konstitusi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Artinya bumi dan air serta segala kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia harus dikelola dengan dengan baik dan sedemikian rupa agar mampu mewujudkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Politik hukum agraria nasional kita lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA. Akan tetapi, hadirnya RUU Cipta Kerja mengkhianati apa yang terkandung dalam UUPA.
Tak hanya itu, penggusuran makin massif dilakukan oleh Pemerintah atas nama investasi. Karena untuk infrastruktur, kawasan pariwisata, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri akan terus mengalami perluasan dan ini membuat Pemerintah akan melakukan penggusuran lebih massif untuk kemajuan ekonomi yang mereka inginkan. Akhirnya hal ini dapat melegitimasi pelanggaran hak atas tanah. Padahal di Negara ini tumpang tindih kepemilikan tanah masih banyak terjadi. Memperparah ketimpangan atas kepemilikan tanah tersebut. Dimana rakyat yang notabene masyarakat adat dan petani akhirnya memiliki ruang yang kecil dan korporasi ada pada ruang yang besar.
Timbulnya sentralisasi ekstrim, dalam konstruksi RUU Cipta Kerja Pemerintah Pusat berperan eksklusif untuk menerbitkan persetujuan, sementara porsi Pemerintah Daerah dibatasi menjadi hanya untuk menindak. Skema baru ini patut dipredikasi akan menimbulkan kesulitan dalam wilayah penegakan hukum. Hal-hal ini memperlihatkan bahwa RUU Cipta Kerja bercorak diskriminatif dalam penegakan hukum yakni melindungi investor, memberikan keleluasaan untuk mengkriminalisasi rakyatnya. Maka bagi Bakumsu, RUU Cipta Kerja bukan sebuah jawaban untuk masalah timpangnya kesenjangan rakyat, konflik agraria di Indonesia dan krisis ekologi. Malah hal ini makin merawat oligarki dan melegalkan eksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia lebih massif lagi.